Buka Layar

Berjejaring dengan Organisasi dan Komunitas Feminis-Queer Melalui ILGA Asia Conference 2022

Pada November hingga Desember 2022 lalu, Qbukatabu berkesempatan mengikuti Konferensi ILGA Asia Conference 2022. ILGA Asia Conference 2022 merupakan sebuah konferensi tahunan yang diadakan ILGA Asia (the Asian Region of the International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association) yang mengumpulkan organisasi dan komunitas LGBTIQ+ dari wilayah-wilayah Asia.

Konferensi ini menghadirkan panel-panel dari berbagai wilayah di Asia yang merupakan anggota ILGA Asia untuk berbagi cerita dan pengalaman kerjanya di isu LGBTIQ+. Selama mengikuti ILGA Asia Conference 2022, Qbukatabu menghadiri berbagai diskusi panel untuk berjejaring dan memperbarui situasi isu feminis-queer di wilayah Asia.

Pada hari pertama, Qbukatabu menghadiri Inter-Faith Pre-Conference yang fokus membahas tentang keberagaman agama dan identitas gender di Asia serta bagaimana agama-agama tersebut merespon keberagaman identitas gender dan seksual. Isu inter-faith menjadi bahasan penting di konteks Asia melihat eksistensi keberagaman budaya yang ada seiring dengan keberagaman identitas gender dan seksual dan tidak bisa dipisahkan dari satu sama lain. Sesi ini mendapatkan kesimpulan bahwa banyak agama di Asia yang mengakui dan menerima eksistensi keberagaman identitas gender dan seksual. Agama-agama tersebut juga mendorong pemeluknya untuk menerima identitas gender dan seksualnya.

Selanjutnya, Qbukatabu menghadiri Women Pre-Conference pada hari kedua. Dalam sesi ini, panelis dan partisipan berdiskusi tentang perempuan di Asia menghadapi permasalahan di negaranya yang memengaruhi identitasnya sebagai perempuan. Misalnya, perempuan di Nepal masih belum mendapatkan posisi yang setara di dalam hukum negaranya, perempuan di Indonesia rentan terhadap kekerasan berbasis gender dan seksual, dan tentang perjuangan teman-teman di Taiwan untuk melegalkan pernikahan LGBTQI+. Selain berdiskusi mengenai masalah dan situasi yang terjadi, sesi ini juga membahas tentang merawat diri sebagai perempuan, yang menjadi salah satu upaya dan solusi untuk merespon situasi yang dihadapi perempuan di berbagai wilayah.

Selain itu, Qbukatabu juga menghadiri Youth Pre-Conference pada hari kedua. Isu yang diangkat dalam sesi ini adalah proses transisi individu LGBTQI+ muda pada saat pandemi. Di Asia, banyak individu muda yang melakukan transisi saat pandemi mengalami kesulitan, mulai dari finansial hingga mental, karena mereka sudah keluar dari rumahnya dan harus bertahan hidup sendirian. Mereka kemudian mendapatkan dukungan dari komunitas dan organisasi LGBTQI+ dalam melakukan proses transisinya. Namun, dukungan ini belum merata karena terdapat ketimpangan akses media sehingga terdapat kesulitan untuk mengakses informasi mengenai dukungan dalam proses transisi. Melalui sesi ini, individu-individu muda meyimpulkan bahwa diperlukan ruang aman, khususnya rumah aman, agar mereka dapat mengekspresikan dirinya, dan juga pelatihan paralegal untuk mendukung individu-individu LGBTQI+ muda yang sedang melakukan proses transisi. Setelah menghadiri rangkaian Pre-Conference, Qbukatabu kemudian menghadiri empat sesi breakout yang diisi oleh panelis-panelis dari Indonesia, dan juga sesi pleno.

Pada sesi breakout Making the Invisible Visible in Southeast Asia – Violence and discrimination against LBQ communities” di hari ketiga, panelis dan partisipan berdiskusi mengenai kekerasan dan diskriminasi terhadap individu lesbian, biseksual, dan queer di wilayah Asia, dan tentang organisasi-organisasi yang melakukan intervensi untuk mengatasi situasi kekerasan dan diskriminasi tersebut. Panelis dari Indonesia, Lini Zurlia dari ASEAN SOGIE Caucus (ASC), secara khusus mengangkat situasi kekerasan berbasis gender dan seksual, yang hingga kini masih menjadi masalah penting yang dihadapi perempuan di Indonesia. Terhadap situasi ini, Lini Zurlia dan ASEAN SOGIE Caucus menyuarakan hak-hak individu lesbian, biseksual, dan queer dan melakukan advokasi tentang SOGIESC (sex orientation, gender identity and expression, and sex characteristics) agar mereka menerima identitas gender dan seksualnya.

Kemudian, sesi berikutnya di hari ketiga adalah“Lives at Stake: Resiliency Stories of Transmen Human Rights Defenders”. Sesi ini mendiskusikan tentang proses transisi teman-teman trans laki-laki, khususnya di Indonesia, perjuangan mereka, dan diskriminasi serta ancaman yang mereka hadapi. Salah satu situasi yang masih harus dihadapi oleh teman-teman trans laki-laki adalah diskriminasi dan tidak adanya pengakuan secara legal dan administratif meski sudah melakukan transisi. Raiz Rizqy, panelis dari Transmen Indonesia, juga bercerita tentang proses transisinya di Aceh, salah satu wilayah paling konservatif di Indonesia.

Setelah itu, pada sesi di hari keempat, yaitu “Not breaking up – how LGBTIQ people across Asia are working to overcome the digital divide”, secara spesifik membahas isu dan keterhubungan antara akses digital dengan keberagaman identitas gender dan seksual di Asia. Dalam sesi ini, panelis berdiskusi mengenai kegiatan advokasi organisasi-organisasi LGBTQI+ dalam situasi keterbatasan dan ketimpangan akses digital, terutama saat pandemi. Qbukatabu kemudian mengusulkan media-media cetak yang tidak harus diakses menggunakan media digital, seperti poster, sehingga kegiatan advokasi dan kampanye dapat tetap berjalan meski terdapat keterbatasan internet maupun media digital lainnya.

Dalam sesi “Grassroots voices and practices in Cambodia, Laos, Indonesia, and the Philippines: promoting inclusive faith and cultural engagements for LGBTQI+” di hari kelima, panelis dari Indonesia, Rully Malay, berbagi ceritanya memberdayakan teman-teman trans di Sanggar Seroja. Selain itu, beliau juga mengangkat isu transpuan mengasuh anaknya di Indonesia yang masih dianggap sebagai hal yang negatif.

Dalam konferensi ini, Qbukatabu dan partisipan lain juga berkesempatan untuk berdiskusi dan berbagi cerita tentang organisasi maupun aktivitas yang dilakukan di dalam forum. Dengan adanya ruang diskusi ini, kita bisa mengetahui lebih lanjut dan dalam mengenai situasi yang dihadapi teman-teman LGBTQI+ dan juga aktivisme feminis-queer di berbagai wilayah di Asia.

Melalui ILGA Asia Conference 2022, Qbukatabu dapat memperluas dan memperkuat jaringan kerja dengan organisasi dan komunitas feminis-queer lainnya di wilayah Asia. Dengan bertemu dan berjejaring, Qbukatabu juga dapat merefleksikan situasi-situasi tentang isu feminis-queer yang terjadi di Asia, khususnya Asia Tenggara. Refleksi tersebut kemudian dapat menjadi referensi dan strategi kerja untuk ke depannya.

Harapannya, setelah mengikuti ILGA Asia Conference 2022, Qbukatabu dapat menjadi anggota tetap ILGA Asia. Selain itu, juga agar Qbukatabu dapat memiliki kesempatan untuk melakukan kerja kolaborasi dengan organisasi feminis-queer di wilayah Asia lainnya yang bekerja menggunakan media artivisme untuk memperluas kampanye isu feminis-queer Qbukatabu.

Artikel ditulis oleh Ken Penggalih.

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Berjejaring dengan Organisasi dan Komunitas Feminis-Queer Melalui ILGA Asia Conference 2022

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: