Kisaran tahun 2000an. Saat itu Mia masih berstatus staf lapangan di Lembaga Pengkajian dan Perlindungan Perempuan dan Anak Papua (LP3A-P). Bersama teman pendamping lainnya, Mia menyanggupi panggilan kepolisian atas sebuah kasus perdagangan anak yang berujung kematian pada sang korban.
“Saya menolak sebenarnya. Waktu itu juga didampingi oleh teman pengacara, tapi tidak tahu ya… Itu shock therapy buat kami. Kami dipanggil malam-malam, baru boleh pulang pagi.. langsung menuju kuburan anak tersebut. Saya kemudian menyadari, ternyata kami sebagai pendamping hukum tidak lepas dari ancaman-ancaman (pihak pelaku).”
Sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di kota Manado menghubungi LP3A-P, meminta dukungan untuk memulangkan jenazah anak perempuan korban perdagangan dari Kotamobago. Singkat cerita, anak perempuan tersebut berangkat menuju kerabatnya di Jayapura demi mengejar asa untuk bersekolah. Om dan tantenya justru berkhianat, ia dijual menjadi pekerja seks anak di bar. Malang pun semakin menjerat. Seorang tentara “memacarinya” lalu suatu saat membawanya pergi dengan alasan piknik.
“(Mereka) naik motor, lalu jatuh. Kemungkinan (tentara) mabuk. Si anak meninggal dunia,” ucap Mia berusaha mengenang kejadian pilu belasan tahun lalu.
Kedua orang tua di kampung halaman terpaksa merelakan kepergian anaknya, tetapi menghendaki supaya jenazahnya dipindah ke Kotamobago. Tekad ini berbuntut pada panggilan pihak kepolisian terhadap LP3A-P.
“Waktu itu kita diambil keterangan, padahal kita pendamping. Selain bapak ibunya, LSM pendamping juga dipanggil. Kita ke kepolisian itu dari jam 21.00 WP sampai jam 06.00 WP, baru diambil keterangan sekitar jam 01.00 WP (dini hari). Waktu itu kita juga ditemani teman-teman pengacara dari Sinode GKI. Akhirnya mayatnya berhasil diangkat sekitar jam 09.00. Tidak ada media yang meliput, kecuali media kepolisian,” ungkap Mia.
Mia mengakui, kisaran akhir tahun 1990an hingga tahun 2000an kasus kekerasan berbasis seksual dan gender (KBSG) yang terjadi di Papua masih minim perhatian. Lembaga-lembaga sosial yang bekerja di Papua belum fokus membicarakan dan mengadvokasi kekerasan terhadap perempuan, meskipun kasus muncul berulang. Merespon kekosongan tersebut, Foker LSM (Forum Kerja Sama Lembaga Swadaya Masyarakat) Papua menggagas pendirian LP3A-P dengan dukungan pendanaan dari HIVOS di tahun 2002.
Mia beralasan sederhana terkait keikutsertaannya dalam LP3A-P di awal pembentukan. “Tertarik saja… waktu itu ketemu dengan salah satu staf LP3A-P di diskusi publik kemudian diajak terlibat di setiap aktivitas LP3A-P. Waktu itu juga LP3A-P pertama kali membuka layanan (pendampingan hukum) untuk korban kekerasan.” Ketertarikan yang spontan ternyata mengukir perjalanan karirnya. Kini, Mia menjabat posisi strategis di LP3A-P sebagai direktur, yang memberikannya keleluasaan mengatur strategi advokasi sekaligus tanggung jawab lebih besar untuk menghentikan KBGS.
Membersamai LP3A-P hingga di usianya ke 20 tahun, membangkitkan kesadaran Mia bahwa upaya menghentikan kasus-kasus KBGS bukan semata menjadi pekerjaan LSM, “Ini memang butuh kerja sama dari berbagai pihak,” ucapnya.
Melalui satu kasus perdagangan anak yang berasal dari Kotamobago tersebut, Mia menandaskan urgensi kerja sama dengan pihak berwajib.
“Cari tahu… Ternyata (saat itu) kenapa kita diputar-putar di kepolisian, karena salah satu pemegang saham barnya adalah Wakapolres. Dia tidak mau namanya diangkat,” ujar Mia. Komitmen aparat untuk menegakkan hukum selalu ciut jika salah satu anggota mereka terlibat dalam kasus-kasus kekerasan. Kejadian ini terulang beberapa tahun setelahnya.
Mia mengingat pasti tanggalnya, yaitu 25 November, “Tahun 2006 kalau tidak salah… Jadi waktu itu, (ada perempuan bernama) Helena yang disebut PSJ (pekerja seks jalanan) sedang bekerja. Salah satu dompet anggota ini hilang, dituduhlah Helena. Dia dipukuli sampai meninggal di penjara kota Jayapura. Pas tanggal 25 November, kami bersama teman-teman aksi menuntut keadilan.”
Solidaritas pun bermunculan, menggugat kasus Helena untuk dibuka. Tuntutan jaringan advokasi adalah pihak kepolisian harus mencari dan menunjukkan bukti pencurian yang dilakukan Helena. Anggota kepolisian yang terlibat dalam penganiayaan terhadap Helena hingga menyebabkan kematian juga harus diadili, “Harusnya disidangkan terbuka karena kasus ini terjadi pelanggaran HAM,” imbuh Mia.
Kekayaan alam Papua nyatanya tidak membawa kesejahteraan bagi penghuninya, terutama masyarakat asli. Konsep masyarakat asli yang ditawarkan pemerintah melalui Undang-undang Otonomi Khusus tahun 2021 adalah mereka yang lahir dari kedua orang tua asli Papua, salah satu orang tuanya asli Papua, dan/atau lahir dan besar di Papua. Layaknya wilayah lainnya, tanah Papua menerima kedatangan penduduk dari daerah luar untuk tujuan yang beragam.
Salah satunya, migrasi anak-anak perempuan dari Kotamobago. “Bisa dibilang paling banyak (pekerja anak atau pekerja seks anak) dari Kotamobago. Mereka banyak yang putus sekolah, sementara orang tuanya menganggap bahwa mereka ke Papua, ke daerah-daerah yang dijanjikan itu bisa menghasilkan sesuatu.” Proses rekruitmen ini berjalan singkat karena melibatkan sindikat-sindikat terlatih, bahkan kerabat dekat korban. Mereka mengiming-imingi orang tua korban, bahwa kehidupan anak-anak perempuannya akan membaik setiba di Papua.
Situasi KBGS di Papua amat kompleks. Akarnya serupa dengan wilayah lain di belahan dunia manapun, yakni budaya patriarki. Di Papua menjadi lebih berlapis dengan adanya adat yang kurang berpihak terhadap perempuan atau keberagaman gender lainnya.
Mia menyaksikan dan mengalaminya sendiri mengenai kosongnya ruang untuk perempuan berbicara di depan umum. “Tahun 2004 kami pertama datang, kenalan dengan orang-orang di Kemtuk Gresi (salah satu distrik di Jayapura). Waktu itu kami mau bicara tentang kekerasan terhadap perempuan dengan tokoh-tokoh adat. (Mereka bereaksi) “kamu tidak bisa bicara banyak dengan perempuan-perempuan. Di sini laki-laki yang berkuasa, kamu perempuan tidak bisa bicara!” tapi untungnya ada satu bapak Dewan Adat Suku (DAS) yang potong, “Ah diam sudah… ini anak perempuan mau bicara (hal) yang baik.””
Dalam pertemuan-pertemuan adat ataupun kampung, perempuan Papua sedikit mendapat ruang untuk berbicara. Ketika perempuan mengusulkan sesuatu, umumnya para lelaki menyikapinya dengan keras.
Denis, salah satu staf lapangan LP3A-P membagikan pengalamannya menjumpai kelompok laki-laki di kampung saat turun lapangan. Menurutnya, laki-laki masih menganggap tabu terhadap persoalan perempuan. “Kalau kita duduk bicara tentang perempuan, hak-haknya perempuan di kampung… kita harus menghadapi bapak-bapak dengan pemikiran tradisional. Mereka belum bisa menerima kalau perempuan juga punya kesempatan yang sama,” ujarnya.
Sebagai individu yang terlahir sebagai laki-laki, Denis merasa tertantang untuk membuat perubahan dan dimulai dari dirinya sendiri. “Saya sempat stress juga… ada pertentangan dalam diri saya. Antara menerima dan tidak menerima ketika belajar tentang kesetaraan gender di LP3A-P. Kita terlalu lama mandi lumpur patriarki. Saya jadi ingat dosa-dosa saya pernah melakukan tindakan-tindakan kekerasan di rumah atau kepada teman-teman perempuan. Lalu di lapangan saya juga berusaha bagaimana meyakinkan kelompok laki-laki bahwa perempuan itu punya hak-haknya. Kita sebagai laki-laki yang penting memahami dan merubah sikap.”
Kasus-kasus yang diterima oleh LP3A-P bermacam-macam dan para penyintas bukan hanya datang dari sekitar Abepura, tapi juga kabupaten tetangga, misalnya Keerom dan Jayapura. Kasus-kasus pun tak hanya kekerasan terhadap perempuan (KDP) ataupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mereka ikut menangani laporan-laporan kekerasan yang dilakukan oleh aparat berwajib. “Untuk kasus-kasus dengan pelaku militer atau polisi, memang kita tidak bisa sendirian. Butuh kolaborasi dengan teman lainnya. Kita butuh sumber daya manusia untuk advokasi, karena LP3A-P belum cukup,” imbuh Mia.
Negara yang seharusnya menjamin keamanan hak-hak masyarakat sipil justru terus memerintahkan militer dan polisi dalam jumlah ribuan turun ke Papua sebagai ‘penjaga’ dan martir rekonsiliasi konflik. Alih-alih melaksanakan tugasnya, justru mereka menjadi pelaku atau malah meraup keuntungan material dari kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua.
Mia menyatakan, merujuk kasus-kasus yang ditangani oleh LP3A-P, budaya patriarki merupakan akar masalah KBGS di Papua. “Dari kasus yang kami hadapi.. kenapa kasus kekerasan terjadi, karena kuasa dan superioritas laki-laki. Ini sering kita temui ya… Isterinya kerja di pasar, kena hujan begitu pulang masih masak lagi. Suami tinggal di rumah.. nanti makan, habis itu gabung duduk minum mabuk,” cerita Mia. Beban domestik yang dilimpahkan kepada perempuan tanpa bantuan dari pasangan laki-lakinya, bahkan cenderung menambah isu dengan mabuk lalu pulang ke rumah melakukan kekerasan, membuat perempuan Papua jengah. Kemarahan mereka terwujud dengan tindakan melapor. Meskipun banyak yang memilih mencabut laporan dan berdamai dengan pelaku.
Alasannya, “Mereka merasa bahwa laki-laki itu bapak dari anak-anak, berharap nanti memperbaiki diri. Kalau pisah pikir anak-anak bagaimana,” ungkap Mia.
Urgensi kolaborasi untuk penanganan kasus-kasus KBGS ditindaklanjuti dengan membentuk surat kesepahaman Layanan Terpadu Perempuan dan Anak dengan evaluasi kolaborasi di tahun ini. Kerja sama melibatkan enam organisasi, yaitu Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Tinggi, Kepolisian Daerah, KODAM, LP3A-P, dan Yayasan Harapan Ibu (YHI). Masing-masing instansi wajib terlibat menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang terjadi dan mengadvokasi prinsip-prinsip anti kekerasan secara internal.
Bagi Mia, kolaborasi banyak pihak menghentikan KBGS merupakan sistem pendukung yang kuat untuk perempuan dan keberagaman gender lainnya berani speak up. Satu atau dua penyintas bicara terus terang tentang tindakan kekerasan yang dialaminya belum tentu terdengar, karena “Suara mereka kerdil dibandingkan budaya patriarki.”
Artikel ditulis oleh Narriswari
0 comments on “Menganyam Jejaring Stop Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual di Papua”