Buka Cerita

Sidang UPR: Indonesia Peroleh 269 Rekomendasi lalu Bagaimana?

Tabumania, sidang 41 Universal Periodic Review (UPR) siklus ke-4 telah diselenggarakan di Jenewa, Swiss pada Rabu, 9 November 2022 lalu. Sidang tersebut merupakan forum untuk me-review komitmen kemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) negara-negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) lima tahun sekali.

Pada sidang tersebut, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly memimpin delegasi Indonesia. Pada kesempatan tersebut Yasonna mengatakan bahwa Indonesia telah meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi manusia mengikuti rekomendasi UPR sebelumnya, termasuk kesehatan, pendidikan, perlindungan perempuan, pembangunan HAM dan larangan penyiksaan. Yasona Laoly melanjutkan pernyataannya bahwa Indonesia sedang dalam proses penerapan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja mengikuti Pedoman HAM dan hak asasi atas pembangunan yang inklusif. Selanjutnya, UU Otonomi Papua yang baru disebutkan sebagai upaya perbaikan situasi Papua, di bidang infrastruktur, pembangunan, kesehatan, penganggaran, dan lain-lain. Ia juga menyatakan bahwa pemerintah telah memperhatikan proses pelanggaran HAM berat sehingga ada keadilan bagi para korban melalui penyelesaian non yudisial.

Terkait sidang UPR tersebut Komnas Perempuan melalui siaran persnya meminta agar pemerintah dan negara peserta serta komite PBB memperhatikan 11 isu prioritas. Isu-isu tersebut diantaranya kekerasan seksual, kekerasan seksual dan reproduksi kelompok rentan, penyiksaan berbasis gender, perda-perda diskriminatif, pelanggaran hak-hak agama minoritas, pelanggaran hak-hak agama minoritas, pelanggaran hak-hak minoritas seksual, perempuan lansia, penguatan Komnas Perempuan sebagai lembaga negara HAM, femisida (perempuan yang dibunuh karena dia perempuan), perempuan di wilayah konflik dan bencana, perempuan pembela HAM.

Sementara itu dalam siaran pers Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan bahwa delegasi Indonesia dalam merespon review dan rekomendasi dari negara-negara peserta cenderung normatif dan instrumentalis. Diantaranya menyebutkan Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional, melahirkan sejumlah UU terkait HAM dan menyampaikan sejumlah kegiatan. Namun, hampir sama sekali tidak melaporkan implementasi sejumlah konvensi dan UU maupun sejauh mana implementasi tersebut sudah dinikmati rakyat secara inklusif. Padahal hambatan utama implementasi konvensi dan UU merupakan produk kebijakan negara yang diskriminatif juga

Pada sidang tersebut Indonesia memperoleh 269 rekomendasi dari negara-negara lain. Ada 108 negara yang memberikan review dan ulasan. Masing-masing negara memperoleh kesempatan berbicara dalam waktu 1 menit 5 detik. 

Banyak negara yang memberikan review maupun rekomendasinya dalam berbagai bidang terutama tentang pelaksanaan perlindungan HAM di Indonesia. Misalnya negara Luxemburg yang memberikan rekomendasi untuk meratifikasi Optional Protocol untuk Anti Penyiksaan (OPCAT) dan menghapus hukuman mati. Lalu Malawi yang memberikan rekomendasi mendorong ratifikasi OPCAT dan menjamin kebebasan berekspresi bagi pembela HAM. Malta yang merekomendasikan agar Indonesia memastikan hak atas kebebasan berekspresi dan meratifikasi penghapusan hukuman mati. Sementara itu Kepulauan Marshall menyatakan mendukung rekomendasi UPR pada 2017 tentang Papua. Ia menyatakan bahwa pelapor khusus dapat ditempatkan untuk menyelidiki kasus penyiksaan di Papua dan mempromosikan perlindungan masyarakat adat Papua dengan membuka komunikasi dengan masyarakat.

Kemudian Mexico merekomendasikan untuk meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa (ICCPED) dan OPCAT serta merevisi aturan hukum berkaitan dengan diskriminasi terhadap LGBT. New Zealand merekomendasikan untuk menghapus hukuman mati dalam UU dan dalam praktiknya, menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul di Papua. Selain itu juga merekomendasikan untuk menghapus kebijakan yang mendiskriminasi berdasarkan orientasi seksual. Norwegia merekomendasikan menghapus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk memastikan perlindungan pembela HAM dan mereformasi hukum pidana untuk perlindungan pembela HAM. Selain itu juga merekomendasikan untuk kepastian hukum yang melindungi dari diskriminasi berdasarkan etnis, agama, gender, orientasi seksual dan lainnya. 

Rumania merekomendasikan agar Indonesia memastikan ruang aman untuk perlindungan kebebasan berekspresi. Menetapkan moratorium, menghentikan dan menghapus eksekusi hukuman mati. Belanda: terus menyelidiki pelanggaran HAM di Papua dan memastikan keadilan serta perlindungan bagi pembela HAM. Korea merekomendasikan untuk mempercepat reformasi hukum untuk kasus-kasus tindak kekerasan, menyelesaikan masalah kekerasan HAM masa lalu seperti di Aceh salah satunya melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi serta meningkatkan penghapusan kekerasan berbasis gender. Slovenia merekomendasikan untuk memastikan penyelidikan atas impunitas dan kekerasan terhadap masyarakat di Papua. Timor Leste: merekomendasikan Indonesia untuk menetapkan moratorium hukuman mati sebagai Langkah awal penghapusan hukuman mati secara menyeluruh. Amerika Serikat merekomendasikan Indonesia untuk investigasi segera extra-judicial killings di Papua, menghapus UU ITE yang membatasi kebebasan berpendapat, menjamin keselamatan rakyat dan nyatakan kepedulian terhadap rakyat Papua. Kemudian Vanuatu merekomendasikan untuk segera menerima kedatangan Pelapor Khusus PBB ke Papua untuk menginvestigasi kasus-kasus kekerasan di Papua dan memberikan keamanan dalam kebebasan berserikat di Papua. Rekomendasi-rekomendasi dari 108 negara tersebut selengkapnya bisa diunduh dan dibaca di  https://uprmeetings.ohchr.org/Sessions/41/Indonesia/Pages/default.aspx

Diantara banyaknya rekomendasi yang diberikan, tetapi delegasi Indonesia tidak merespon secara lengkap. Hanya beberapa saja yang diberikan tanggapan diantaranya tentang hukuman mati. Menurut Yasona hukuman mati adalah hukum positif Indonesia. Namun, Indonesia akan terus memperhatikan catatan penting dari negara lain terkait hukuman mati. Di bawah KUHP yang baru, hukuman mati tidak akan menjadi hukuman utama, tetapi hukuman alternatif dengan kemungkinan komutasi (perubahan bentuk). Menurut perwakilan Indonesia lainnya, Omnibus Law dibuat bertujuan untuk membuka lebih banyak lapangan pekerjaan dan mempermudah pengusaha di Indonesia serta memperkuat hak pekerja. “Kami memastikan bahwa hak-hak pekerja terjamin. Contoh: pemberhentian harus atas persetujuan kedua belah pihak.” katanya. Yasona menyatakan UU penghilangan paksa sudah mengalami kemajuan dan RUU tersebut akan disahkan tahun ini. Lanjutnya, ia menyatakan bahwa Indonesia sedang dalam proses mengadopsi The International Convention for the Pretection of all Persons from Enforced Disappearance (ICPPED) menjadi Hukum Nasional.

Sementara itu terkait tentang aborsi aman dan perlindungan terhadap LGBTIQ sama sekali tidak dibahas. Keresahan ini pun disampaikan Lini Zurlia dari ASEAN SOGIE Caucus yang ditulis twitter Amnesty International Indonesia @amnestyindo “Dalam sidang UPR kemarin, sayangnya baik dalam sesi laporan pemerintah Indonesia maupun kesempatan remarks yang diberi oleh pimpinan sidang terhadap pemerintah Indonesia, pemerintah sama sekali tidak menggubris hak asasi orang LGBTIQ di Indonesia.”katanya. Hal ini akan menjadi pertanyaan lanjutan apabila tidak dimasukkan juga dalam rekomendasi yang diadopsi pemerintah Indonesia. Malah, bisa jadi akan menjadi rekomendasi lanjutan pada sidang UPR lima tahun mendatang. Kita perlu mengawal sejauh mana rekomendasi-rekomendasi tersebut diadopsi pemerintah Indonesia. Hal ini perlu mendapat perhatian karena dari 269 butir rekomendasi bagi perbaikan pelaksanaan HAM tersebut selanjutnya akan dibahas antara pemerintah Indonesia yaitu lembaga HAM nasional dan organisasi masyarakat sipil. Organisasi masyarakat sipil pun memberikan rekomendasinya terhadap pemerintah. Misalnya rekomendasi dari ASEAN SOGIE Caucus melalui twitter @amnestyindo “Kami memberi setidaknya enam rekomendasi untuk pemerintah: cabut UU diskriminatif di tingkat nasional maupun lokal, lindungi pembela HAM LGBTIQ, pencegahan pembuatan aturan yang memuat kriminalisasi dan patologisasi orang LGBTIQ, pembentukan UU anti diskriminasi, perlindungan kebebasan berbicara, beragama, berkeyakinan, berserikat dan berkumpul, dan perlindungan dari kekerasan oleh aktor negara dan non negara.” katanya. Sampai Maret 2023 Indonesia akan diberikan kesempatan untuk membahas dan memutuskan mana yang akan diterima, diberi catatan maupun ditolak dari 269 rekomendasi tersebut.

1 comment on “Sidang UPR: Indonesia Peroleh 269 Rekomendasi lalu Bagaimana?

  1. Herga Ragellber

    Terima kasih untuk tulisannya.
    Saya juga berharap akan ada harapan dan titik terang untuk LGBTQ tentang aturan dalam UU yaitu HAM dan kebebasan berekspresi serta perlindungan hukum

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: