Pada 3 September 2022 lalu, Presiden Jokowi, melalui jumpa pers di Istana Merdeka, mengumumkan pemerintah akan mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) per 10 September 2022. Pemerintah mengambil keputusan ini karena terjadi pembengkakan anggaran subsidi dan kompensasi energi. Pencabutan subsidi kemudian mengakibatkan naiknya harga beberapa jenis BBM secara drastis.
Kenaikan drastis harga BBM tentu memberi dampak besar bagi berbagai lapisan masyarakat, tak terkecuali bagi para pekerja sektor informal. June, trans laki-laki yang bekerja sebagai sopir ojek daring, membagikan pengalamannya menghadapi dampak kenaikan harga BBM terhadap pekerjaan sehari-harinya.
June sudah bekerja sebagai sopir ojek daring selama empat tahun. Sebelumnya, June pernah bekerja di beberapa rumah makan dan perusahaan. Namun, identitas gender June sebagai trans laki-laki tidak diterima dan didiskriminasi di lingkungan kerjanya sehingga June hanya bisa mengatakan bahwa ia adalah seorang tomboy lesbian. Ketika ingin mencari pekerjaan lain, June tidak bisa memenuhi syarat menjadi karyawan karena ekspresi gendernya yang maskulin. Setelah bekerja serabutan, pada 2018, June akhirnya memutuskan untuk mendaftar sebagai sopir ojek daring. Keputusan ini June ambil karena melihat potensi penghasilan yang lebih besar dan kemungkinan diskriminasi terhadap identitas dan ekspresi gendernya yang lebih sedikit.
“Kalau narik ojek daring, dalam satu bulan aku bisa mendapat penghasilan di atas UMR (upah minimum regional) Sleman dan aku bisa mengatur sendiri waktu kerjanya,” ujar June sembari tertawa.
Selama bekerja sebagai sopir ojek daring, June sering berjumpa dengan teman-teman sopir ojek daring, sopir kantor, dan sopir-sopir lain. June dan teman-teman sopirnya lainnya akhirnya membuat paguyuban dan mengadakan pertemuan rutin bulanan. Melalui paguyuban ini, June bisa berjejaring dengan teman-teman yang juga bekerja sebagai sopir.
Selain bekerja sebagai sopir ojek daring, June juga menyambi sebagai pekerja lepas (freelance) untuk menambah penghasilan. Dulu, penghasilan June dalam satu bulan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, meskipun seringkali tidak ada sisa untuk ditabung. Sekarang, setelah harga BBM naik, penghasilan June dari ojek daring dalam satu bulan hampir tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
“Beberapa bulan lalu, aku harus membiayai orang lain. Tapi sekarang aku sudah tidak punya beban tanggungan selain membiayai kebutuhan sehari-hariku sendiri. Kalau sekarang masih harus membiayai orang lain, aku akan merasa sangat berat karena penghasilanku pasti tidak bisa mencukupi,” lanjut June.
Sebelum harga BBM naik, dalam satu hari June bisa mendapat penghasilan kotor dari ojek daring sebesar Rp200 ribu. Penghasilan kotor tersebut kemudian akan dikurangi uang bensin sekitar Rp20 ribu dan uang bagi hasil dengan perusahaan. Namun, setelah harga BBM naik, dalam satu hari June hanya bisa mendapat penghasilan kotor sebesar Rp100 ribu. Penghasilan kotor yang sudah berkurang setengah masih harus dikurangi uang bensin yang lebih besar pula, yaitu sekitar Rp30 ribu. Selain itu, uang bagi hasil dengan perusahaan yang harus June setor setelah harga BBM naik tetap sama seperti sebelum harga naik. Dengan naiknya harga BBM, penghasilan bersih June dari ojek daring berkurang secara drastis.
Perusahaan ojek daring tempat June bekerja tidak memberlakukan kebijakan apapun terhadap kenaikan harga BBM. June menjelaskan bahwa perusahaan ojek daring tidak memberikan subsidi atau uang tambahan untuk membeli BBM bagi sopir-sopir yang bekerja. Perusahaan tidak membantu sopir dalam menghadapi kenaikan harga BBM karena hubungan sopir dengan perusahaan adalah hubungan kemitraan bukan hubungan karyawan dan perusahaan.
Perusahaan ojek daring tempat June bekerja tidak mengambil kebijakan untuk menaikkan tarif ojek daring. Justru Kementerian Perhubunganlah yang menerapkan kebijakan ini. Walau demikian, June merasa lebih baik jika tarif ojek daring tidak dinaikkan agar jumlah penumpang tidak berkurang.
“Kalau tarif naik seribu aja, penumpang akan berpikir dua kali sebelum memesan ojek. Lagi pula, sopir juga tidak akan mendapat uang yang jauh lebih banyak dari kenaikkan harga tarif tersebut. Sopir bisa tetap mendapat keuntungan yang lebih besar jika tarif tetap sama dan jumlah penumpang juga tetap sama. Jadi, menurutku lebih baik tarif tetap sama, daripada tarif naik dan jumlah pesanan berkurang,” ucap June.
June mengaku bahwa ia dan paguyubannya tidak ikut mendemo kenaikan harga BBM. Menurut June, kenaikan harga BBM adalah hal yang tidak dapat dihindari melihat kondisi perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan kenaikan harga minyak dunia. Selain itu, Indonesia terakhir kali menalami kenaikan harga BBM pada 2014 sehingga menurutnya cepat atau lambat harga BBM tetap akan naik. Maka dari itu, June memutuskan untuk tidak ikut mendemo kenaikan harga BBM.
Saat ini, karena penghasilan bulanan dari ojek daring menurun, June sedang berusaha mencari pendapatan pasif. Dengan pendapatan pasif tersebut, June berharap penghasilannya bisa kembali seperti semula dan bisa mendapat pemasukan tambahan agar dapat menabung.
“Perusahaan sebenarnya bisa membantu meringankan beban sopir dengan meniadakan biaya-biaya yang tidak begitu penting, misalnya biaya jasa bungkus atau biaya jasa aplikasi. Jika biaya-biaya tersebut bisa tidak ditiadakan, penumpang dan pesanan akan bertambah sehingga pendapatan sopir juga akan bertambah. Namun, jika perusahaan memang tidak bisa meniadakan biaya-biaya tersebut, setidaknya mereka seharusnya bisa memberlakukan sistem bagi hasil yang lebih menguntungkan bagi sopir,” ujar June.
Lalu, sebagai pengguna layanan ojek daring, apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung teman-teman sopir ojek daring?
“Kami, sopir ojek daring, akan merasa terbantu jika penumpang meberikan tip. Meskipun hanya seribu atau dua ribu, tip bisa membantu kami untuk membayar parkir sehingga kami tidak perlu mengeluarkan uang tambahan,” jawab June.
Artikel ini ditulis oleh Ken Penggalih.
Hang in there, June! You got this 💜
LikeLiked by 1 person