Tabumania, isu perubahan iklim saat ini telah memengaruhi berbagai aspek dan banyak pihak. Salah satunya transpuan. Bahkan bisa dikatakan transpuan merupakan salah satu kelompok yang terdampak parah akibat perubahan iklim. Transpuan sering dilupakan dari berbagai kebijakan terkait perubahan iklim misalnya saat terjadi bencana. Lalu bagaimana kawan-kawan transpuan merespon perubahan iklim? Saya pun mewawancarai Mama Atha, transpuan salah satu pendiri Sanggar Seroja. Sanggar Seroja adalah kelompok pecinta kesenian yang sebagian besar anggotanya adalah transpuan. Mama Atha mendirikan Sanggar Seroja bersama Madam Seroja atau Devi Bernadeth. Sanggar Seroja berdiri pada 20 Oktober 2016 di Kampung Duri, Jakarta Barat. Saat ini Sanggar Seroja beranggota sekitar 20 orang. Sanggar Seroja sering mengadakan pentas seni. Pentas itu bentuknya seperti teater, lenong, musikalisasi puisi, tari, dan monolog. Sanggar Seroja telah beberapa kali mengadakan pertunjukan teater di beberapa festival kampus dan acara budaya termasuk juga pada acara-acara yang diadakan kedutaan misalnya Kedutaan Perancis dan Belanda.
Menurut Mama Atha, untuk merespon isu perubahan iklim yang ada, anggota-anggota Sanggar Seroja melakukannya dengan tidak memakai gelas plastik dan sedotan. Selain itu ada juga bank sampah. Mereka mengumpulkan kardus, botol-botol bekas yang nantinya akan diambil oleh Bank Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kecamatan Tambora. Uniknya lagi, mereka juga bekerja sama dengan ibu-ibu Kampung Duri. “Setiap kali ibu-ibu tersebut memberikan beberapa botol bekas atau kardus akan memperoleh satu bungkus pembalut. Jadi, kami juga sekalian peduli terhadap kesehatan reproduksi dengan membagikan pembalut yang ditukar sampah-sampah tersebut.”jelas Mama Atha melalui telepon.
Selain itu mereka juga membuat eco enzyme. Eco enzyme adalah hasil fermentasi limbah dapur organik seperti sisa sayuran dan kulit buah, gula dan air (zerowaste.id). Mama Atha mengisahkan bahwasanya Kampung Duri merupakan kawasan kumuh dan kotor. Air kalinya hitam dan tercemar. Ketika mencuci, air cucian juga dibuang ke kali. Termasuk juga toilet, kotorannya langsung ke kali. Nah, dengan menggunakan eco enzyme, harapannya akan membuat pencemaran air pun berkurang. “Kami juga mau ngajarin ibu-ibu di sini agar lebih berhemat dengan menggunakan eco enzyme. Di sini kebanyakan memakai sabun kemasan sachet. Sachet kan sangat berpengaruh banget terhadap lingkungan. Kalau memakai eco enzyme bisa mengurangi penggunaan sabun sachet.”katanya. Eco enzyme tersebut bisa digunakan untuk mencuci, mengepel, keramas, bahkan bisa mengatasi gatal-gatal.
Dalam kesempatan tersebut, Mama Atha pun berbagi tips membuat eco enzyme. Ia menjelaskan untuk membuat eco enzyme membutuhkan bahan-bahan misalnya 3 kg campuran sisa sayur dan kulit buah dicampur dengan perbandingan air 10 liter dan gula 1 kg. Selanjutnya campuran tersebut didiamkan selama 3 bulan. Selanjutnya baru dipanen. “Kalau eco enzyme tersebut berhasil maka baunya akan wangi, kalau gagal maka baunya itu busuk.”jelasnya sambil tertawa. Sebagian eco enzyme bikinan Sanggar Seroja pun dibagikan kepada Ketua RT setempat dan ibu-ibu warga Kampung Duri. Mereka membagikan eco enzyme sekaligus menjelaskan bagaimana pembuatannya.
Untuk merespon perubahan iklim, Sanggar Seroja juga mengadakan Karnaval Trans Superhero Perubahan Iklim. Trans Superhero merupakan kolaborasi antara Sanggar Seroja dan Generate Project yang berbasis di Universitas Leeds. Karnaval tersebut mengangkat tema “Berjuang Bersama demi Kesetaraan dan Inklusivitas”. Karnaval diadakan pada 23 April 2022 (Instagram @sanggar_seroja). Menurut Mama Atha, mereka membuat empat kostum yang dibuat dari bahan-bahan daur ulang, sampah plastik dan bahan bekas diantaranya tutup galon, sisa bubble wrap, bungkus snack, bunga plastic bekas, kemoceng bekas, selang rusak dan pakaian bekas. Nama-nama keempat kostum tersebut pun unik-unik. Diantaranya Trans Superhero Pembersih, Trans Superhero Pemulih, Trans Superhero Penggalangan Dana, dan Trans Superhero Advokasi. Karnaval dilakukan dengan berkeliling tiap RW di Kampung Duri dan memperoleh sambutan luar biasa. “Alhamdulillah masyarakat Kampung Duri mendukung. Malah sering nanyain kapan ngadain lagi.”ujarnya.
Mama Atha bersyukur Sanggar Seroja bisa diterima masyarakat Kampung Duri. mereka sudah akrab dengan Ketua RT, Ketua RW bahkan Lurah pun sudah mengetahui keberadaan mereka. Menurut Mama Atha mungkin karena sejak lahir, dan besar di Kampung Duri bahkan orang tuanya pun juga tinggal di sana, termasuk sesepuh di sana. Jadi, masyarakat Kampung Duri sudah mengenal Mama Atha. “Sebelum mama berkegiatan di mana-mana, mama sudah aktif di kelurahan. Kayak ikut penimbangan balita di posyandu, ikut kegiatan PKK, jadi segala kegiatan mama selalu ikut.”jelasnya. Selain itu Sanggar Seroja juga aktif membantu warga Kampung Duri. Misalnya saat kegiatan 17 Agustusan lalu, Sanggar Seroja membantu dengan memberikan buku tulis, pensil, penghapus, dan serutan sebagai hadiah lomba anak-anak. “Jadi masyarakat sini memang open terhadap rekan-rekan.”katanya. Mama Atha berharap agar Sanggar Seroja bisa lebih maju dan memiliki tempat yang lebih luas untuk mendukung aktivitas mereka. Apalagi kalau sedang banyak acara, mereka bisa hampir tiap hari berkumpul untuk latihan. Itulah mengapa mereka membutuhkan tempat yang lebih luas.
Nah, gimana nih Tabumania? Cukup menginspirasi gak ni aktivitas kawan-kawan Sanggar Seroja? Tidak hanya melakukan kegiatan seni saja tetapi juga melakukan kegiatan untuk lingkungan dan warga sekitar.
0 comments on “Sanggar Seroja Respon Perubahan Iklim: Dari Kumpulkan Sampah hingga Buat Eco Enzyme”