20 November menjadi waktu yang penting, utamanya bagi orang-orang yang mengidentifikasikan diri sebagai trans. Momentum tersebut menjadi sebuah peringatan International Day of Remembrance (TDoR) sejak 1998 yang diinisiasi oleh Gwendolyn Ann Smith, seorang aktivis transgender yang berprofesi sebagai Desain Grafis. Peringatan TDoR juga memperingati kematian sahabatnya Rita Hezter, yang dibunuh di Allston, Massachuset, Amerika Serikat. Sejak Peringatan pertama itu, TDoR diputuskan untuk menjadi peringatan yang dilaksanakan setiap tahunnya setiap 20 November. Sedangkan di Indonesia, peringatan TDoR pertama kali pada 2015. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekerasan persekusi dan diskriminasi yang dilakukan terhadap waria di seluruh dunia termasuk di Indonesia pernah terjadi.
Peringatan TDoR pada tahun 2021 dilakukan secara kolektif yang terdiri dari individu, organisasi waria, transmen, organsasi LGBTIQ, serta allies. TDoR dilakukan secara virtual sejak pandemi Covid-19 melanda di seluruh dunia termasuk Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh Transmen Indonesia (TI) , organisasi yang beranggotakan transgender dan translaki-laki di Indonesia, berkolaborasi dengan Kolektif Tanpa Nama (KTN) sebuah organisasi LGBTIQ berbasis di Yogyakarta. Dalam kegiatannya, TI diwakilkan oleh R. Miyano dan Wahyu Pasemah bersamaseorang transgender laki-laki, Zefan Nugraha.
Jauh sebelum peringatan TDoR berlangsung, ketiganya telah menuliskan masing-masing kisah yang dikumpulkan dalam satu buku berjudul ”Cerita Sehari-hari Diri dan Semua yang Mengitari”. Di dalam setiap cerita, R. Miyano, Wahyu Pasemah, dan Zefan Nugraha menceritakan pengalamannya yang dituangkan dalam cerita pendek dengan balutan rasa dan kisah-kisah kehidupan sebagai seorang transgender di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar. Ketiganya ingin memberikan gambaran, bahwasannya hidup sebagai trans laki-laki itu tidak mudah. Tiap hari mesti menghadapi salah panggilan, susah mendapatkan pekerjaan formal, hingga pemaksaan menikah. Walaupun itu terasa berat akan tetapi kawan-kawan trans laki-laki bisa bertahan sampai sejauh ini dengan caranya masing-masing untuk menghadapi hal-hal yang sangat memberatkan hati salah, satunya dengan menulis.
Pada peringatan TDoR 2021, TI dan KTN mengadakan Instagram Live atau IG Live yang mana R. Miyano, Wahyu Pasemah, dan Zefan Nugraha berbagi pengalaman tentang bagaimana menulis bisa menguatkan ketiganya dalam menjalani hari-hari sebagai transgender atau translaki-laki. IG Live tersebut memiliki dilakukan pada 12 November 2021 dengan judul “Merekam Rasa & Membangun Daya”. Aktivitas tersebut dilaksanakan di akun Transmen.Id dan akun personal masing-masing penulis. Acara berlangsung selama dua jam dan di moderatori oleh kawan kita Mario Prajna Pratama seorang transgender laki-laki.
.Menulis bagi sebagian orang bisa meringankan sebuah ketakutan, ada hal yang tidak bias kita ceritakan ke keluarga ataupun teman yang paling dekat dengan kita. Tetapi kita bisa menceritakannya dengan menulis. Apa yang kita tulis tidak semerta akan menjadi sebuah buku ataupun cerita pendek yang akan kita terbitkan untuk dibaca oleh orang banyak. Menulis itu metode untuk kita bercerita tanpa banyak orang yang tahu, tulisan bisa di simpan dibuku galeri ataupun menjadi lembaran-lembaran surat yang bisa kita simpan di suatu tempat, jikalau memang kita memang berniat untuk menadi sebuah buku tulisan tulisan itu bias kita bukukan dan menjadi sebuah kenangan. Moderator sempat bertanya “waktu menulis buku ini ada memori yang tidak nyaman yang harus diingat dan itu kamu tuliskan pada buku ini, pengalaman Wahyu Pasemah sendiri. Keputusannya untuk menulis juga mengalami rasa dilema karena apa yang akan dia tuliskan akan dibaca oleh banyak orang mungkin saja akan dibaca oleh orang terdekatnya. Akan tetapi itu semua ia lewati dan berdamai untuk terus menulis Cerita ini Mungkin saja akan berbeda dengan apa yang dialami oleh R. Miyano dan Zefan Nugraha. Dalam tulisan R.Miyano dalam sebuah kalimat “Hal yang paling dia takutkan adalah bertemu keluarga”. Ada pengalaman sang karakter yang paling menyakitkan dan ia menuangkannya dalam buku ini. Berbeda dengan Zefan Nugraha, ia bercerita dalam masa penulisan buku, ia melalui hari yang berat dan dalam kondisi mental yang tidak baik, sehingga penyerahan draft tulisan di luar jadwal deadline.
Selama IG Live ada penonton yang bertanya, jika saya tidak senang menulis, terus hal apa yang bisa saya lakukan untuk mengeluarkan unek-unek. Menulis banyak orang enggan karena harus menggunakan bahasa yang baku dan tersusun, padahal menulis adalah hal yang ingin kita ceritakan, jangan peduli dengan EYD ataupun kalimat yang tersusun dengan rapi. Kalaupun kita belum mampu menulis kita bisa menggambar ataupun menggunakan voice note yang telah tersedia di smartphone saat ini. Ada banyak cara yang bisa kita gunakan untuk berkeluh kesah tentang kehidupan yang telah lelah kita jalani. Ada yang ingin menyimpannya ada yang ingin menggabadikannya dan dibaca oleh orang banyak.
Jika kita belum siap bercerita tentang kisah kita kepada keluarga ataupun sahabat maka ceritakanlah lewat pena dan buku atau buka laptop maka mengetiklah jika mengetikpun kamu belum siap maka rekamlah ceritamu.
Artikel ini ditulis oleh Wahyu Pasemah-Transmen Indonesia
(Wahyu Pasemah, nama yang berarti pembawa petunjuk yang kuat, setia kawan dan berani berkorban untuk sesama. Nama ini disematkannya setelah ia mendeklarasikan diri sebagai seorang transpria. Ia berusia 31 tahun dan lahir di salah satu kota kecil di pulau Sumatera, kota yang sejuk penuh dengan pemandangan gunung dan bukit yang indah. Ia merupakan anak nomor dua dari lima bersaudara perpaduan darah Jawa dan Sumatera. Hidup di Sumatera membawa darah Jawa membuatnya sering di-bully sampai sempat tidak mau berkawan dengan orang Jawa. Saat kuliah kesehatan di Jawa membuatnya tertarik pada isu Kesehatan reproduksi serta belajar tentang manusia dengan ragam suku, etnis, dan agama membuatnya terbuka berkawan dengan siapa saja. Baginya, jika menjadi anak Sumatera keturunan Jawa tidak mudah, begitu juga menjadi transgender ditengah-tengah masyarakat yang masih sangat normatif. Karenanya, ia tidak pernah lelah dalam menemukan perjalanan panjangnya.
0 comments on “Rekamlah Ceritamu”