Tabumania, selagi belum berakhir, Qbukatabu ingin turut mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalani. Kali ini ruang redaksi menyajikan pandangan tentang queer dan Islam. Salah satunya disampaikan oleh Ibu Fatum Abubakar, seorang dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, Maluku Utara. Yuk, simak catatan dari obrolan daring berikut sambil menemani acara ngabuburitmu!
Bagaimana pandangan Ibu tentang queer?
(Ketika bicara) orientasi seksual, (bagi saya) Islam terlalu keras memberikan warning. Islam yang rahmatan lil alamin belum sepenuhnya menjadi identitas Muslim, (karena) masih ada dari kita mengkotak-kotakkan dan bahkan masih ada sebagian dari Muslim sendiri yang berani mengkafirkan sesama Muslim.
Terkhusus pada cerita queer saat ini, saya secara khusus belum pernah berinteraksi dengan mereka. Pada umumnya (saya) pernah berinteraksi dengan teman-teman Waria di Yogyakarta saat saya melanjutkan studi beberapa tahun lalu. Oleh karena itu, ini pengalaman baru bisa mengenal teman-teman queer.
Bagaimana memahami queer dan Islam?
Saya mencari beberapa referensi terkait ini, saya menemukan tulisan Buku Living Out Islam; Voices of Gay, Lesbian and Transgender Muslim karya Scott Siraj al-Haqq Kugle. Ia mencatat tentang ruang spiritual yang terjadi pada Lesbian, Gay, Biseksual, Trans, Queer dan Interseks.
Menurut saya Islam harus fleksibel menghargai kepada mereka dengan orientasi seksual lainya manakala mereka beribadah dalam ruang privatnya. Dan nilai kebaikannya tentunya berpulang pada diri mereka sendiri, bukan kepada orang lain. Karena hanya di dalam ruang-ruang privasi, mereka bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya sendiri. Wallahu a’lam bi sawab.
Bagaimana Islam bersikap terhadap keberagaman ini?
Dalam hal toleransi, dalam Islam telah banyak ayat dan hadis yang mengingatkan tentang hal itu, sekalipun kadang kita tidak sadar sudah melakukan tindakan diskriminasi. Kedengarannya sangat ringan dan enteng, akan tetapi berat dan masih setengah hati melakukannya. Toleransi terhadap keberagaman identitas gender dan seksualitas menjadi bukti bahwa ada pola yang ditanamkan orang tua pada anak-anaknya dengan pola halal-haram, sehingga anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang menghakimi dengan justifikasi agama dan tanpa sadar menjadikan mereka pribadi yang intoleran.
Hadis tentang toleransi bil khusus ditemui ditujukan pada pemahaman keagamaan, hadis dan ayat menjadi payung besar bagi seluruh alam, manusia yang beragama dan tidak beragama. Hadis tersebut antara lain; “(Tidak ada paksaan dalam agama)” dan“ “(Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami)”. Toleransi diharuskan oleh Islam. Karena Islam secara definisi adalah damai, selamat dan menyerahkan diri. Selain itu hadis lain menyatakan persaudaraan “irhamuu ahlal ardhi yarhamukum man fil sama” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di langit kepadamu).
Sebagai pelengkap dari catatan di atas, terdapat satu orang lagi tokoh yang aktif memperjuangkan isu queer dan Muslim yang tak kalah wajib untuk diulik. Ia adalah Amina Wadud, seorang profesor sekaligus teolog Muslim dari Amerika yang dikenal atas kedalaman kajian-kajiannya atas peran perempuan dalam Islam. Beliau merupakan sosok yang berperan dibalik berdirinya “Queer Islamic Studies and Theology (QIST)”, sebuah kolaborasi yang membahas keragaman manusia dalam Islam, khususnya keragaman seksualitas. QIST dibentuk dengan tujuan untuk merebut kembali hak untuk beribadah dengan mendirikan ruang yang inklusif, terutama bagi orang-orang queer. QIST banyak mengkaji mengenai bagaimana queer didefinisikan dalam Al-Quran, termasuk bagaimana seorang queer dapat tetap menjalankan kehidupan beragama.
Memahami perihal seksualitas dari sudut pandang seorang Muslim mungkin dapat menjadi hal yang sulit dilakukan. QIST, bekerjasama dengan Muslim Youth Leadership Council menuliskan sebuah artikel panduan yang dimuat pada websitenya yang berjudul “I’m Muslim and I Might Not Be Straight”. Muslim Youth Leadership Council sendiri merupakan sebuah organisasi yang beranggotakan orang Muslim muda yang aktif mempromosikan hak-hak asasi serta kesehatan seksual dan reproduksi bagi para LGBTIQ Muslim. Pada artikel tersebut, QIST menuliskan bahwa menjadi queer tidak lantas membuat kita menjadi kurang Muslim atau kurang religius. Kita tidak harus memilih antara agama dan seksualitas, maupun jenis kelamin. Kita bisa menjadi queer dan tetap menjadi seorang Muslim karena kita, sebagaimana manusia lainnya juga merupakan ciptaan Allah. Berikut cuplikan paragrafnya:
“At the end of the day remember that Allah made all of their creations with beauty and love in mind. Being queer does not make you any less Muslim or any less religious. You do not have to choose between your religion and your sexuality and gender. You can be queer and still be whatever type of Muslim you want to be. Allah made humans with a wide array of genders and sexualities, and they know their creations best. Queer Muslims are not a tragic story. We are real, valid and exist in mosques and communities everywhere.”
Kita dikondisikan untuk melihat diri kita sendiri melalui batasan-batasan yang ditentukan oleh sistem saat ini. Hanya dengan cara menolak pandangan tersebut, kita dapat bertransformasi dan mengubah masa depan queer yang lebih merdeka dalam beridentitas.
Bagaimana, Tabumania, semakin penasaran kan, dengan QIST dan kajian-kajiannya mengenai queer dan Islam? Sembari mengisi waktu luang di tengah ibadah puasamu, kamu bisa membaca artikel-artikel menarik lainnya pada websitenya yang beralamatkan www.qist1.com.
Pada akhirnya, orientasi seksual dan identitas gender hanya merupakan bagian dari keseluruhan identitas kita sebagai seorang manusia. Kita bisa memiliki keduanya bahkan lebih, tanpa harus membatalkan identitas satu dan lainnya. Karena, tidak ada yang salah dengan menjadi seorang queer sekaligus menjadi seorang Muslim.
0 comments on “Mengulik Pandangan tentang Menjadi Muslim dan Queer”