Buka Cerita

Membicarakan Masa Kecil yang Terluka untuk Pulih

Judul buku: Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa  | Penulis: Patresia Kirnandita  | Penerbit: EA Books  | Jumlah halaman: xviii + 230 halaman | Tahun terbit: Cetakan kedua, Desember 2021

“…..pengasuhan toksik akan berjalan dalam suatu siklus tak berkesudahan bila satu generasi tidak segera menyadari dan memperbaikinya.”(hal 57)

Tabumania, kutipan tersebut berasal dari buku yang saya baca belum lama ini; Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa. Buku ini memembahas tentang inner child terluka dan toxic parenting. Ia mengisahkan pengalaman pribadi penulis disertai referensi ilmu psikologi dari berbagai sumber termasuk wawancara psikiater maupun psikolog. Saya merekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang sedang tertarik mempelajari pengembangan diri. Namun perlu diingat, membahas pengalaman masa kecil hingga perjalanan masa dewasa bisa saja triggering bagi sebagian pembaca khususnya yang memiliki atau pernah mengalami pola asuh toksik. Penulis buku ini bahkan menuliskan pesan sebelum memasuki bab 1 yaitu ”Banyak bagian dari buku ini memuat cerita, ingatan dan refleksi yang emosional. Jika kamu merasa sesak saat membaca bagian tertentu, kamu bisa melewatinya. Temukan teman untuk menceritakan perasaanmu, atau tunggu sampai perasaan kamu kembali membaik.” Bahkan saya pun sampai beberapa kali terhenti membaca, meskipun penasaran untuk segera menyelesaikan membacanya hehehe

Kutipan yang saya ambil di awal tulisan ini, menjelaskan bahwa pengasuhan toksik akan memengaruhi cara hidup seseorang saat dewasa ketika ia tidak menyadari kemudian memperbaikinya. Cara asuh akan memengaruhi perkembangan hidup seseorang hingga dewasa bahkan sampai ketika orang tersebut memiliki anak. Luka-luka yang terjadi pada cara asuh (masa kecil) tidak akan hilang begitu saja seiring dengan waktu. Namun, ia akan membekas pada diri seseorang. Apabila orang tidak menyadarinya, akan berlanjut memengaruhi terhadap pola pengasuhan anaknya kelak (toxic parenting). Siklus ini akan berhenti ketika satu generasi mulai menyadarinya kemudian berusaha untuk membicarakannya atau mengatasinya. Hal inilah yang dilakukan Patresia sesuai yang ia tulis dalam buku ini. Ia menceritakan pengalaman toxic parenting yang ia alami dan beberapa kenalannya serta upaya apa saja yang ia lakukan untuk memutus siklus tersebut, baik melalui upayanya sendiri maupun dukungan pasangan dan profesional (psikolog dan psikiater).

Buku ini mengajak pembaca untuk mengingat masa kecil dan menyadari tentang kedekatan dengan orang tua atau relasi dengan orang tua turut memengaruhi relasi dengan pasangan. Patres menceritakan tentang kegagalan beberapa relasi yang ia jalin. Kemudian pada suatu ketika ia berkonflik besar dengan mantan pasangan yang membuatnya obsesif, hilang nafsu makan, cemas level 10 sampai hilang akal sehat mendorongnya untuk datang ke psikolog untuk pertama kalinya. Ternyata setelah membicarakan tentang hal yang dialaminya, psikolognya menyatakan relasi Patres dengan keluarga menjadi akar permasalahan relasi yang sekarang. Keterpurukan yang terjadi akibat luka dan duka yang belum selesai. (hal 144).

Mengutip Psychology Today, inner child adalah sekumpulan peristiwa masa kecil, buruk maupun baik kemudian membentuk kepribadian (dewasa) saat ini. Ketika membahas inner child, Patres menyebutkan hal tersebut berhubungan dengan pola asuh tidak ideal menyebabkan luka berkepanjangan pada diri seseorang yang sering luput disadari setelah ia menginjak usia dewasa. Psikiater I Gusti Rai Wiguna SpKJ, seperti yang disebutkan Patres dalam bukunya, mengatakan bahwa “inner child tidak selamanya terkait hal-hal buruk. Beberapa orang memiliki inner child terluka akibat memori masa lalu yang buruk dan itu berdampak pada diri mereka ketika dewasa, entah dalam berelasi, mengambil keputusan besar, atau bereaksi terhadap tekanan tertentu. Pengalaman inner child begitu besar dipengaruhi oleh pola asuh yang kita dapatkan saat kecil.” (hal 58).

Relasi Patres dengan orang tuanya khususnya ibunya bisa dikatakan kurang baik. Patres menyebutkan komunikasi akrab antara dirinya dan orang tua tak benar-benar dirasakannya sejak kecil. Padahal ia menginginkan sebaliknya. “Namun, saya membutuhkan dia juga sebagai teman mengobrol, sebagai sosok yang terbuka dan tahu apa yang sedang dialami, dipikirkan, dirasakan anaknya. Saya berharap ia memperhatikan lebih dari perkara memenuhi kebutuhan sekolah dan perut anaknya, memahami kenapa anaknya tidak suka sesuatu dan menghargai pemikiran anaknya alih-alih sekadar mendikte atas nama “ini yang seharusnya dilakukan anak, dilakukan orang tua. Hubungan kami cenderung kaku dan dingin alih-alih hangat.”(hal 4-5). Apakah Tabumania juga pernah merasakan hal ini?

Perjuangan Patres untuk pulih pun tidak mudah. Ia berkali-kali harus ke psikolog maupun psikiater. Masalah kesehatan mentalnya sampai-sampai membuatnya kepikiran untuk menuntaskan hidup sendiri. “Lebih dari lima tahun setelah saya pertama kali mendatangi psikolog, saya berulang kali mengalami relapse atau gejala-gejala masalah kesehatan mental yang mengemuka. Perpaduan antara gangguan kecemasan dan depresi adalah hal mujarab yang membuat saya lagi-lagi terpuruk dan berpikiran untuk menyublim saja dari dunia ini.”(hal 110) Ia juga sering marah terhadap pasangan dan anak. Itulah mengapa ia tidak ragu untuk mencari pertolongan kepada psikiater maupun psikolog. “Sekali lagi, psikolog saya seakan menjadi mercusuar ketika saya berlayar dalam kegelapan.”(hal 162).

Membaca buku ini seperti memperoleh kompas atau petunjuk arah ketika mengalami atau memiliki luka di masa lalu yang belum sembuh. Sembuh dari luka masa lalu yang diakibatkan relasi dengan orang tua tentu membutuhkan waktu. Namun, perlu diingat semua yang kita rasakan adalah valid adanya. Seperti yang dikatakan Patres di bukunya halaman 205, “Satu hal yang mesti dipahami, apa pun perasaan anak yang muncul karena kejadian-kejadian yang melibatkan orang tuanya itu valid.” Dan untuk pulih, bukan berarti semua harus dilalui sendiri tetapi bisa juga melalui dukungan orang terdekat dan profesional (psikolog dan psikiater).

0 comments on “Membicarakan Masa Kecil yang Terluka untuk Pulih

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: