Tabumania, tahun 2020 menjadi masa yang membuat masyarakat terlilit rasa was-was dan waspada. Seluruh aspek kehidupan tak menentu, baik dari sisi ekonomi dan kesehatan. Iya, masa pandemi! Situasi ini pun memberikan dampak berlebih kepada para penggerak organisasi/kolektif yang mengorganisir kelompok Lesbian, Biseksual, Trans, Interseks, dan Queer (LBTIQ), termasuk perempuan cis. Sebelum masa pandemi COVID-19 pun, LBTIQ terus mengalami kesusahan berlapis. Mulai dari tidak adanya pengakuan negara, apalagi perlindungan kesehatan maupun bantuan ekonomi.
Meski begitu, tidak sedikit kelompok masyarakat membantu masyarakat lainnya yang berfokus pada individu-indvidu LGBTIQ. Perkumpulan Suara Kita, diwakilkan Hartoyo, membuka lapak secara daring untuk menjual barang pre-loved melalui Facebook dengan hasil penjualan disalurkan kepada kelompok LGBTIQ yang terdampak pandemi, berupa; sembako, nasi bungkus, dan juga uang[1] . Sanggar Seroja dan Queer Language Club (QLC) turut melakukan solidaritas yang sama. Inisiatif itu berangkat dari salah satu waria yang bertempat tinggal di Bukit Duri, Jakarta, telah kehilangan sumber mata pencahariannya dengan merias, sejak COVID-19 melanda Indonesia. Sigap, Sanggar Seroja dan QLC mendata individu yang terdampak, mengumpulkan dana dari individu sekutu, jaringan komunitas, dan organisasi untuk menyediakan makan pagi dan sore bagi 65 waria yang ada di Bukit Duri[2]. Inisiatif lain berasal dari sekelompok orang muda yang tergabung dalam kolektif Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS) yang mengajak individu LGBTIQ di Jakarta, Bandung, Bogor, Surabaya, Medan, dan area CIAYUMAJAKUNING (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan)[3] untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam waktu jangka panjang dengan budidaya tanaman untuk dikonsumsi sendiri maupun bersama komunitasnya melalui pelatihan virtual dan praktik langsung tentang bercocok tanam.
Tabumania, hingga tahun berganti, virus COVID-19 yang telah masuk ke Indonesia sejak Maret 2020 tidak kian pergi. Masyarakat semakin getol terus menjaga kesehatan sembari mengelola pengetahuan tentang gender dan seksualitas terus diupayakan. Qbukatabu sebagai wadah untuk kelompok LBTIQ dan sekutu, dengan salah satu ranah kerja memproduksi pengetahuan gender dan seksualitas, telah menginisiasi kegiatan menulis kreatif bersama 15 penggerak organisasi/kolektif feminis queer. Mereka mewakili organisasi/kolektif Pelangi Kota Karang (Kupang), Gamacca (Makassar) TalitaKum (Jawa Tengah), Interseks Asia Indonesia, Transmen Indonesia, Esbisquet (Kalimantan Tengah), Kolektif Tanpa Nama (Yogyakarta), Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK, Aceh), dan Qbukatabu sendiri.
Prakarsa ini dilakukan untuk mengelola pengetahuan tentang gender dan seksualitas dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengalaman para penggerak organisasi. Pengalaman ini tentu tidak luput dari masa-masa jatuh dan bangkit kembali hingga rasa-rasa tak berdaya dan penuh daya. Hal itu berangkat dari refleksi terhadap transformasi yang ada di diri sendiri, lingkungan terdekat, maupun hal yang lebih luas lagi. Ada empat sub-tema yang dapat dipilih dan menjadi langkah awal menulis, yakni lini masa kehidupan mengenai identitas diri, nilai-nilai yang menginspirasi dan dihidupi, dan perjuangan keseharian menghadapi lingkungan sekitar maupun lingkungan lebih luas.
Tentu saja, para penulis memiliki proses yang berliku dalam menuliskan pengalaman diri sebagai individu feminis dan queer. Terlebih lagi, para penulis berada di titik letak geografis yang berbeda dari berbagai daerah di Indonesia. Sehingga, banyak cerita-cerita yang merefleksikan kearifan lokal dari setiap kehidupan penulis, juga narasi-narasi yang membuat pembaca melototkan mata ketika membacanya, atau senyum-senyum sendiri karena merasakan hal yang serupa dalam kehidupan sehari-hari.
Para penulis berhasil merampungkan berbagai karya tulisan berbentuk cerita pendek, puisi, jurnal, esai, surat-surat, dan refleksi berkat bimbingan fasilitator Reda Gaudiamo yang memiliki latar belakang penulis dan musisi —yang tentu saja terbiasa dengan segala bentuk diksi serta irama. Proses menulis kreatif terasa haru sekaligus memuaskan! Pada akhir aktivitas, berkat kerjasama dengan Orbit Indonesia —sebuah lini proyek dari Indie Book Corner untuk merancang proses distribusi, para penulis dapat meluncurkan buku antologi yang berjudul Cerita Sehari-Hari Diri dan Semua yang Mengitari pada 19 Juni 2021 melalui platform daring. Hari peluncuran ditetapkan bersama seluruh penulis pada bulan Juni yang bertepatan dengan momentum Pride Month. Pilihan waktu ini sekaligus memperingati atas perjuangan kelompok LGBTIQ untuk terus menyalakan keberanian dalam menantang budaya kekerasan yang sistemik, terutama bagi kelas menengah bawah, dan kulit berwarna di pelbagai belahan dunia.
Hari peluncuran buku diisi diskusi bersama sekutu penanggap buku, Ni Made Purnama Sari (Penulis) dan Inaya Wahid (Pegiat Seni dan Budaya). Ketika sang moderator, William Umboh, menanyakan tentang tanggapan setelah membaca buku ini, mereka berdua menikmati dan turut merayakan kelahiran buku antologi ini.
Bagi Ni Made Purnama Sari, buku ini adalah kumpulan tulisan yang telah melewati berbagai proses yang tak mudah sehingga peluncuran buku ini patut menjadi momen yang perlu dirayakan karena para penulis berhasil mengurai pikiran, menata dan mengasah rasa. “15 cerita yang ditulis di sini, tentu melalui tahapan-tahapan yang sungguh tidak mudah, karena dalam menulis kita melalui aneka lapis demi lapis proses agar bisa tulisan itu jadi dan dibaca oleh banyak orang. Prosesnya bisa dimulai dari menguraikan pikiran, lalu ada juga menata kata, dan yang paling penting di antara semua itu adalah mengasah rasa. Menata rasa yang muncul dari semua tahapan-tahapan tadi. Mengapa ini saya bilang ini tidak mudah, karena semuanya merangkum secara apik dan luar biasa, bukan hanya kisah-kisah silam yang traumatik, pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan, yang itu tidak hanya membutuhkan keberanian tetapi juga kejernihan hati. Saya harus sampaikan selamat, apresiasi yang setinggi-tingginya buat teman-teman karena sudah bisa melampaui sesuatu yang sifatnya pelik, traumatik, dan kelam di masa silam dan menghadirkannya dalam tulisan dengan jernih, yang bisa menjadi cermin kita untuk melihat kenyataan yang sebenarnya.”
Inaya Wahid pun menegaskan tentang proses menulis sebagai upaya untuk memulihkan diri serta membantu orang lain untuk pulih karena pengalaman dalam tulisan tersebut dapat terkoneksi dengan pengalaman pembaca, ”Saya merasa ini perlu banget diapresiasi, luar biasa. Saya jadi ingat sesuatu, teman saya selalu bilang gini ‘menulislah, karena itu membantumu untuk sembuh dan itu membantu orang lain untuk sembuh.’ Dan itu yang dilakukan teman-teman. Jadi, saya rasa tidak berlebihan kalau saya bilang teman-teman berhak untuk menepuk punggung sendiri dan bilang I am proud of you. Proses yang dilalui pasti sangat berat dan teman-teman menyampaikannya dengan sangat baik. Waktu pertama kali bukunya dibilang tentang perjalanan queer dan segala macam isu LGBTQ, saya langsung gini ‘oke, baiklah, ini pasti akan berat, ini akan menguras emosi.’ Itu yang pertama kali muncul di kepala saya. Tapi yang menarik, ketika membaca buku ini, saya tidak merasakan itu, saya menemukan kehangatan, penerimaan, dan banyak sekali sinar, cahaya. Ketika saya membacanya banyak menemukan ‘wow’ ini banyak sekali ceritanya, manis ya. Bahwa di balik semua perjuangan itu ada banyak sekali hal-hal yang sebenarnya bisa dimaknai dengan jauh lebih besar daripada hanya kemarahan, sakit hati, ketidakadilan —bahwa itu tetap ada tentu saja. Tapi bagaimana itu membuat kita yang membaca, apapun identitas kita, kejadian di hidup kita, kalau saya merasa relate. Membantu orang lain untuk sembuh juga, bahwa cerita yang berat tidak melulu dituliskan dengan kondisi yang berat juga.”
Tak hanya apresiasi dari para penanggap, kegiatan peluncuran juga dimeriahkan dengan penampilan-penampilan seni tari, dari pelakon cross-gender Ari Setiawan, musik dari Nada Bicara dan Reda Gaudiamo, monolog dari Esbisquet, dan pembacaan puisi Ceto Rosone Atiku dari TalitaKum.
Di akhir acara, William Umboh kembali mengingatkan bahwa pembelian buku antologi ini juga menjadi upaya yang dilakukan para penulis untuk bersama-sama mengumpulkan dana yang akan digunakan untuk mendukung individu dan kelompok perempuan, transgender, insterseks, dan identitas non-biner lainnya yang terdampak pandemi.
Tabumania! Semoga semakin tergerak untuk saling bantu di tengah situasi yang tidak menentu dan salah satu caranya dengan membeli buku Cerita Sehari-Hari dan Semua yang Mengitari ini 🙂 Terus dukung para penulis lesbian, biseksual, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya dengan membaca, mengulas dan mengapresiasi karya-karyanya!
Selamat membaca dan berimajinasi!
(Ayunita Xiao Wei, staf Unit Pengelolaan Pengetahuan Qbukatabu)
[1]Tika Adriana, 2020, Solidaritas dalam Pandemi di Kelompok LGBT, diakses di https://www.konde.co/2020/04/solidaritas-dalam-pandemi-di-kelompok.html/ pada 29 Juni 2021, pukul 10.01 WITA.
[2]Ibid.
[3]Penulis adalah salah satu penerima manfaat kegiatan.
0 comments on “Antologi Cerita Sehari-Hari Diri dan Semua yang Mengitari, Sebuah Karya Para Penggerak Feminis dan Queer Indonesia”