Buka Cerita

Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual di Ploso

Tabumania, dalam melawan aksi kekerasan seksual kita tidak bisa sendirian. Perlu berjejaring dengan banyak unsur dan saling bergandengan tangan untuk berjuang mengatasi segala hambatan dan memperoleh keadilan.

Setidaknya itulah yang terjadi ketika terbentuk Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual di Ploso, Jombang. Menurut Ana, perwakilan dari Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual, terbentuknya aliansi berawal dari Women’s Crisis Center (WCC) Jombang memperoleh pengaduan tentang kekerasan seksualdi Pesantren Shiddiqiyyah pada 2017 dengan tersangka Mochamad Subchhi Azal Tsani. Namun, seusai pengaduan tersebut, WCC Jombang sempat kehilangan komunikasi dengan korban karena korban tidak lagi menghubungi. Hingga pada 2018 WCC Jombang memperoleh informasi dari salah seorang rekan yang juga mendampingi kasus ini dari Semarang. Nah, dari informasi tersebut, WCC Jombang mengetahui bahwa ada korban yang berbeda dari laporan yang baru. Setelah itu pada 2018 muncullah Rani, yang saat itu masih menjadi santri di Pesantren Shiddiqiyyah, yang melaporkan bahwa tersangka merundung tiga temannya yang juga santri di pesantren tersebut. Rani melapor ke Kepolisian Resor Jombang. Namun, pada 21 Oktober 2019 Polres Jombang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan kekurangan bukti.

Menurut Ana, di 2019 itulah mereka merasa kasus tersebut mendapat atensi cukup tinggi, begitu pula tekanannya dan situasi yang dihadapi korban tidak mudah sehingga WCC Jombang membentuk Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual. “Kami mengundang banyak unsur ormas di Jombang dan menceritakan bahwa ini ada kasus, ada lebih dari satu korban dan mereka tidak berani speak up, sehingga butuh dikuatkan jaringan masyarakat sipil untuk mengawal korban-korban mengakses keadilan. Nah, berawal dari konsolidasi tersebut semua kemudian berjejaring dan menjadi besar.  Termasuk berjejaring dengan Komnas Perempuan.”kata Ana. Aliansi tersebut terdiri dari banyak organisasi, seperti Gusdurian Jombang, Muslimat, PMII, HMI, GMNI maupun personal orang dengan tujuan sama yaitu membantu korban untuk bisa mengakses keadilan.

Kelanjutan kasus tersebut pada November 2019, yakni penetapan tersangka. Namun, Aliansi menilai bahwa proses penyidikan di kepolisian lebih ke arah pembuktian kepada korban. Selain itu kasus jalan di tempat. “Kami pun mengkritik Polres Jombang kenapa kasus tidak segera diselesaikan, penahanan tersangka dan sebagainya.”jelas Ana. Lalu pada awal Januari 2020 Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual melakukan aksi unjuk rasa di depan Polres Jombang. Mereka mendesak polisi untuk segera menahan tersangka. Lanjut Ana, seminggu setelah aksi unjuk rasa, kasus diambil alih Polda Jawa Timur. Hal ini dilakukan untuk meredam situasi sosial atau resistensi adanya kerusuhan di Kabupaten Jombang sehingga kasus diambil oleh Polda Jatim. Kami pikir bahwa setelah diambil alih oleh Polda, proses penyelesaian kasus berlangsung lebih cepat, ternyata beberapa bulan setelah ditangani Polda kami menilai Polda gagal karena mereka sempat melakukan jemput paksa terhadap tersangka, tetapi gagal karena tersangka dilindungi jamaah-jamaahnya.”kata Ana.

Sementara itu korban terus diminta untuk memberi keterangan yang itu sesungguhnya keterangannya berulang-ulang. Kemudian korban juga diminta melakukan prosedur pemeriksaan visum lebih dari satu. Aliansi menilai bahwa hal ini terlalu memberatkan korban pada tahap untuk mencari kepastian hukum. Sementara tersangka malah tidak pernah menghadiri pihak kepolisian. Kemudian seiring berjalan proses hukum, upaya untuk menekan korban agar mau berdamai dilakukan beberapa kali. “Akhirnya pada Mei ada salah seorang saksi yang membuat postingan di Facebook yang isinya mengkritik Pesantren Shiddiqiyyah. Postingannya berpotensi mengundang kemarahan. Sehingga dari postingannya tersebut saksi ini dianiaya.”tambah Ana.

Berdasarkan keterangan Ana, selama proses pendampingan korban maupun saksi tersebut, Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan seksual beberapa kali memperoleh intimidasi dari pihak tersangka. Namun, untuk mengantisipasi hal tersebut, menurut Ana, masih belum terbangun mekanisme untuk melindungi pendamping. “Ya kita waspada, kemudian lebih berhati-hati, gak keluar melakukan aktivitas pendampingan sendiri.” jelas Ana. Menurut pengakuan Ana, mereka beberapa kali memperoleh telepon gelap dan teror selama melakukan pendampingan. Hal yang mereka lakukan adalah memblokir setiap nomor yang tidak jelas. Selain itu setiap kali ada telepon masuk, mereka tidak cepat-cepat angkat telepon tersebut. “Setiap ancaman yang kita terima bakal kita sharing dengan teman-teman yang lain.”tegas Ana.

Dalam kesempatan tersebut Ana juga menyampaikan bahwa kunci dalam melakukan pendampingan adalah berjejaring. “Bagaimana bisa sharing sumber daya, siapa melakukan apa, siapa bisa berkoordinasi dengan siapa. Kemudian mengawal atau mem-followup aduan-aduan itu yang menjadi penting. Seberapa kuat kawan-kawan di Aliansi ini bisa memengaruhi dinas terkait agar bisa tanggap.”tegas Ana.

Tabumania, inilah pentingnya berjejaring dengan banyak unsur organisasi maupun personal dalam menghadapi kekerasan seksual. Tidak hanya menguatkan diri tetapi juga memperoleh dukungan agar memperoleh keadilan. Meskipun dalam praktiknya seringkali memperoleh gangguan maupun intimidasi, namun dengan berjejaring menunjukkan bahwa kita tidak sendirian.

bisa dipanggil D (di), pembaca buku, penonton film, penggemar kopi

0 comments on “Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual di Ploso

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: