Tabumania, pasti sudah familiar dengan #pridemonth, perayaan tentang kebanggaan diri bagi komunitas LGBTQ yang biasanya berlangsung di bulan Juni. Sejarah singkatnya, #pridemonth dimulai dari perlawanan komunitas LGBTQ di Stonewall Inn yang geram dengan tindakan polisi karena melakukan penangkapan dan pemukulan. Peristiwa yang berlangsung pada 28 Juni 1969 kemudian dikenal dengan pemberontakan Stonewall, dan menjadi momentum untuk merayakan kebebasan bagi LGBTQ. https://qbukatabu.org/2018/06/28/semangat-stonewall-berbangga-dan-berlawan/
Di Indonesia, #pridemonth atau juga dikenal sebagai bulan Penuh Kebanggaan turut dirayakan komunitas LGBTQ di beberapa wilayah. Di tahun 2021, meski dengan tantangan dan keterbatasan karena Covid-19, rupanya tidak meredupkan semangat bagi beberapa perwakilan yang akan membagikan cerita dari komunitasnya untuk merayakan #pridemonth.
Tiga perwakilan yang berbagi cerita berasal dari Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Lampung. Masing-masing dari mereka akan mengulas tentang makna #pridemonth yang dikaitkan dengan perjuangan mereka untuk terus melakukan perubahan yang lebih baik bagi komunitas LGBTQ di wilayahnya.
#pridemonth di tengah masa pandemi Covid-19 dan di era maraknya digitalisasi rupanya membawa suka dan duka bagi komunitas LGBTQ di Indonesia. Letsa Wijaya salah satu perwakilan dari Pelangi Khatulistiwa mengutarakan bahwa melakukan kampanye di media sosial merupakan cara yang strategis untuk merayakan #pridemonth. Baginya upaya itu juga berguna untuk mengedukasi masyarakat, serta dapat meminimalisir risiko kekerasan dibandingkan turun ke jalan. Hal serupa juga dibenarkan oleh Bilqis dari Gaya Lentera Lampung. Baginya situasi pandemi di beberapa provinsi masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, sehingga jika tetap melakukan aksi turun ke jalan justru tidak aman bagi komunitas. Sedikit berbeda dari cerita Nety perwakilan dari Gamacca, #pridemonth biasanya dikenal dengan saling memberikan ucapan dan penguatan komunitas, baik dilakukan langsung maupun di media sosial. Bahkan di perayaan tahun ini, menurut Nety di Makassar telah dilakukan diskusi bersama komunitas, tujuannya agar tetap tersedia ruang aman. Tentunya pelaksanaan tersebut dengan memprioritaskan prosedur kesehatan.
Bagi ketiganya, #pridemonth juga menjadi ruang untuk memaknai kebanggaan atas diri sendiri sebagai individu yang beragam. Dengan rasa kebanggaan itu, menjadikan mereka sebagai orang yang berani melangkah bersama komunitas untuk melawan diskriminasi. Mereka juga tidak meninggalkan teman-temannya yang memang belum memiliki kepercayaan diri serta kebanggaan atas dirinya. Letsa, Bilqis, dan Nety menyadari bahwa untuk merayakan kebanggaan atas diri tidak mudah. Letsa misalnya, komunitas yang kerap ditemui masih sulit mengekspresikan dirinya karena ada stigma di masyarakat yang melihat sebelah mata komunitas LGBTQ. Pandangan yang tidak bersahabat, ujaran kebencian, menjadikan komunitas tertutup dan tidak muncul.
Hal serupa juga dialami oleh Bilqis, beberapa teman-teman transpuan juga mengalami kerentanan karena ekspresinya. Terlebih di Lampung terdapat organisasi masyarakat yang kerap melakukan razia pada komunitas transpuan. Menghadapi kondisi tersebut, berdasarkan cerita Bilqis, teman-temannya tidak terlalu memperdulikan hal tersebut, “Di provinsi aku sendiri temen-temen transpuannya tidak memperdulikan itu, cara mengatasinya adalah bergabung dengan organisasi atau komunitas yang pro terhadap isu minoritas.” Imbuhnya.
Di Makassar, menurut Nety juga serupa dengan Bilqis. Masih ada penolakan terhadap keberadaan komunitas LGBTQ yang datang dari keluarga, masyarakat dan juga negara. Hal tersebut juga dapat dilihat dari masih adanya persekusi, kriminalisasi, dan pembubaran kegiatan LGBTQ di Makassar. Terlebih di masa pandemi, ruang gerak bagi LGBTQ makin terbatas. Strategi yang akhirnya dilakukan oleh Nety bersama teman-temannya ialah lebih banyak mengalihkan kegiatan dan koordinasi melalui platform online.
Tabumania, ada kerinduan untuk merayakan #pridemonth dengan turun ke jalan, atau diskusi tatap muka langsung dengan komunitas. Namun begitu, tidak menghalangi Letsa, Bilqis, dan Nety untuk terus berjuang dan melakukan perlawanan lho!
Letsa di Pelangi Khatulistiwa, Pontianak, tetap melakukan pengorganisasian dengan melakukan pendekatan dengan mendengar permasalahan yang terjadi di komunitas, dan tetap mencoba menjadikan Pelangi Khatulistiwa sebagai pusat informasi yang sesuai dengan kebutuhan komunitas. “Kami mencoba pelan-pelan untuk berdiskusi dan mengarahkan pada prilaku hidup sehat, mengajak mereka untuk menerima diri dalam seksualitasnya, dan berusaha agar tidak ada gap antar sesama komunitas. Dengan demikian, kami bisa pelan-pelan bergerak bersama dengan komunitas dalam melawan stigma yang terjadi.” Ujarnya. Selain pendekatan pada komunitas, Letsa merasa pendekatan kepada pemangku kepentingan juga diperlukan. Dengan melakukan pendekatan dua arah, maka ke depannya sebagai contoh apabila ada komunitas yang ingin mengakses layanan kesehatan, dapat dilayani dengan baik tanpa adanya perlakuan tidak adil yang merujuk pada identitas dan ekspresi gendernya.
Sementara bagi Bilqis, Gaya Lentera Lampung tetap berusaha untuk hadir dan menyediakan ruang aman dan nyaman. Tetap melakukan pendampingan, serta memberikan edukasi sesuai kebutuhan komunitas. Hal serupa juga terjadi di Gamacca, bagi Nety memberikan penguatan dan penerimaan atas diri bagi komunitas masih terus dilakukan. Bahkan, Gamacca juga turut memprioritaskan keamanan fisik, psikososial, dan digital di organisasi dan di komunitas yang diimplementasikan pada berbagai jenis kegiatan diskusi.
Tabumania, bagaimana cerita tentang perayaan #pridemonth di tiga wilayah yang telah dibagikan oleh Letsa, Bilqis, dan Nety? Apakah ada kesamaan atau perbedaan dengan wilayahmu? Boleh lho, dibagikan cerita tentang dirimu memaknai #pridemonth. Kami tunggu ceritamu.
0 comments on “Tiga Cerita Makna #pridemonth di Indonesia”