Pernah nggak sih, dengar cerita tentang kesuksesan pekerja migran di luar negeri? Pulang ke Indonesia dengan keberhasilan yang dapat dibanggakan, seperti membeli tanah, rumah, kendaraan, bahkan kemampuan membiayai kebutuhan keluarganya yang lain. Penggambaran terkait kemandirian finansial tersebut membuat banyak orang tergiur untuk menjadi pekerja migran.
Kondisi mengenai mahalnya biaya pendidikan, sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia, dan situasi ekonomi lainnya, menjadikan calon pekerja migran menjadi lebih rentan. Pelaku yang berada di biro penyedia jasa kerap mengincar calon dan/atau pekerja migran, dengan menjanjikan kemudahan administrasi keberangkatan untuk bekerja, gaji besar, dan perpanjangan kontrak kerja. Syaratnya, mereka diharuskan membayar uang puluhan juta, hingga dipaksa melakukan hubungan seksual.
Dikarenakan minim pengetahuan, informasi, dan seluk beluk bekerja di luar negeri, menjadi faktor pendorong para pekerja migran untuk mencari jalan pintas. Faktor lainnya ialah rasa lelah menjalani kehidupan yang dimiskinkan di negara sendiri sehingga cepat kerja dan cepat menghasilkan uang sebagai pekerja migran menjadi solusi untuk menyelematkan situasi ekonomi keluarga.
Sebagai gambaran, berdasarkan data dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia per-2020, sektor pekerjaan informal menempati urutan paling tinggi, yaitu sebanyak 5.596, dengan jenis pekerjaan tertinggi sebagai domestic worker yaitu sebanyak 4.411. Tak hanya itu, pekerja perempuan yang terdata sebanyak 6.934 orang, jauh lebih banyak dibandingkan buruh migran laki-laki sebanyak 1.320.
Sebenarnya, tidak sedikit cerita pilu dan kasus kekerasan yang harus dialami oleh pekerja migran di luar negeri, khususnya bagi pekerja migran perempuan. Pada 2018, Tuti yang bekerja di Arab Saudi divonis hukuman mati dan diperkosa oleh sembilan orang. Pada tahun 2019, AW diperkosa bahkan oleh orang yang saat itu berstatus pejabat di Malaysia. Dan berita yang terbaru misalnya, tidak lama dari peringatan Hari Migran yang jatuh pada 18 Desember 2020 lalu, LS dikabarkan meninggal dan diperkosa di Malaysia.
Kasus tersebut, tentu menambah daftar panjang kasus yang tercatat. Para pelaku telah menggunakan cara pandang patriarki yang melihat perempuan sebagai objek seksual. Para pelaku juga menggunakan kekuatannya untuk memaksa, mengontrol, dan membuat keputusan atas tubuh perempuan. Perempuan telah dilabeli dan ditempatkan pada posisi tawar yang rendah, hingga akhirnya tak sedikit yang meninggal.
Sebelumnya, Solidaritas Perempuan melalui siaran persnya telah melaporkan ada 63 kasus kekerasan yang terjadi di tahun 2020. Sebanyak 14 di antaranya adalah kasus pemberangkatan setelah Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 260 Tahun 2015 yang berbunyi Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara kawasan Timur Tengah, yang berkontribusi pada tingginya kasus perdagangan orang. Pemerintah dinilai mengambil langkah tidak strategis hanya dengan melarang penyaluran tenaga kerja di negara dari kerentanan kasus. Pemerintah tidak memberikan perlindungan optimal pada tataran kebijakan sehingga dengan adanya aturan tersebut, pekerja migran perempuan justru dieksploitasi dengan semakin tidak aman.
Konstruksi sosial dan partriarki, telah menempatkan perempuan pada situasi yang sulit, ditambah minim perlindungan dari pemerintah. Perempuan kerap dibatasi geraknya pada ranah domestik, seperti mengurus rumah tangga dan dinomorduakan di pendidikan keluarga. Hal tersebut, pada akhirnya selaras dengan minimnya jenis pekerjaan yang harus dipilih oleh perempuan.
Meski kerentanan dan kasus kekerasan yang dialami perempuan tinggi, nyatanya pemerintah masih belum memberikan perhatian khusus pada kejadian ini. Terlebih di tahun 2020, di tengah Pandemi Covid-19, menurut data Jaringan Buruh Migran yang melakukan survei pada 35 responden menyebutkan ada kerentanan dan situasi kerja yang lebih buruk, antara lain beban pekerjaan yang berat, pemotongan upah, tidak ada hari libur, dan sulitnya berkumpul/berorganisasi. Sepanjang pandemi, saluran siaga dari Women’s Aid Organitasion (WAO) turut memaparkan ada kenaikkan sebanyak 40% yang dilaporkan tentang kekerasan yang dialami khusus pekerja migran perempuan.
Dikarenakan hal itu, advokasi pada tingkat nasional dan ASEAN terus dilakukan. Di tataran Indonesia, pemerintah didorong untuk mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Sementara di tingkat ASEAN turut diberikan rekomendasi untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_748173.pdf
Tabumania, mendengar dan melihat keberhasilan pekerja migran di luar negeri tentu dapat menumbuhkan motivasi untuk mengejar mimpi dan membuktikan diri. Namun, membekali diri dengan pengetahuan juga penting agar tidak terjerumus pada lingkar kekerasan dan masuk pada modus penipuan. Tetap mengasah kemampuan sembari terus mendorong pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang baik bagi warga negara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, menyebutkan bahwa, “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
0 comments on “Situasi Tidak Pasti Pekerja Migran Perempuan”