Dear Queer di mana pun kita berada,
Memilih menjadi diri sendiri, menjadi tantangan terbesar bagi kita, mengingat berbagai memori kenangan saat kita bertumbuh & berkembang. Saat ini usiaku sudah 31 Tahun, sudah banyak kisah hidup yang kujalani. Menjurnal bagiku, seperti menulis diari. Diari itu sudah kutinggalkan sejak menyelesaikan bangku SMA. Aku benci menulis diari, toh tidak mengubah diriku. Semakin aku
mencoba, semakin aku gagal. Aku pun berhenti menulis untukku, ketika kusadari dunia ini menolak keberadaanku. Aku semakin menyembunyikan diriku, tapi ketika mengintip dari celah-celah jendela kehidupan kutemui dia, kamu dan mereka. Akhirnya menjadi kita. Kita senasip & seperjuangan
untuk terus berjuang agar hidup menjadi hidup.
Mendekam dalam kamar kontrakanku, setelah berbulan-bulan karena pandemi Covid 19, melalui media sosial yang kupunya, ada informasi kegiatan menjurnal. Aku penasaran apa itu menjurnal, apalagi menjurnal tentang diri sendiri. Aku pun mengikuti sesi diskusi dan menulis. Di awal pertemuan, aku menjurnal tentang “Mengejar Mimpi”. Impianku saat ini masih lari di tempat.
Bencana Covid 19 masih terus terjadi dan selalu membayangi kita semua. Ketika sekolah-sekolah, pabrik, kantor-kantor dan segala usaha ditutup kita pun banyak kehilangan pekerjaan dan usaha-usaha kita. Menentukan sikap menjadi diri sendiri, membuka topeng kemunafikan ada pada diri butuh beribu-ribu cara. Aku sadar, di luar sana banyak yang seperti diriku. Bila aku mengingatnya, aku bangga mengenal kalian sahabat-sahabatku. Kalian ada, disaat aku hampir patah terus tumbuh dan berkembang lagi dan membuktikan kita ada dan benar-benar hadir. Kita juga bisa mematahkan stigma buruk tentang kita.
Jujur, aku ketika kecil suka menulis dan berpuisi serta menulis diari. Aku mulai melepas itu dan takut menulis lagi. Aku takut, mereka mengetahui diriku karena aku itu hina. Aku lesbian, aku gay, aku waria, aku tomboy. Aku bukan perokok, aku bukan pemabuk sebenarnya, aku melakukan itu semua karena mereka yang terus menghinaku pendosa paling berdosa karena tampilan diriku.
Aku sadar betul, sebelum Covid 19 saja aku dan teman-temanku sulit mendapat pekerjaan sesuai dengan ijazah sekolah kami, apalagi di tengah Covid 19. Bencana Covid 19 membuatku sadar dan tahu, mana kawan yang benar-benar kawan dan mana kawan yang menjadi musuh dalam selimut kemudian mulai menunjukan taring ketidaksukaan terhadap identitas genderku. Aku pun mulai
memilah-milah teman untuk hidupku. “Kan kita cuma bercanda.”Canda itu menyakitkanku. Tahukah kalian, setiap mata ini, menatap dunia selalu ada sebait doa pada Sang Pencipta, “Tuhan, ampunilah aku, tolonglah agar mereka tidak menyakiti diriku yang LGBT ini dan memahamiku” batinku dalam hati.
Hai Queer, Selamat Natal…
Mungkin kita memiliki kisah yang sama dan mungkin juga berbeda, tapi kita pasti memilih kesamaan yaitu memilih jalan hidup sesuai dengan isi hati kita. Cukup berat bukan, ketika mata-mata itu menatap kita. Ada was-was dalam diri ini. Dari guyonan halus lembut, candaan hingga kata-kata kasar, yang selalu dilancarkan seperti batu-batu yang menghujani tubuh ini. Teruslah tegar wahai
pelangi.
Selamat menyambut kelahiran Juru Selamat, walaupun tangan tak berjabat, mata tak saling menatap dan bibir tak terucap nyata semoga kita bisa bersua walau lewat jemari yang menekan tuts-tuts layar HP dan media digital ini jadi ruang kita bersua. Semoga Yesus sang Isa-Almasih yang menjelma menjadi manusia, selalu memberi kita sukacita dan damai.
Sepanjang Tahun 2020, aku mengikuti sebuah diskusi lintas agama. Menariknya diskusi itu mengenai perspektif agama terkait queer. Rasa bersalah pada diriku, bahwa aku itu berdosa mulai aku buang perlahan-lahan dengan diskusi dan seminar online yang kuikuti dengan para tokoh-tokoh lintas agama yang pro terhadap LGBT karena bagiku tak ada salahnya memilih mencintai sesama manusia dengan cara pandang yang berbeda. Bukankah semua agama yang kita pelajari mengajari kita terus menyebarkan kebaikan dan cinta kasih?
Buang Yang Buruk, Ganti Yang Baik. Selamat Tahun Baru Man-Teman Queer.
Tahun 2020 bagiku, adalah masa-masa tersulit dalam hidup, diberhentikan dari pekerjaan, keluar dari organisasi yang awalnya mengatakan mereka pro LGBT. Aku merasa seperti dipermainkan, ketika mengingat kembali nada-nada bully yang dilontarkan pada diriku. Jadi, aku memutuskan mengakhiri semuanya dan tidak ingin menyakiti diriku dengan selalu mendengar mereka. Aku sudah memaafkan mereka, tapi tidak untuk terus bersama mereka memperjuangkan hal yang sama. Hidup di negara berlandaskan Pancasila, memang sulit bagi diri kita dengan pilihan sebagai queer tapi saya percaya dan berharap suatu saat kita bisa saling bergandengan tangan tanpa saling mem-bully, menyakiti karena keunikan yang ada pada diri kita. Semoga semboyan Bhineka Tunggal Ika,
tidak hanya sebuah semboyan, tapi kita semua bisa nyatakan dalam kehidupan kita sehari-hari untuk hidup penuh damai.
Salam Untukmu, Semua kita yang saat ini berjuang, Queer.
Ini adalah Refleksi singkatku saat menjurnal. Ada beberapa minggu, aku memutuskan untuk berhenti menulis untuk diriku ketika mengingat kembali hal-hal yang menyakitkan. Suport dari tim Qbukatabu memberi semangat dan langkah-langkah agar terus menjurnal. Menjurnal mengajariku untuk tetap semangat akan cita-cita yang kuimpikan di saat kecil. Tak perlu terpuruk terus dengan diriku, terserah apa kata orang ketika melihat diri kita, kita harus bisa menjadi kuat dan menjadi berarti bagi mereka di sekitar kita saling memanusiakan diri kita sebagai manusia. Semoga kelak semua impian dan harapan kita untuk mendapatkan pekerjaan dan hidup yang lebih baik bisa
tercapai di tahun 2021. Marilah kita selalu bersinar seperti mentari dan pelangi yang selalu menghiasi bumi.
Terima kasih bagi semua yang sudah membaca jurnal singkatku.
(Artikel ini ditulis oleh Api, salah satu peserta Menjurnal Bersama untuk Pemulihan Diri. Seorang Queer kelahiran kota Rheina Rosari, di sebelah Timur Flores. Pengembara sejak kecil, sudah di Maumere dan saat ini berada tepat di jantung ibu kota negara. Pandemi COVID 19 membuatnya kembali memikirkan dan mengenal: “Siapakah Aku?”)
0 comments on “Surat untuk Queer”