Buka Layar

Jurnalku: Sebuah Refleksi

Hai, namaku Jeje. Saat ini, aku sedang mulai memasuki babak baru di kehidupanku; aku baru saja akan menyelesaikan studiku di program Sarjana, juga sedang sering-seringnya mengalami quarter life crisis sebagai seorang [calon] fresh graduate. Ditambah, this Covid-19 pandemic is not making my situation any better either, haha. Tapi ya sudahlah, aku mencoba untuk menikmati dan menjalani saja apa yang hidup ini berikan untukku.

Anyways, seperti yang sempat aku ceritakan, saat ini aku sedang mengalami banyak perubahan seiring berjalannya proses transisiku dari seorang remaja menjadi seorang grown up. Hal-hal yang barusan aku sebutkan sebetulnya hanya sebagian kecil dari banyak hal yang sedang memenuhi pikiranku belakangan ini; entah itu memikirkan tentang karir, masa depan, tempat tinggal, keamanan keuangan, kesehatan, tujuan hidup. Bahkan sampai ke masalah-masalah pribadi yang berkaitan dengan relasi, kehidupan sosial dan kesehatan mental.

Sebagai seseorang yang cenderung introverted dan memiliki trust issues yang cukup buruk, aku seringkali menyimpan perasaan, pikiran, dan emosi yang aku rasakan sendiri. Bahkan, tidak jarang aku memaksakan diri untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang aku hadapi tanpa meminta bantuan. Well, tentu hal ini bukan sesuatu yang harus dibanggakan atau dicontoh oleh siapapun. Karena seiring berjalannya waktu, habit seperti ini perlahan-lahan akan menggerogoti seseorang secara emosional dan berdampak pada menurunnya kesehatan mental—dan ya, aku berbicara demikian berdasarkan pengalaman pribadiku.

Karena habit-ku yang cenderung menyimpan semua perasaanku sendiri dan membatasi akses untuk me-reach out orang lain, aku mengembangkan pola coping mechanism untuk mengekspresikan perasaanku lewat metode art therapy. Metode ini sebetulnya sudah aku lakukan tanpa sadar sejak aku masih kecil lewat proses menggambar (ya, aku memang sudah memiliki ketertarikan terhadap seni visual sejak kecil) dan terus berlangsung hingga saat ini. And, I’m pretty glad to say that this method works fine for me personally.

Beberapa bulan terakhir—tepatnya sejak pertengahan bulan Oktober lalu, aku diperkenalkan dengan suatu metode coping mechanism yang berbentuk proses menjurnal (journaling) oleh Mbak Janti Wignjopranoto lewat kegiatan menjurnal bersama yang dilaksanakan oleh tim Qbukatabu.

Sejujurnya, aku sudah pernah mendengar tentang aktifitas menjurnal untuk proses healing ini sebelumnya. Namun, aku belum pernah betul-betul mencari tahu dan melakukan kegiatan menjurnal itu sendiri. Sesuai dengan pemahamanku, proses menjurnal ini pada dasarnya adalah sebuah kegiatan yang mengharuskan seseorang untuk menuliskan perasaannya di atas kertas dengan tujuan untuk ‘membersihkan’ pikiran mereka. Kegiatan ini juga disarankan untuk dilakukan secara konsisten dalam jangka waktu panjang.

To be honest, awalnya aku sering bertanya di dalam hati, “apa bedanya, sih, kegiatan menjurnal ini dengan kegiatan menggambar yang selama ini aku lakukan? Kan, sama saja tujuannya”. Tapi, setelah beberapa kali aku melakukan kegiatan menjurnal ini, ada satu perbedaan—atau bahkan sebuah benefit—yang aku rasakan dari proses menjurnal ini, yaitu proses refleksi.

Proses refleksi yang aku maksud adalah proses di mana aku tidak hanya sebatas mengekspresikan perasaanku. Namun, di saat yang bersamaan juga memetakan faktor-faktor apa saja yang membuat aku merasakan atau mengalami suatu permasalahan, serta mencari solusi untuk memecahkan permasalahan yang menggangguku tersebut. Proses ini juga mengingatkanku pada proses “dekonstruksi-rekonstruksi” yang aku jalani selama proses konselingku berlangsung dengan psikologku beberapa tahun lalu.

That being said, proses menjurnal ini cukup membantuku tidak hanya untuk mengekspresikan perasaan dan pikiranku. Namun, juga untuk melatih diriku dalam memetakan permasalahan yang aku alami atau rasakan. Kegiatan menjurnal ini juga pada akhirnya melatih aku untuk bisa sedikit demi sedikit lebih terbuka kepada orang lain (walaupun untuk saat ini, hal itu masih menjadi sesuatu yang cukup berat untuk aku lakukan, hehe) untuk meminta bantuan lewat masukan-masukan serta sudut pandang berbeda sebagai jalan keluar atas permasalahan-permasalahan yang aku hadapi.

Satu hal yang ingin aku garis bawahi dalam melakukan kegiatan menjurnal ini adalah kejujuran terhadap diri sendiri. Sama seperti proses konseling psikologis, kegiatan menjurnal ini membutuhkan kebesaran hati dari penulis itu sendiri untuk jujur terhadap dirinya. Kejujuran terhadap diri sendiri selama menjurnal adalah kunci untuk mempermudah proses pemecahan masalah atas permasalahan-permasalahan yang sedang dirasakan atau dialami.

Akan tetapi, bukan berarti seseorang harus memaksakan dirinya untuk langsung jujur terhadap dirinya dan menerima segala bentuk kebaikan maupun keburukannya secara instan, ya. If you need time, then take your time—karena, selain kejujuran terhadap diri sendiri, proses menjurnal ini juga perlu untuk dinikmati, sehingga tidak berbalik menjadi penambah beban emosi yang sudah atau sedang dialami.Harus aku akui, terkadang aku masih sering tidak konsisten dalam melakukan kegiatan menjurnal ini karena berbagai faktor; either karena aku sedang disibukkan dengan deadlines yang menanti, atau memang karena suasana hati yang seringkali tidak mendukung, haha. Either way, hal-hal tersebut tidak akan menghalangi aku untuk mengakui bahwa kegiatan menjurnal ini cukup membantuku dalam memproses perasaan-perasaan yang menggangguku. Dan aku harap, dengan membaca tulisan ini, kamu pun jadi terinspirasi untuk mulai melakukan kegiatan menjurnal ini sebagai coping mechanism-mu dalam memproses emosimu—believe me, it does work.

(Artikel ini ditulis oleh salah satu peserta Menjurnal Bersama untuk Pemulihan Diri yang diadakan Qbukatabu di bulan Oktober & November 2020. Jeje Bahri, seorang lulusan studi Kriya yang bercita-cita untuk memiliki usaha butiknya sendiri. Saat ini, Jeje sedang menekuni karirnya sebagai ilustrator di Qbukatabu dan juga sebagai seniman lepas. Ia memiliki hobi menggambar, mendengarkan musik, menonton film dan dokumenter serta melamun. Kamu boleh menyapa Jeje melalui akun Instagram @jejebahri)

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Jurnalku: Sebuah Refleksi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: