Durasi: 00:08:29 menit | Director: Anggun Pradesha | Produser: Anggun Pradesha, Riska Carolina S.H, M.H | Editor: Mayk Wongkar, Terry Prayoga
Siapa Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseks (LGBTI) yang tidak bermimpi bisa dekat dan terbuka berbagi cerita tentang dirinya kepada orangtuanya? Jujur bicara tentang rasa jatuh cinta, serta suka duka mengenai kehidupan yang dihadapi sehari-hari. Keterbukaan juga bagian dari proses, di dalamnya ada risiko-risiko yang bisa ditemui LGBTI ketika memutuskan berterus terang tentang identitasnya, seperti pengusiran, pembatasan akses, hingga pemaksaan pernikahan. Oleh karenanya, terbuka atau tidak pada keluarga, khususnya orangtua, sepenuhnya adalah keputusan yang harus dihormati.
Bagi sebagian LGBTI, dikarenakan risiko tersebut, rasa takut maupun rasa sayang yang tidak ingin menyakiti hati orangtua, akhirnya membuang jauh mimpinya untuk bisa terbuka. Namun, bagi sebagiannya lagi, mimpi juga bagian proses panjang yang coba dicapai, meski jatuh bangun di perjalanannya.
Emak Menolak, merupakan film kedua Anggun Pradesha tentang dialog intim antara ibu dan anak. Cerita ini menampilkan hal yang luar biasa. Film ini mengambil sudut pandang elok di tepian pantai yang asri. Seorang ibu bercakap-cakap dengan anaknya tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia. Percakapan yang tak biasa bukan? Tidak mengherankan sih, soalnya si anak tak lain adalah Anggun Pradesha, transpuan yang dalam kesehariannya dikenal aktif dalam isu hak asasi manusia, dan secara khusus aktif untuk pemenuhan HAM komunitas transpuan di Indonesia.
Anggun Pradesha sangat luwes menggambarkan kedekatan antara ibu dan anak seolah ia ingin memberitahu kepada masyarakat yang melihat bahwa identitasnya saat ini, tidak akan mengurangi kasih sayang antar keduanya. Mereka masih dapat bercanda, saling memeluk, dan bertukar pendapat.
Percakapan pada awal film, Anggun menanyakan ada atau tidak komentar tentang dirinya yang kurang bagus di kampung halamannya, Jambi. Dengan bahasa daerah yang khas, ibunya, yaitu Emak Kurtini, menjawab bahwa tetangga di sekitar rumah sudah tidak ada lagi yang berkomentar buruk, bila pun ada, itu sebagian dan bukan dari lingkungan tersebut. Tetangganya juga kagum dengan Anggun yang dapat membawa ibunya jalan-jalan ke luar kota.
Percakapan demi percakapan lancar mengalir dari Anggun dan Emak Kurtini. Mereka membahas tentang berbagai kejadian yang banyak menyorot tentang masa-masa yang telah dilalui Anggun. Dengan identitas transpuan, Anggun pernah mendapat komentar dari orangtua kawannya semasa SMA yang mengatakan apapun kebaikan yang dilakukannya, dia akan tetap masuk neraka. Hal yang langsung dikomentari apik oleh Emak Kurtini, “Memangnya dia Tuhan?”, “Itu kan hitungannya Allah, yang di atas”.
Tabumania, Emak Menolak merupakan percakapan gambaran nyata yang kerap dialami tidak hanya transpuan semata, namun teman-teman LGBTI. Film yang berisi curahan hati LGBTI yang mendapatkan pelecehan seksual, stigma, dan diskriminasi langsung dan secara struktural oleh negara.
Melalui perfilman, Anggun Pradesha dapat memanfaatkan industri kreatif sebagai sarana untuk membangun kesadaran orang secara kritis. Terlebih, Anggun mampu memberi pandangan pada orang lain, khususnya orangtua yang melihat filmnya, bahwa penerimaan terhadap anak dengan identitas yang beragam seperti dirinya selayaknya dapat dimaknai sebagai berkah. Bila kasih sayang diletakkan sebagai pondasi yang utama di keluarga, maka tidak ada lagi ruang untuk kebencian sehingga seorang anak yang identitasnya beragam tidak perlu lagi takut untuk jujur pada orangtuanya.
Tidak dengan cerita menye-menye saja, Emak Menolak memasukkan bahaya yang sedang dihadapi masyarakat saat ini, salah satunya tentang Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga, rancangan aturan yang dapat mengkriminalkan warga negara dengan dalih pasal perzinahan, pencabulan, dan penggelandangan. Pasal-pasal ngawur yang selayaknya harus dikritisi, tidak hanya oleh akademisi tapi juga seluruh lapisan masyarakat. Baca juga: https://qbukatabu.org/2020/03/16/dpr-jangan-halu-biar-nggak-makin-halu/
Anggun mengajak tidak hanya ibunya untuk kritis, tetapi ia mendorong agar orang lain, baik ibu rumah tangga, tukang jualan, juga melihat RUU Ketahanan Keluarga sebagai ancaman nyata yang membawa Indonesia pada kemunduran hak asasi manusia. Bila RKUHP lolos, tidak ada lagi ranah privat, bahkan warga negara diatur untuk jatuh cinta, dan rancangan ini berpotensi memenjarakan warga negara dengan pasal-pasalnya yang ngawur.
Tabumania, jika penasaran dan ingin melihat film Emak Menolak secara lengkap, bisa lihat dari tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=pMMmNGx8KpQ&t=331s. Ada juga kutipan menarik pada akhir tayangan yang dapat membantu kita melihat bahaya dari RUU Ketahanan Keluarga:
“RKUHP dalam pasal zina, pencabulan dan penggelandangan secara tidak langsung mengkriminalisasi dan menstigmatisasi ragam gender dan seksual di Indonesia, terutama transpuan. Belum lagi ancaman konversi terapi di RUU Ketahanan keluarga tetap diagendakan. Satu-satunya harapan saat ini tertumpu dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengakomodir perlindungan bagi semua orang dari kekerasan.”
Tabumania, ancaman pada LGBTI di Indonesia adalah nyata. Pemerintah melalui rancangan aturan, peraturan daerah, maupun kebijakan yang diadopsi di berbagai sektor di ranah pekerjaan, pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan lainnya, telah mendiskriminasi LGBTI.
Sepanjang tahun 2020, teman-teman transpuan khususnya masih mendapatkan kasus kekerasan hingga pada hilangnya nyawa. Pembakaran yang mengakibatkan kematian pada kawan transpuan di Jakarta Utara, penusukan kawan transpuan di Palangkaraya, penusukan kawan transpuan di Aceh, hingga penyerangan pada kawan transpuan di Papua terjadi karena pemerintah tidak memberikan jaminan keamanan dan perlindungan pada LGBTI.
Oleh karenanya, masih terus diperlukan upaya dan kerja keras bagi LGBTI untuk menggapai mimpi-mimpinya. Tidak hanya mimpi pada penerimaan di keluarga, lebih besar lagi, mimpi dipenuhi hak asasi manusianya oleh negara.
Tabumania, 20 November merupakan perayaan untuk memperingati Hari Transgender. Pastikan langkah kita bersama kawan-kawan transgender untuk mendapatkan pemenuhan HAM. Bangun kesadaran, perbanyak media kreatif untuk mengkampanyekan bahwa cinta adalah cinta, agar ke depan, film seperti Emak Menolak bisa lebih banyak menghadirkan cinta kasih orangtua, tidak hanya dari Jambi, tapi dari seluruh wilayah di Indonesia. (IS)
0 comments on “Emak Menolak, Impian LGBTI pada Ibunya”