Buka Layar

Maskulinitas Toksik, Hari Gene? Bhay !

Hai Hallo Tabumania! Senang banget deh rasanya Nce dikasih kesempatan buat nulis! (perezz… ;D). Kali ini ada bahasan yang seriiiiiiiiiing banget menghantui hari-hari Nce di jagat dunia persilatan hak asasi para pejuang khayangan alias jagad berkomunitas dan berorganisasi eim. Nah, karena Nce suka dengan perdebatan yang kritis, rasa-rasanya kali ini Nce pengen ngebahas soal racun atau toxic. Eits, bukan sianida dan kawan-kawannya, ya Tabumania, tapi toxic masculinity atau kalau di-Indonesia-kan, kita nyebutnya dengan  maskulinitas toksik…. aw aw aw!

Jadi nih, ada temen Nce, dese kan trans laki-laki yang baru-baru ini punya pengetahuan tentang identitas dirinya. Waktu dia coming out ke kawan-kawannya soal identitas sama keinginannya buat transisi medis, dia malah dituduh mengalami maskulinitas toksik. Keinginan dia transisi dituduh sebagai cara biar dia keliatan “laki” dan dapat keistimewaan jadi laki-laki. Kawan-kawannya bilang “mau naik kelas ya?”. Tuduhan bahwa kawan-kawan translaki-laki mengalami maskulinitas toksik sering banget di lekatkan, terutama saat mereka menjalani transisi sosial dengan mengubah penampilan semaskulin-maskulinnya dan melakukan transisi medis. Benarkah pilihan transisi kawan-kawan translaki bisa jadi tanda mereka mengalami maskulinitas toksik? Jangan-jangan justru orang-orang yang menuduhlah yang mengalami maskulinitas toksik? Yuk kita oprek sama-sama.

Kalau ditelusuri sejarahnya, kelahiran si maskulinitas toksik ini gak lepas dari budaya yang menempatkan identitas seksual tertentu sebagai pemimpin atau penguasa yang punya kendali buat bikin orang lain nunduk sama dia. Budaya ini bikin orang lain merasa ya semua hal tergantung si orang ini, semua hal harus diputuskan oleh orang ini. Nah, orang yang dibikin tunduk ini akhirnya ngerasa dirinya lebih rendah dibandingin dengan identitas seksual lain. Budaya ini bernama patriarki. Kenapa Nce nyebut identitas seksual, gak langsung aja bilang laki-laki dan perempuan? Pelaku patriarki bisa dari identitas manapun, bisa perempuan, laki-laki, trans dan identitas lainnya.

Apa sih peran si patriarki ini dalam urusan si maskulinitas toksik?

Jadi gini Tabumania, masyarakat kita masih banyak yang mengimani dan mengamini budaya patriarki sebagai kebenaran. Maka dari itu, ada ajaran-ajaran tentang identitas yang harus ngambil peran maskulin atau feminim (baca juga: https://qbukatabu.org/2018/04/26/mitos-dan-fakta-tentang-feminin-dan-maskulin/amp/) dan cara menjalani peran-peran itu. Yah, namanya udah dicekokin dari lahir ya, pasti ada aja yang bakalan terbawa, misalnya ngomong “masa cewe disuruh ngangkat barang” atau “masa cowo takut panas-panasan”.  Keliatannya omongan-omongan ini sepele, tapi kalau terus dilakukan, mungkin kamu memang mengalami maskulinitas toksik. Dalam budaya patriarki, seorang laki-laki harus maskulin, mengatur pasangannya dan jadi pencari nafkah. Kalau gak bisa gitu, berarti dese dianggap lemah. Nah, kalau udah dianggap lemah, ujung-ujungnya di kata-katain lah, terus di-bully dalam pergaulan, sampe-sampe nih ada yang dipaksa buat jadi “laki tulen”. Orang-orang yang ngelakuin ini nih mengalami maskulinitas toksik.

Terus gimana dengan translaki-laki yang pengen menampilkan diri seperti laki-laki yang dilihat oleh masyarakat pada umumnya? Apakah mereka mengalami maskulinitas toksik?

Beberapa kawan translaki-laki punya kecemasan terkait tubuh mereka sehingga ada usaha untuk menampilkan diri sebagaimana mereka ingin dilihat oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena berbagai faktor. Ada translaki-laki yang ngelakuin ini untuk kenyamanan diri dan ada juga yang ngelakuin ini karena alasan keamanan. Misalnya, ada kawan translaki-laki, sebut aja namanya Didi. Nah, Didi ini kerjanya jualan mie ayam, terus ada kawan rerumpian Didi makan mie ayam di tempat Didi kerja. Kebetulan pengunjung lagi rame banget, terus kawan si Didi negur “hei cin” ke arah Didi. Didi cuma ngangguk sambil jawab “woi bro” dengan suara diberatin. Si kawan bilang “ih kok dia sok laki banget ya, pasti pengen keliatan laki, dasar toksik”.

Tabumania, kalau dari cerita diatas, bisa jadi si Didi lagi ngejaga keamanan dan kenyamanan dia di tempat kerja, misalnya dia gak mau orang lain tahu identitasnya sebagai translaki karena dia gak akan  nyaman kalau orang-orang yang ada di tempat kerjanya akan manggil dia dengan salutasi perempuan. Selain itu, mungkin dia mungkin punya perjanjian dengan bosnya kalau dia boleh pakai pakaian maskulin tapi dengan syarat jangan ada yang tahu identitasnya sebagai translaki. Jadi, jangan buru-buru ngehakimin orang yang menampilkan dirinya sebagai sosok maskulin mengalami maskulinitas toksik.

Karena maskulinitas toksik ini bisa dialami siapa aja, penting buat ngedeteksi diri sendiri, Tabumania. Kali-kali aja masih ada peninggalan masa lampau benih-benih maskulinitas toksik dalam diri kamu, jadi coba cek sikap sama tindakan Tabumania :

  • Ada perasaan kamu gak selevel sama identitas lain alias identitas lain harusnya tunduk, nuruti perkataan, perintah dan laranganmu.
  • Kamu saklek banget sama pembagian maskulin dan feminin, termasuk cara bicara, cara berpenampilan sampe peran dalam hubungan.
  • Kamu nganggep bahwa nunjukkin ekspresi emosi adalah sesuatu yang hina karena ekspresi emosi menurut kamu cuma dilakuin orang-orang yang harusnya menjalani peran feminim.
  • Kamu buktiin kalau kamu kuat dengan melakukan tindakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan

Sebagian besar para penghuni Bumi ini mungkin gak sadar ikut mengamini maskulinitas toksik. Kenapa? Dari jaman neneknya nenek kita atau bahkan sebelumnya, ajaran yang di dalamnya ada unsur maskulinitas toksik ini dianggap sesuatu yang “seharusnya”. Coba deh liat iklan minuman berenergi atau rokok yang beredar di media. Pasti pemeran dalam iklan adalah cis laki-laki dengan gestur maskulin, ekspresi maskulin dengan slogan tentang betapa maskulinnya kamu kalau beli produk mereka dan laki-laki seharusnya begitu. Nah, coba giliran iklan deterjen atau obat flu, pasti selalu ada sosok ibu yang mencuci baju dan merawat keluarga dan slogannya kebanyakan tentang ibu yang berhasil adalah ibu yang merawat keluarga dengan baik di rumah. Akhirnya, orang-orang percaya memang harus begitu.

Terus gimana hilangin itu si maskulinitas toksik? Butuh waktu dan gak bisa hilang dalam semalam. Untuk permulaan coba deh sadari dulu tindakan kamu yang ternyata wujud dari maskulinitas toksik itu. Kalau kamu udah sadar yang mana aja, mulai berhenti buat ngelakuin tindakan-tindakan itu. Memang gak akan berhenti dalam sekejap dan langsung berubah, kamu bisa pelan-pelan menguranginya. Dalam proses mengurangi tindakan itu sampai dia hilang, pasti kamu bakal butuh teman bicara yang bisa mengapresiasi perubahan kamu. Kalau kamu menilai lingkar terdekat kamu tidak memungkinkan untuk memberikan dukungan, gak ada salahnya kok buat nyari lingkaran dekat lainnya yang bisa ngedukung dan mengingatkan kalau sewaktu-waktu kamu lupa atau kelepasan. Nah, bagian kelepasan ini bisa kamu coba atasi dengan menghitung 1…2…3… pakai tempo yang lambat sebelum kamu mau bicara atau melakukan suatu tindakan. Hal ini supaya ngejaga kamu tetap sadar dengan ucapan dan perbuatanmu. Hal terakhir ini menurut Nce tuh yang paling penting, coba deh kamu memaafkan diri kamu. Wajar ketika kamu terlanjur jadi pelaku, kamu merasa “ya mau digimanain lagi, aku udah terlahir begini” atau merasa pantas mendapatkan hukuman. Tabumania perlu tahu, seberat-beratnya hukuman adalah proses berubah yang dimulai dari diri sendiri. Semoga kamu bisa memaafkan diri kamu sepanjang proses perubahanmu ya Tabumania.

Buat Tabumania yang mau cerita-cerita lebih kamu bisa akses  Buka Layanan disetiap hari kerja pukul 10.00 s/d 16.00 WIB melalui nomor whatsapp +62 853 1436 4084. Buat kamu-kamu yang merasa whatsapp itu terlalu personal, kamu bisa kok tetap ngakses buka layanan via email ke bukalayanan@protonmail.com. Buka layanan menyimpan ceritamu menjadi rahasia kita berdua (RR)

 

0 comments on “Maskulinitas Toksik, Hari Gene? Bhay !

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: