Buka Layar

Tetap Kritis di Tengah Ekonomi yang Sulit

Tabumania, kangen ya jalan-jalan ke mall? Cuci mata, naik turun eskalator, keluar masuk toko meskipun nggak beli apa-apa. Sensasi seperti itu, beberapa bulan terakhir memang menjadi kenangan yang indah. Sebagian yang lain barangkali kangen juga ngopi di café-café, beli segelas tapi nongkrongnya berjam-jam biar bisa wifian gratis. Semua itu terasa indah ya sebelum corona virus (covid) menyapa warga +62 (baca: Indonesia)

Momok mengerikan akhirnya terjadi setelah dipublikasikannya pasien pertama di Indonesia yang terkena covid pada bulan Maret 2020. Media sejak saat itu terus memberitakan berbagai informasi yang berkaitan dengan covid, mulai dari asal mulanya, jenis penyakitnya, hingga pada tahap cara pencegahan dan penangannya.

Sudah beberapa bulan berlalu, jumlah kasus pasien juga mengalami lonjakan. Hingga bulan Mei 2020, data dari situs kemkes.go.id menunjukkan lebih dari 17.500 orang yang terjangkit. Jumlah ini diperkirakan masih akan terus bertambah.

Pemerintah dalam upaya pencegahan penyebaran covid telah menerapkan berbagai kebijakan di seluruh wilayah di Indonesia. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ajakan untuk bekerja dari rumah, status kondisi luar biasa, hingga pelarangan mudik dan bepergian. Sayangnya dengan melimpah ruahnya informasi dan upaya-upaya pencegahan, belum cukup untuk mengatasi persoalan tersebut. Justru sebaliknya, ancaman lain malah mengintai.

Tabumania barangkali mendengar kabar berita, entah dari teman, curhatan saudara, media sosial atau bahkan mengalami sendiri, sejak pandemi global covid berbagai perusahaan/tempat kerja melakukan pengurangan karyawan seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal tersebut terjadi karena pemilik modal berdalih tempatnya tidak melakukan produksi/terpaksa tutup sehingga merugi dan tidak mampu membayar tuntas hak para pekerjanya. Sebagian lainnya, meski tidak mengalami PHK juga terkena dampak dengan menerima keputusan perusahaan yang memberikan cuti tak berbayar, yang akhirnya berimbas pada kehidupan sosial lainnya. Contohnya, ibu tunggal yang awalnya bekerja di kantor swasta, karena dirumahkan ia harus memutar otak agar dapat memenuhi kebutuhan hariannya. Peluang yang dimiliki juga tidak banyak, dengan kemampuan/skill yang terbatas, sehingga pilihan-pilihan yang diambil menjadi minim. Sebagian ada yang berjualan meskipun tahu bahwa keuntungannya sedikit, ada pula yang menggadaikan barang-barangnya, dan tidak sedikit yang akhirnya berutang kanan dan kiri.

Sudah bukan rahasia bahwa sebelum covid, ada perusahaan yang berlaku curang dengan melakukan PHK di atas waktu 30 hari sebelum Idul Fitri agar perusahaan tidak terbeban memberikan Tunjangan Hari Raya (THR). Maka dengan adanya covid yang sudah melanda Indonesia sejak Maret 2020, perusahaan semakin menjadi-jadi melakukan PHK massal.

Pekerja yang “dirumahkan” menghadapi situasi harus mengerti kondisi perusahaan saat ini. Di sisi lain, perusahaan tidak menjamin kesejahteraan pekerjanya dengan memenuhi haknya seperti membayar penuh gaji dan tetap memberikan THR tanpa diangsur. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 menyebutkan bahwa karyawan yang sudah bekerja lebih dari 12 bulan berhak mendapatkan THR sebanyak besaran nilai 1 bulan upahnya, demikian juga bagi karyawan yang bekerja di bawah 12 bulan, tetap mendapatkan THR yang dihitung berdasarkan lama waktu bekerja.

Pekerja lain seperti usaha mandiri dari pedagang kaki lima juga tak luput dari dampak covid. Adanya PSBB baik mas-mas, ibu-ibu atau lainnya yang jadi tukang jualan cendol dawet, iwak peyek, rujak, dan nasi goreng jadi sepi pembeli. Modal kian menipis, simpanan semakin menjerit, sementara pemasukan masih seret kayak nelen kue bolu yang kurang mentega dan telur. Padahal, kendil di rumah mesti diisi beras, beli pulsa buat anak sekolah online, belum lagi beli kebutuhan lain yang nggak kalah penting seperti pembalut.

Meskipun pemerintah telah menyiapkan berbagai upaya seperti Bantuan Langsung Tunai perkeluarga, kartu prakerja, serta pembebasan dan pengurangan biaya listrik. Namun bantuan tersebut dirasa belum menjawab kebutuhan utama dari masyarakat yang terdampak. Dari pemberitaan di media masa contohnya, masih ada yang mengeluhkan bantuan tersebut sulit diakses/tidak sampai ke daerahnya.

Bantuan dari pemerintah bau-baunya juga tidak melalui pemetaan yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tidak adanya pencatatan data tentang kondisi masing-masing warga negara, membuat bantuan pemerintah bersifat umum yaitu dengan memberikan bahan pokok. Padahal, jika dilakukan dengan pemetaan yang tepat, justru bisa mengakomodir kebutuhan lainnya yang menjamin kesejahteraan warga negaranya. Misalnya memetakan kebutuhan dari ibu hamil, warga dengan kebutuhan khusus, lansia, serta dengan mengedepankan kondisi kesehatan fisik dan mental lainnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat nih ya, pada akhirnya bantuan saat ini memang hanya bisa dinikmati oleh warga negara dengan syarat-syarat tertentu seperti memiliki kartu identitas dan tercatat, bahkan untuk BLT dikhususkan untuk masyarakat di luar Jabodetabek. Dengan kondisi tersebut, bantuan pemerintah bisa dikatakan belum sensitif gender karena belum mengakomodir kebutuhan teman-teman transpuan atau bahan perempuan pekerja seks yang masih saja dipinggirkan.

Di tengah krisis ekonomi saat ini, semua masyarakat yang tidak memiliki nilai tawar pada akhirnya memang terkena dampak. Bagi perempuan dan anak khususnya yang juga berada dalam garis bawah sistem patriarki tentunya akan semakin sulit bergerak.

Konstruksi yang mengajarkan perempuan berperan dalam ranah domestik pada akhirnya merugikan perempuan itu sendiri. Perempuan dilemahkan kemandirian ekonominya yang mengakibatkan mereka menjadi pihak yang tidak diperhitungkan pada situasi krisis ekonomi.

Padahal agar perempuan dapat terentaskan dari situasi ekonomi yang sulit, pemerintah kita sebenarnya bisa lebih mengimplementasikan komitmen dari perannya sebagai bagian dari Deklarasi dan Platform Aksi Beijing. Lupa ya apa itu Platform Aksi Beijing? Cus kepoin di tautan ini: https://qbukatabu.org/2020/04/03/kenalan-dengan-platform-aksi-beijing-yuk/

Dalam Platform Aksi Beijing, ada 12 bidang penting yang menjadi landasan kerja, bidang ke 6 berbicara tentang Perempuan dalam Ekonomi yang memiliki arti bahwa perempuan memiliki konstribusi yang besar dalam dunia bisnis, pertanian, maupun dalam pekerjaan rumah tangga. Oleh karenanya sudah seharusnya perempuan diberikan akses yang setara dengan gender lainnya. Jika bicara potensi untuk mandiri, setiap individu memiliki ketrampilan tersebut selama tidak ada dinding-dinding yang membatasi.

Tabumania, selain memiliki semangat untuk terus bertahan di situasi sulit, sudah saatnya menyadari hak yang kamu miliki. Jangan biarkan perusahaan di tempat kamu kerja keras bagai kuda melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Jika hakmu dilanggar maka berafiliasilah dengan membentuk dukungan agar dapat meraih hak-hakmu kembali. Bisa juga curhat di layanan tersedia yang bisa kamu percaya untuk meyakinkan langkah-langkah yang kamu ambil. Dengan terbangunnya kesadaran, maka bisa mengkritisi setiap kebijakan yang merugikan. Bagaimanapun mengatasi keadaan secara kolektif tentu lebih menyenangkan daripada memikul beban sendiri bukan?

About Ino Shean

Ino Shean, bukan nama yang sebenarnya. Menurut weton terlahir sebagai orang yang ambisius, urakan tapi mempesona dan penuh kasih sayang. Aktif dalam gerakan, komunitas dan organisasi di isu seksualitas sejak usia 18 tahun. Suka membaca novel, olahraga dan masih bercita-cita menjadi vegetarian. Pecinta film Marvel and DC! Dapat dihubungi lewat IG @ino_shean

0 comments on “Tetap Kritis di Tengah Ekonomi yang Sulit

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: