Tabumania, pernah nggak sih ngalamin situasi ada teman dengan Orientasi Seksual, Identitas Gender, Ekspresi dan Seks Karakteristik yang beragam curhat ke kita tentang permasalahan hidup yang dialami, lalu kita kebingungan harus melakukan apa? https://qbukatabu.org/2019/07/25/seksualitas-manusia/ Terlebih jika curhatnya sudah sampai ke masalah yang membutuhkan tindakan serius, misalnya butuh pertolongan karena ia menjadi korban kekerasan fisik/seksual, baik dari pasangan, keluarga, dan atau lingkungan. Rasanya tuh pengen bantu, tapi nggak ngerti harus gimana, dan ngomong “sabar ya” rasanya juga nggak tepat.
Ketidaktahuan kita, terhadap situasi yang dialami orang yang mendapatkan kasus kekerasan, sebenarnya bukan semata-mata memang karena kita “tidak tahu”, tetapi ada faktor yang melatarbelakangi.
Di Indonesia, rujukan untuk korban yang mengalami kasus kekerasan fisik/seksual bagi orang dengan Orientasi Seksual, Identitas Gender, Ekspresi dan Seks Karakteristik yang beragam atau bisa juga disingkat SOGIESC memang masih minim. Baik rujukan dari pemerintah, maupun yang non pemerintah. Pun jika tersedia, biasanya rujukan tersebut justru terkesan menyalahkan korban karena melihat orientasi dan identitas seksualnya. Ada pula rujukan yang justru berniat untuk “menyembuhkan” orientasi dan identitas si korban. Belum lagi rujukan yang tersedia masih bersifat biner, alias hanya memandang jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sehingga ruang penyembuhan untuk korban kekerasan bagi orang dengan SOGIESC yang beragam semakin terbatasi.
Berangkat dari situasi tersebut, pada Desember 2019 Talita Kum dan Qbukatabu membuat agenda workshop bersama dengan mengusung tema “Layanan untuk Semua, Memulihkan dan Tidak Menghakimi”.
Talita Kum merupakan komunitas berbasis organisasi di Surakarta yang bekerja untuk pemenuhan hak perempuan dengan segala keragaman seksualitas dan transgender laki-laki. Kerja-kerja Talita Kum selama ini melakukan penguatan komunitas dan masyarakat melalui pendidikan seksualitas dan HAM serta layanan konseling. Sedangkan Qbukatabu adalah portal pengetahuan dan layanan online tentang seksualitas berbasis queer dan feminis. Fokus kerja Qbukatabu pada pengelolaan pengetahuan dan menyajikannya dengan konten kreatif, serta turut menawarkan layanan konseling online melalui platform buka layanan.
Talita Kum dan Qbukatabu sebelumnya melakukan survey online mengenai pemetaan ulang organisasi dan lembaga layanan terkait layanan ramah untuk individu dengan keragaman identitas seksual pada 2018. Dari 78 organisasi dan/atau lembaga layanan yang dikirimkan link untuk mengisi kuesioner pemetaan layanan ramah, 15 organisasi dan 7 lembaga layanan bersedia dan melengkapi kuesioner. Artinya ada 22 responden dari sebaran wilayah di Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Bandar Lampung. Laporan hasil survey online tersebut disusun pada Oktober 2019 dan menjadi salah satu dokumen pendukung workshop yang dijalankan.
Sayangnya, karena terbatasnya anggaran dana, dari 22 responden yang mengisi survey online, hanya 14 organisasi dan/atau pengada layanan yang fokus pada layanan hukum dan layanan konseling yang mengikuti workshop. Mereka terdiri dari cakupan wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, Aceh, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Guna mengetahui apa saja yang menjadi temuan pada saat workshop berlangsung, kita akan mengupas cerita dari perwakilan masing-masing penyelenggara kegiatan nih, Tabumania!
Rainbow, perwakilan dari Talita Kum, menyatakan masih minim organisasi/lembaga penyedia layanan yang memiliki perspektif baik maupun kemampuan untuk menangani kasus kekerasan berbasis SOGIESC terutama di kelompok LGBT. “Padahal kita tahu bahwa pengada layanan dan/atau orang yang mengkhususkan diri untuk mendampingi LBTQ tidak banyak di Indonesia, terutama di daerah-daerah.” Ujarnya.
Oleh karenanya, tujuan workshop selain meningkatkan pengetahuan dan kesadaran organisasi tentang seksualitas, turut pula mendorong partisipasi aktif dalam penghapusan kekerasan berbasis SOGIESC. Sementara jika ditilik dari sudut pandang Talita Kum, workshop tersebut juga menjadi ruang peningkatan kapasitas sekaligus menambah jaringan kerja Talita Kum, terutama dalam konteks pengada layanan di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Rainbow turut menyadari bahwa membutuhkan proses yang panjang untuk mewujudkan layanan yang ramah. Workshop tersebut menurutnya masih merupakan langkah awal yang dilakukan Talita Kum dan Qbukatabu untuk fokus di isu tersebut. “Jadi misalnya sebenarnya perwakilan orang yang dateng sudah memiliki infomasi tentang SOGIESC, tapi ya masih bingung harus gimana jika ada klien LBTQ, jadi memang masih berproses.” Imbuhnya.
Sependapat dengan Rainbow, salah satu perwakilan Qbukatabu yang berasal dari Aceh yaitu Raiz turut menyampaikan bahwa workshop yang dilakukan sangat berguna karena sejalan dengan kerja-kerja buka layanan di Qbukatabu yang membuka akses untuk layanan ramah bagi perempuan, trans*, interseks, dan identitas non biner lainnya. Menurut pendapat dan pengalaman Raiz “Mungkin sekarang banyak layanan yang ramah perempuan tapi masih terbatas pada perempuan hetero, kalau buat trans* apalagi, masih sedikit kan.”
Melalui workshop tersebut, baik Renbow dan Raiz sepakat menggunakan momentum untuk menambah jaringan dan saling bertukar informasi mengenai rujukan dan kebutuhan. Apabila ada penyedia layanan yang mendapatkan/menangani korban dari orang dengan SOGIESC yang beragam tidak lagi kebingungan, dan tahu harus melakukan tindakan.
Bagi Raiz, bicara perempuan, trans*, interseks dan identitas non biner lainnya artinya bicara manusia dengan keragaman SOGIESC. Akan tetapi pada implementasi kegiatan, kerap terdapat benturan mengenai perspektif yang tidak sejalan. Contohnya ada peserta yang menjadi perwakilan organisasi menganggap interseks sama dengan trans* sedangkan bagi peserta lain tidak, sehingga tidak jarang berakhir pada ketegangan antar satu organisasi dengan yang lainnya. Meskipun menemukan tantangan dalam proses workshop, Raiz meyakini bahwa dinamika tersebut merupakan proses yang baik karena justru menciptakan ruang untuk saling berdiskusi, mendengarkan, dan memberikan perkembangan informasi. Bahkan hasil dari kesepakatan yang dibangun melalui workshop adalah tindak lanjut untuk peningkatan kapasitas organisasi yang terlibat dalam pengetahuan atau memberikan materi mengenai SOGIESC, baik Talitakum dan Qbukatabu bersedia menjadi narasumber apabila dibutuhkan mengisi sesi tersebut.
Seru banget kan workshopnya, Tabumania!
Workshop “Layanan untuk Semua, Memulihkan dan Tidak Menghakimi” dapat dikatakan sebagai langkah dalam membangun kesepakatan bersama untuk mengupayakan ketersediaan layanan bagi organisasi dan atau lembaga layanan yang ramah berbasis SOGIESC. Dimaksudkan dengan memastikan setiap orang yang menjadi korban mendapatkan dampingan dan pemulihan tanpa lagi harus membedakan SOGIESC yang dimiliki oleh korban tersebut.
Jika kerja-kerja kemanusiaan ini terus dilakukan, so pasti kita nggak lagi kebingungan jika ada teman yang curhat dan butuh bantuan kita untuk memberikan rujukan. Semakin banyak penyedia layanan yang ramah maka semakin tersebar informasi, dengan demikian kebutuhan korban akan semakin diprioritaskan. Ya udah, kita dukung aja yuk semoga ke depan seluruh provinsi di Indonesia sudah ada layanan yang ramah pada komunitas khususnya dengan SOGIESC yang beragam.
0 comments on ““Talita Kum, Qbukatabu, dan Pengada Layanan: Ngobrolin Akses Buat Semua””