Buka Perspektif

Kekerasan Seksual: Suara Korban Makin Nyata, Negara Mau Gimana?

Selain banjir yang melanda berbagai titik di Jabodetabek, awal tahun baru 2020 dibuka dengan gemparnya masyarakat dunia terhadap berita tentang Reynhard Sinaga, seorang warga negara Indonesia yang divonis seumur hidup oleh Pengadilan Manchester Inggris karena memperkosa 48 orang laki-laki. Media baru memberitakan vonis ini pada 6 Januari 2020. Meskipun sidang telah dimulai sejak Juni 2018, awak media sangat menjaga kerahasiaan jalannya persidangan untuk melindungi korban dari trauma dan reviktimisasi dari masyarakat, imparsialitas para juri dalam membuat keputusan, termasuk privasi terdakwa. 

Bagaimana dengan Indonesia ditengah kekosongan hukum dalam menindak kasus kekerasan seksual?

Tabumania, secara gamblang situasi yang menimpa Baiq Nuril, seorang ibu korban pelecehan seksual atasannya, telak menjadi bukti sulitnya korban mendapatkan keadilan. Peninjauan Kembali (PK) Baiq Nuril terhadap putusan MA yang menyatakan dirinya bersalah ditolak. Atas desakan #KoalisiSaveIbuNuril melalui petisi online yang ditandatangani oleh 311.000 orang, akhirnya, pada Agustus 2019, Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden untuk memberi amnesti bagi Baiq Nuril. Amnesti ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat jauh dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, bahkan cenderung untuk menghakimi dan mengkriminalkan korban. 

Seharusnya kasus Baiq Nuril mampu membuka mata hati para pembuat kebijakan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Namun, yang terjadi justru sebaliknya!

Di penghujung berakhirnya masa kepemimpinan legislatif, para elit Senayan ternyata masih saja berkutat memperdebatkan judul dan definisi yang “dikhawatirkan menjadi liberal atau membolehkan LGBT”. Kembali lagi, dibandingkan berfokus pada penanganan korban kekerasan seksual, cara pandang elit dengan gampangnya terkontaminasi oleh berbagai ketakutan yang tak berdasar. Padahal, tak satupun pasal dalam RUU PKS yang menyebut tentang ‘pelegalan LGBT’. 

Situasi ini menjadi semakin miris dengan sebuah poster penolakan pengesahan RUU PKS yang bertuliskan: Saya iklas diperkosa suami saya kapan pun suami saya minta, jujur enak dapat pahala lagi. Poster ini dibawa oleh seorang perempuan berjilbab peserta Parade Tauhid yang digelar Persaudaraan Alumni (PA) 212. Parade ini berlangsung selang sepuluh hari setelah aksi masyarakat sipil di depan Gedung DPR untuk mendukung pengesahan RUU PKS dan menolak pengesahan RKUHP dan revisi UU KPK. Dalam situasi kedaruratan kekerasan seksual, berbagai pihak yang menolak RUU PKS menjadikan agama sebagai alat untuk menggiring opini publik sehingga menganulir situasi kekerasan seksual semakin marak. 

Padahal, berbagai studi dan inisiatif dari masyarakat maupun media telah menunjukkan fakta kekerasan seksual. Sebuah studi dari ValueChampion yang dirilis di medio 2019 mengungkap bahwa Indonesia merupakan negara paling berbahaya kedua bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik. Beberapa aspek yang menjadi persoalan adalah tentang lemahnya hukum yang melindungi perempuan serta masih tingginya ketimpangan gender. Fakta ini dengan apik diungkap melalui kolaborasi berbagai media (Tirto, Vice Indonesia dan The Jakarta Post) yang merilis laporan perdana #NamaBaikKampus. Laporan ini mengacu pada RUU PKS untuk mendokumentasikan testimoni 174 penyintas pelecehan seksual atau kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota di Indonesia. Tak hanya dilingkup institusi, kekerasan seksual juga terjadi di ruang publik. Di akhir tahun 2019 Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) juga merilis hasil survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik dengan mengungkap bahwa 46.80 persen dari 62.224 responden menyatakan pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum dan perempuan 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan seksual di ruang publik dibandingkan laki-laki. 

Penolakan tentang RUU PKS ini selalu saja memakai argumen “Pro Zina dan LGBT” untuk membangun framingseolah RUU PKS ini adalah sebuah produk kebijakan yang tidak berlandaskan norma agama dan nilai di masyarakat. Padahal, seorang ulama Islam, KH Husein Muhammad menegaskan bahwa prinsip dasar Islam adalah tentang penghormatan pada seluruh manusia sehingga tidak boleh ada pelecehan, perendahan dan kekerasan. “Melakukan kekerasan dalam segala bentuk, termasuk perkosaan berarti sama dengan melawan Tuhan. Menolak RUU PKS sama dengan menyetujui kekerasan seksual, perkosaan, dan pelecehan seksual.” Pernyataan ini secara filosofis dan spiritual bermakna bahwa agama seharusnya tidak dijadikan cara untuk melanggengkan kekerasan. 

Di kepemimpinan yang baru, masyarakat sipil kembali membangun harapan dengan tetap berjaga. Pada Desember 2019, RUU PKS masuk dalam daftar 50 RUU prioritas Program Legislasi Nasional 2020. Pejabat publik juga menyampaikan dukungan terhadap pengesahan RUU PKS, seperti Rieke Diah Pitaloka, Muhaimin Iskandar serta Mahfud MD. Mereka menyampaikan bahwa RUU ini sangat penting sebagai bentuk hadirnya negara untuk mewujudkan perlindungan bagi perempuan, laki-laki dan anak. 

Persoalan pelecehan seksual pun semakin nampak dengan adanya ‘bersih-bersih’ di BUMN, yakni Garuda Indonesia. Tak hanya pemecatan lima anggota Direksi Garuda Indonesia karena kasus penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton. Namun, kasus pelecehan seksual kepada pramugari Garuda yang dilakukan Ari Askhara, Direktur Utama Garuda, turut diungkap oleh Serikat Pekerja Garuda. Situasi ini mendorong Menteri BUMN gerakan anti pelecehan seksual bagi pegawai perempuan di BUMN. 

Tanggal 9 Januari lalu, Jokowi memimpin rapat tentang kekerasan terhadap anak dengan kekerasan seksual menempati persoalan yang signifikan. Ia memberikan tiga instruksi untuk merespon hal ini, yaitu pencegahan, memastikan akses pelaporan yang mudah penanganan secepatnya serta reformasi besar-besaran agar penanganan kasus kekerasan bisa terintegrasi dan komprehensif. Semoga Jokowi tak hanya berhenti sampai tiga instruksi itu saja. Semoga Jokowi berkomitmen untuk mendorong pengesahan RUU PKS yang sudah memuat seluruh elemen, mulai dari pencegahan, pemantauan, pemidanaan hingga pemulihan tentang kekerasan seksual. Semoga berbagai RUU susupan yang malah akan menenggelamkan lagi upaya pengesahan RUU PKS dapat diantisipasi.

Daripada mengkriminalkan sesama warga negara, lebih baik mencegah dan melindungi orang-orang terdekat dari kekerasan seksual. Korban, penyintas, media, organisasi masyarakat sipil, sudah terus bersuara. Masa pemerintah dan anggota DPR masih mau dengar suara-suara sumbang yang terus-terusan pakai kata ‘LGBT dan liberal’ untuk menunda tanggungjawab negara dalam melindungi seluruh warganya? 

Yulia Dwi Andriyanti, biasa dipanggil Edith. Salah satu penggagas Qbukatabu dan berperan sebagai Editor in Chief. Memiliki minat yang besar di topik feminisme, queer, gerakan sosial, keimanan, memori dan emosi kolektif, sosiologi, filsafat dan hak asasi manusia. Pecinta serial Fruitbasket, Little Prince, suka menyanyi, nonton film dan pertunjukan, bisa sedikit main gitar dan ukulele. Ingin terus menulis, termasuk di blog sendiri: queerinlife.blogspot.com

0 comments on “Kekerasan Seksual: Suara Korban Makin Nyata, Negara Mau Gimana?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: