Pasanganmu yang mana sih? Kok kamu gak pernah cerita tentang pasanganmu? Kamu gak mau ngenalin pasanganmu ke kita?
Buat sebagian orang pertanyaan tentang pasangan bisa jadi pertanyaan sepele yang mudah dijawab. Tapi bakalan beda kalau pertanyaan itu tertuju ke kita yang menjadi pasangannya transgender. Kadang suka bingung mau jawab apa dan bisa-bisa auto panik kalau ada pertanyaan soal si dia menghampiri. Kok bisa? Buat ngejawabnya kita jembrengin deh serba-serbi tentang apa aja sih yang terjadi sama seseorang yang memiliki pasangan transgender.
Banyak transgender menyatakan bahwa dirinya adalah transgender ketika dia udah punya pasangan. Kejadian ini pastinya menimbulkan macam-macam reaksi dari pasangan; ada yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan tapi ada juga yang mempertahankan hubungan. Nah, bertahan dalam suatu hubungan pastinya punya tantangan yang beda-beda pada setiap orang. Gitu juga pada orang yang berpasangan dengan transgender.
Mungkin banyak dari Tabumania nih yang udah tahu, menerima dan yakin bahwa badan, pikiran termasuk identitas gender adalah keputusan pribadi yang gak boleh kendaliin sama siapapun. Tapi ada orang-orang di luar sana yang masih belum cukup informasinya terus ngerasa punya hak buat ngatur pasangannya, termasuk urusan “pengakuan diri” sebagai transgender. Contohnya ada orang-orang yang berpasangan dengan transgender tapi masih menganggap pasangannya itu adalah laki-laki atau perempuan, melarang untuk berdandan sesuai dengan keinginan transgender tersebut hingga melarang untuk menjalani proses transisi medis dengan berbagai alasan. Kenapakah itu bisa terjadi?
Tabumania, buat ngejawab pertanyaan itu kita harus pahami dulu bahwa gak semua transgender menjalani transisi legal dan medis, tapi orang-orang trans tentunya mengalami transisi sosial (lihat tulisan tentang trans di sini). Dalam kasus transgender yang baru mengidentifikasi diri sebagai transgender ketika udah punya pasangan, proses transisi sosial ini akan berbarengan dengan proses penerimaan diri pada pasanganya. Seiring si transgender menjalani transisi sosial, si pasangannya juga mengalami proses-proses sebelum sampai ke tahap menerima. Proses yang dimaksud, misalnya; menolak bahwa pasangannya transgender, marah karena merasa pasangannya udah berubah, mulai cari tau sebenarnya apa yang lagi dialami sama pasangannya, berusaha buat nego sama si pasangan tentang identitas atau ekspresinya pasangan, mulai mengerti maunya pasangan, sampai akhirnya mendukung proses yang lagi dijalani pasangannya.
Makanya jangan terburu-buru untuk menghakimi pasangan transgender yang keliatannya kayak menghambat proses transisi pasangannya ini. Mungkin aja apa yang dia lakukan ke pasangannya karena dese belum terpapar informasi yang cukup tentang transgender. Yah namanya juga belum terpapar informasi alias belum tau ya gimana mau paham kan ya, tau aja belum. Mungkin juga dese uda punya informasinya, udah punya pengetahuan tentang transgender tapi belum selesai dengan proses penerimaannya atau dia sebenarnya merasa terintimidasi sama lingkungan yang masih susah menerima transgender. Penerimaan lingkungan yang buruk terhadap transgender ini, bisa memengaruhi pasangan. Misalnya kalau sebelumnya si pasangan bisa dengan mudah tinggal bersama karena orang-orang di sekitar berpikir “oh sama-sama perempuan atau oh sama-sama laki-laki” ya tidak ada masalah kan. Ketika orang transgender menyatakan dirinya transgender, kemudian mulai mengubah ekspresi gendernya, si pasangan juga akan menerima prasangka, stigma bahkan cibiran dari orang-orang sekitar yang alhasil jadi salah satu pemicu stres yang bisa jadi benih-benih konflik.
Ngobrolin soal penerimaan yang buruk ini bukan cuma berpengaruh ke pasangannya transgender yang baru menemukan dirinya ketika udah berpasangan, tapi juga ke pasangan transgender yang sejak awal emang udah tau dan nerima kalau pasangannya transgender. Cuma beda ladang beda belalang eim, kalau di kawan-kawan yang sudah selesai soal penerimaan ini, sumber stres biasanya muncul karena bingung harus cerita ke siapa kalau lagi ada masalah dengan pasangannya.
Tabumania, enggak semua pasangannya transgender yang udah bisa nerima kondisi pasangan bisa terbuka soal hubungannya kepada orang lain. Nah, ini bisa lebih sulit dari kawan-kawan yang pasangannya bukan transgender. Karena bisa saja si pasangannya transgender ini merasa kalau orang yang mendengarkan keluh kesahnya bakal susah memahami kekhasan dalam hubungan yang mereka jalani. Atau bisa juga si pasangannya transgender ini gak siap dengan hujatan ama cibiran orang-orang termasuk teman dekatnya kalau dia cerita tentang hubungannya dengan si transgender ini. Jadi kebayang kan ya gimana stresnya orang yang punya masalah tapi ga mungkin untuk cerita ke orang alhasil mendem sendiri eim.
Ada juga nih Tabumania, pasangannya transgender yang ogah gabung atau ngumpul sama teman-teman pasangannya. Padahal kalau dipikir-pikir kan bisa jadi kesempatan nih buat dia supaya ada teman cerita kan, apalagi kalau teman-teman si transgender yang juga transgender bawa pasangannya juga, bisa klop kan? Tapi tunggu dulu, gak semudah itu say. Karena bisa jadi si pasangan belum selesai sama dirinya. Nah, tambahan masalahnya nih ya, kalau pun udah selesai mungkin dia belum bisa terbuka, bahkan dengan sesama pasangan transgender pun mungkin dese masih merasa was-was. Bisa jadi juga dia ngerasa kurang nyaman sama orang yang baru ditemuinya; entah karena takut ngerasa asing, entah karena perbedaan budaya, entah karena cara komunikasi yang gak cocok, pokoknya bisa macam-macam deh kendalanya.
Alih-alih langsung menuduh pasannganmu “malu” punya pasangan transgender, buat kamu-kamu nih para Tabumania yang transgender coba deh ajak pasanganmu bicara. Nce paham kamu mungkin juga punya tantangan yang berat dalam proses transisimu; mulai dari emosi yang gak stabil dan capek batin karena banyaknya hujatan, cibiran omongan sana sini, belum lagi ucapan-ucapan yang ngelecehin atau bikin kamu ngak nyaman, perlakuan yang gak ngenakin dan segala macam perbuatan yang bikin kamu gak nyaman. Alasan-alasan itu bisa jadi membuat kamu berharap pasanganmu, sebagai orang terdekat akan menjadi pemberi dukungan atau bahkan kamu berharap pasangan kamu bisa memenuhi ekspektasi kamu. Tapi coba deh dipikirin juga kalau yang berproses bukan kamu doank, tapi pasanganmu juga. Mungkin dia ngalamin juga apa yang kamu alami, tapi di sisi lain dia gak tau harus cerita ke siapa. Maka dari itu Nce saranain coba deh kamu bangun komunikasi sama pasanganmu daripada kalian berdua mendam emosi terus berujung petaka. Mending bertukar pendapat dan saling mendengar dulu baru berdebat kemudian eim.
Tabumania yang sedang berpasangan dengan transgender, jangan sedih kamu enggak sendirian. Daripada menghambat proses dan melarang-larang pasanganmu, mungkin kamu bisa coba untuk lebih terbuka dengan pasangan. Kamu bisa cerita tentang apa yang kamu rasain, apa yang kamu takutkan dan apa yang kamu pikirkan. Nce paham bukan hal yang mudah buat ngobrol sama pasanganmu. Bisa jadi karena kamu takut dia malah jadi tersinggung. Karena pas ngomongin tentang apa yang kamu rasain, bikin dia jadi ingat sama pelabelan masyarakat tentang dirinya sebagai cis perempuan atau cis laki-laki. Alih-alih kamu tiba-tiba ngebahas tentang apa yang kamu rasain, bagusnya nih kamu tanyain dulu kesiapan dia, supaya dia gak kaget dan tersinggung. Kamu juga mungkin liat-liat keadaan dan waktu buat ngajakin pasanganmu ngobrol.
Biasanya nih kamu yang gegalauan bisa cuz ngakses buka layanan buat cerita-cerita atau curhat-curhat manja, tapi berhubung Nce butuh liburan, buka layanan libur dulu ya dari tanggal 20 Desember 2019 sampai dengan 10 Januari 2020. Tabumania bisa kembali mengakses Buka Layanan 13 Januari 2020. Selamat Natal dan Tahun Baru, sampai jumpa setelah liburan.
0 comments on “Jadi Pasangan Transgender”