Buka Perspektif

Geliat Feminisme di Era Digital

Hayoo siapa diantara Tabumania yang bangun tidur langsung ngintip notifikasi di hape? Atau langsung update status di WhatsApp atau story di akun Instragram? Ada yang senyum-senyum ni…

Tau gak si Tabumania, kalau orang Indonesia higga April 2019 termasuk pengguna Facebook dan Instagram terbesar keempat sedunia. Ini berdasarkan riset portal diskon online Cuponation seperti yang dikutip Tirto.id pada Juli 2019 lalu. Jumlah pengguna Facebook di Indonesia mencapai 120 juta sedangkan Instagram 56 juta pengguna. Freedomhouse.org pada 2015 juga pernah mempublikasikan artikel yang menyebutkan sebesar 70 persen populasi daring (online) penduduk Indonesia berada di bawah usia 35, sebagian besarnya memakai media sosial setiap harinya (Freedom House dalam Tapsell, 2018 : 5). Mengutip dari Hitekno.com aplikasi chatting terpopuler di Indonesia adalah WhatsApp sebanyak 83 persen pengguna, diikuti Line dengan 59 persen. Ini baru penggunaan media sosial, belum akses media digital lainnya misalnya situs berita (portal), toko online (e-commerce),dll.

Berpuluh tahun lalu bisa jadi perkembangan media digital saat ini tidak banyak orang yang membayangkannya. Perkembangan yang tidak bisa dihindari maupun dampak yang ditimbulkan dalam berbagai aspek, misalnya saja memesan makanan, transportasi, jual beli tanpa uang tunai, dll. Media juga digunakan sebagai alat untuk menyuarakan pesan, mulai dari pesan ndividu maupun kolektif hingga pesan personal maupun organisasi. Orang tidak harus bertemu secara langsung (tatap muka) untuk merencanakan sesuatu misalnya reuni, cukup membuat grup WhatsApp lalu setiap rencana diobrolkan dalam grup tersebut. Tabumania gabung berapa grup WhatsApp ni? Berapa jumlah grup yang didiamkan (mute) hehehe,

Keberadaan media sosial bisa dikatakan sebagai media partisipatoris yang membuat pengguna media tersebut tidak hanya menerima pesan saja, namun bisa mengirimkan timbal balik. Pengguna bisa menciptakan dan mempublikasikan informasi atau pesan melalui internet. Misalnya saat menerima meme di media sosial, Tabumania tidak hanya sekadar menerima meme tersebut tetapi juga bisa membuat, menyebarluaskannya sebagai medium membangun solidaritas. Sekilas hal ini seperti yang dikatakan Ross Tapsell (pengajar senior di College of Asia and the Pasific, The Australian National University). Ia menyebutkan bahwa media digital memungkinkan warga mendongkel kuasa pesan-pesan elite, mengubah jalannya berbagai peristiwa dalam politik dan masyarakat Indonesia….Media digital memungkinkan berlangsungnya perombakan yang patut diperhitungkan, seiring tumbuhnya penetrasi internet dan karena warganet menggunakan platform tersebut untuk mengadvokasikan aneka macam kasus (Tapsell, 2018:18).

Nah, edisi kali ini Redaksi Qbukatabu ingin menyajikan informasi perkembangan gerakan feminisme dalam media di era digital ini. Saat ini banyak gerakan perempuan atau gerakan dengan perspektif feminis memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan kampanye maupun informasi. Penggunaan media sosial ini bisa dikatakan untuk merespon semakin banyak orang yang memilh media sosial sebagai salah satu alat untuk berkomunikasi sehingga bisa menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan. Penggunaan media sosial yang efektif bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan aksi perubahan, protes, solidaritas dan sebagainya. Namun sejauh mana feminisme dalam media sosial melihat gerakan perempuan mendorong RUUPKS ini juga perlu diketahui. Karena meskipun pada beberapa kasus, media sosial berhasil mendorong maupun mengubah kebijakan, namun di sisi lain juga berhadapan dengan hal-hal yang bisa jadi kontra atau justru dipakai untuk menyerang balik. Selain itu melalui media sosial kita juga bisa mengetahui harapan publik melalui tagar #sayatantangpuan setelah Puan Maharani menjadi Ketua DPR. Terkait tagar tersebut apa ya sajian dari Qbukatabu? Dan perlu juga menelusuri perkembangan feminisme di media sosial dari waktu ke waktu. Penasaran? Sama!

Selama ini generasi milenial (Y) dan generasi Z yang disebut-sebut sebagai generasi yang paling terpengaruh dengan dunia digital. Generasi Y berada di masa transisi, ada pula yang menyebutnya setengah-setengah; era yang menikmati teknologi sebelum internet dan era yang menikmati teknologi setelah ada internet. Sementara generasi Z lebih banyak menerima perkembangan teknologi dan internet karena lahir di generasi-generasi yang menikmati teknologi setelah internet. Menarik apabila mencari tahu bagaimana generasi Y dan generasi Z ini memaknai feminisme di era digital dan bagaimana mereka menyampaikan ide-ide mereka melalui media sosial.

Selain itu Redaksi Qbukatabu juga akan mengulas bagaimana media dan masyarakat sipil yang memiliki semangat feminisme merespon situasi #reformasidikorupsi. Tentu masih hangat dalam ingatan berbagai aksi protes mahasiswa dan masyarakat sipil di Jakara maupun daerah-daerah lain, termasuk para netizen yang mengungkapkan mengungkapkan protes dan kekecewaan di media sosial. Aksi protes tersebut akhirnya berakhir dengan ditundanya #RUUKUHP. Padahal undangan aksi tersebut hanya disebarkan melalui media sosial (WhatsApp, Instagram, Twitter, dll).

Jadiiii, simak terus ya Tabumania, tunggu saja satu per satu, yang pasti seruuu. Tabumania juga bisa meninggalkan komentar dan mengirim email ke Redaksi Qbukatabu kalau ingin tanya, komentar maupun berbagi informasi. Yah, sebagai media partisipatoris *eeaa Qbukatabu.org juga memungkinkan Tabumania berinteraksi melalui kolom komentar, email, maupun media sosial Qbukatabu. Ditunggu lhooo!!

0 comments on “Geliat Feminisme di Era Digital

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: