Pada perayaan Idulfitri lalu juga menjadi ajang berkumpul keluarga. Di mana acara tersebut bisa jadi menjadi momen mengerikan bagi sebagian orang, mengapa? Karena acara kumpul keluarga seringkali berisi basa-basi kepo menanyakan hal-hal privasi salah satunya percintaan. Udah punya pacar belum? Kok ga dibawa ke sini pacarnya? Kapan kawin? Umur udah segini, nanti ga laku-laku lho. Setidaknya inilah sebagian dari ucapan single shaming (penghinaan atas status lajang) yang biasa muncul dalam momen kumpul semacam lebaran. Komentar basa-basi yang justru menciptakan intimidasi tersendiri, apalagi bagi perempuan. Apa itu single shaming dan bagaimana pengalaman perempuan single (lajang) menghadapi gempuran pertanyaan serupa? Yuk, simak lebih lanjut wawancara Qbukatabu dengan tiga orang perempuan lajang dengan status berbeda; tidak memiliki pasangan, janda dan memilih tidak menikah.
Single Shaming terjadi ketika ada yang meledek orang lain karena statusnya single. Kejadian ini biasa terjadi pada saat perempuan mencapai umur 25 tahun, sebagai penanda usia produktif secara reproduksi, dan akan meningkat frekuensinya seiring berjalannya waktu, terutama dari keluarga dan teman-teman dekat. Seperti dikutip dari tempo.co, Feby Indirani, penulis buku ‘69 Things to be Grateful About Being Single’ di Jakarta mengatakan, “Saya pernah dengar, orang bilang perempuan itu seperti pohon natal, setelah 25 tahun sudah tidak bagus lagi,”. Dengan adanya olok-olok tersebut, banyak perempuan yang berusia menjelang 25 khawatir dengan statusnya. Semua ini disebabkan stigma masyarakat di mana perempuan harus cepat menikah sebelum dianggap ‘tidak laku’. Single shaming juga dilanggengkan dengan bermunculannya gerakan pernikahan dini yang mendorong masyarakat untuk menikah dan berkeluarga sejak muda.
Bermula dari keresahan atas single shaming yang dialaminya dalam kehidupan nyata, Mega Salsabila, seorang komika perempuan justru menjadikannya sebagai materi komedi tunggalnya di atas panggung. Tidak hanya itu, Mega juga membuat youtube channel bernama Republik Janda dan menempatkan dirinya sebagai penyampai aspirasi keresahan para janda yang banyak mendapat stigma dalam kehidupan sehari-hari.
“Sebenernya cuma pengen menyatakan jadi janda itu jangan malu. Ada yang kalau kenalan sama cowok bilang belom pernah nikah dan ga mengakui kalau sudah punya anak. Ga perlu malu kalau sudah janda. Ada juga yang mikir janda itu gampangan, dianggap perebut suami orang. Dipandang sebelah mata, ga tau kenapa. Misalnya ada suami istri tetanggaan, kita kasih makanan dan suaminya senyum, kita dianggap mau ambil suaminya”
Tidak jarang, materinya di panggung dan di kanal youtube Republik Janda justru memantik terjadinya single shaming hingga bullying (perisakan/perundungan) di kolom komentar.
“Ada komen negatif kayak, bahas janda mulu, kok bangga jadi janda? Banyak sih reaksinya. Ada yang bilang: kalo mantannya Mega lihat, pasti nyesel tuh. Ada juga yang menghujat kayak ah dianya tatoan, pantesan ditinggalin.”
Namun begitu, Mega tetap menyuarakan curhatan para janda yang banyak mengirimkan pesan melalui DM instagram. Mereka berterimakasih atas apa yang sudah dilakukannya. Bagi Mega, menjadi janda adalah pilihan yang tepat. Mega justru merasa lebih tenang, bahagia, dan bebas daripada saat menikah. Meskipun demikian ia tidak menjadi antipernikahan.
“Pernikahan bukanlah hal yang harus ditakuti, jadi ga ada alasan untuk ga menikah. Kalau sudah cerai, bukan jadi alasan untuk ga nikah lagi. Kalau jomblo belom dapat pasangan, jangan buru-buru. Jangan langsung percaya sama cowok pas masih pacaran, karena akan beda dengan saat udah menikah.”
Sementara itu, Dea Safira, seorang perempuan muda yang memutuskan tidak mau menikah menuturkan pengalaman berbeda. Ia sering mengalami single shaming karena tidak juga kunjung menikah dengan pekerjaan yang dianggap mapan sebagai seorang dokter gigi.
“Well, ada yang biasa aja, ada yang heran sama gue yang ga mau kawin. Beberapa tante di keluarga yang nanyain kok ga nikah-nikah, sambil bandingin ke anaknya yang udah nikah.”
Bagi Dea, memilih pasangan yang tepat adalah prioritas, karena ia ingin berpasangan dengan laki-laki yang menerapkan prinsip kesetaraan. Pengalamannya berkali-kali menjalin hubungan dengan laki-laki patriarkis menjadi pembelajaran tersendiri yang membuatnya enggan menikah.
“Laki laki patriarkis adalah lelaki yang memperlakukan pasangannya selayaknya manusia kelas dua yang tidak memiliki akal dan perasaan. Sehingga kecenderungan mereka adalah mengagungkan kecantikan dan perkerjaan yang dimiliki si pasangan tanpa mengindahkan bahwasanya perempuan punya akal pikir dan perasaannya. Ia juga cenderung lebih memilih perempuan yang menurut sebab untuk mengukuhkan rasa kejantanannya dia membutuhkan orang untuk ditempatkan lebih rendah daripadanya.”
Bagi Dea, menjadi perempuan yang tidak menikah justru membuatnya bahagia karena membuatnya lebih bisa menikmati dan meraih banyak hal dalam hidup. Namun begitu, bagi Dea, kalaupun ia menemukan laki-laki non patriarkis, berpeluang berakhir dengan menikah, dalam konteks mempermudah pengurusan administrasinya sebagai warga negara yang sering berpindah.
“Menikah cuma untuk memudahkan birokrasi dan administrasi karena akan memudahkan untuk berpindah-pindah jika diharuskan pindah ke luar negeri serta mengatur kekayaan masing-masing.”
Baginya, menikah bukanlah sebuah target atau pencapaian. Pengalamannya mendapati single shaming karena prinsip tidak mau menikah justru menginspirasinya menulis buku ‘Membunuh Hantu-Hantu Patriarki’, yang sekaligus menjadi katarsisnya dalam menghadapi segala ledekan atas status lajangnya.
Didi, seorang freelancer (pekerja lepas) dan penulis buku ‘Pengabdi Kucing’ juga berpendapat serupa. Meskipun berstatus jomlo bertahun-tahun namun ia tetap merasa nyaman. Baginya, single bukan berarti “ga laku”, tetapi hanya memiliki pangsa pasar yang berbeda saja. Pernah tertarik dengan beberapa orang, tidak lantas membuat Didi memilih untuk berelasi dan tetap mempertahankan status jomlonya.
“Pengalaman dengan orang yang salah membuat gue berhati-hati sebelum memberi hati ke orang lain. Lagian gue gampang jatuh hati juga ga liat-liat sikon (situasi kondisi-red), jadi gue hati-hati banget sebelum (memutuskan untuk) berkomitmen. Misalnya nih, orang-orang yang sebenernya udah keliatan ada red flag, bukan buat gue atau seharusnya ga gue pilih tapi gue abaikan, bukannya waspada: pacar orang yangg pada waktu itu gue yakin adalah milik gue yg lagi dipinjem. Berakhir dgn gue juga ga hepi-hepi amat pas dptin. Cowok yang ga gentle, back stabber, dan ga jujur. Berakhir dengan dia message temen-temen gue buat jelekin gue. Cowok narsistik dan memanfaatkan gue, yang awalnya gue so happy karena merasa bisa berguna tapi untung akhirnya gue sadar”
Didi menambahkan, di antara jenis single yang lain, orang berstatus jomlo lah yang paling banyak terdampak dari “praktik single shaming”. Hal ini membuat mereka menjadi serba salah dengan apapun yang dilakukannya, serupa dengan stigma janda yang disebutkan Mega sebelumnya.
Super challenging! Gue sih merasa orang-rang Indonesia selalu membagi “kasta” menjadi; single (paria), married tanpa anak (sudra), married dengan anak satu (ksatria), married dengan banyak anak yang jenis kelaminnya beda-beda dan semuanya sekolah di sekolah bergengsi (brahmana). Jadi, being single ada di kasta terbawah. Era pertanyaan kapan kawin sih, gue udah kelar. Tapi gue melihat selanjutnya ada kecenderungan merendahkan orang yang single sebagai ga punya apa-apa dan siapa-siapa dan belum tau apa-apa. Contoh: tau apa, lo kan belom ngerasain punya anak. Atau “sayang ya, duit banyak tapi single”. Ya challenges semacam itu lah. Sementara prestasi dan kualitas lo malah ga dipertimbangkan karena prestasi sesungguhnya di sini adalah beranak. Being single bisa bikin gue jadi dalam situasi selalu jadi kambing hitam. Deket sama cowok single dibilang PDKT. Deket sama cowok berpasangan dibilang mau ngerebut. Deket sama cewek, terus ada yg jealous? O sudah pasti adaaaa”
Karenanya, Didi berfokus pada self love (mencintai diri sendiri) dan mengingatkan diri sendiri bahwa dirinya berharga; dengan dan tanpa pengakuan orang lain. Itu pula sebabnya ia selektif memilih teman; hanya berteman dengan orang yang memang mencintai dia apa adanya.
Lalu, bagaimana dengan pengalamanmu, Tabumania? Apakah pernah mengalami hal serupa dan apa yang biasanya dilakukan? Hal terpenting adalah setidaknya tidak melakukan single shaming, sedekat apapun relasi kita dengan mereka. Kita perlu memahami bahwa single atau lajang bukanlah kutukan dan menikah bukanlah sebuah prestasi. Kalaupun melahirkan dianggap sebagai sebuah pencapaian perempuan yang paripurna, mari memahami bahwa sebagian perempuan melahirkan anak, sebagian perempuan melahirkan karya, sebagian lainnya melahirkan pemikiran, dan semua mulia dengan caranya.
0 comments on “Perempuan Lajang Menyoal Pernikahan”