Buka Perspektif

Transisi bagi Transgender: Sebuah Proses Diri

Setiap orang pasti memiliki gambaran, perasaan, serta pikiran atas tubuhnya sendiri atau dikenal sebagai body image (citra tubuh). Citra tubuh berpengaruh terhadap kepercayaan diri dan kenyamanan dalam berinteraksi. Salah satu hal yang memengaruhi citra tubuh adalah pandangan masyarakat tentang tubuh ideal dan tidak ideal. Misalnya, sebagian besar orang Indonesia meyakini bahwa tubuh ideal perempuan itu langsing, berkulit putih, dan berambut panjang. Hal ini bisa saja membuat remaja perempuan yang tidak sesuai pandangan umum tersebut merasa dirinya tidak cantik lalu berkeinginan diet ekstrim, memutihkan kulit serta meluruskan rambutnya.

Citra tubuh teman-teman transgender juga dipengaruhi pandangan masyarakat tersebut. Namun ada juga faktor lain yang tidak kalah penting. Mario Prajna Pratama dari Transhition Collective (komunitas yang bergerak dalam isu identitas gender, ekspresi gender, dan keragaman tubuh) menguraikan bahwa kebanyakan transgender mengalami gender dysphoria atau rasa ketidaknyamanan hebat yang disebabkan perbedaan antara identitas gender dengan gender yang ditetapkan, berikut dengan jenis kelamin yang dikaitkan pada gender tersebut. Misalnya, seorang transgender laki-laki tidak nyaman memiliki payudara karena payudara identik dengan gender perempuan.

Tama juga menjelaskan meskipun tidak semua mengalami gender dysphoria. Namun, persoalan tubuh, termasuk penampilan fisik atau ekspresi adalah hal penting bagi hampir semua transgender karena hal ini berdampak pada bagaimana orang mengidentifikasi dan memperlakukan mereka. Contoh sederhana, penampilan menjadi penentu awal apakah orang akan memanggil mereka sebagai Mbak, Mas, atau panggilan lainnya. Oleh karena itu, banyak transgender kemudian melakukan transisi fisik; mencakup penampilan seperti model rambut dan pilihan pakaian, hingga transisi medis; seperti terapi hormon dan operasi penyesuaian tubuh.

Transisi merupakan proses perubahan yang umumnya dilakukan individu trans untuk mendapatkan gambaran tubuh dan identitas yang dibutuhkan. Transisi bisa dilakukan secara sosial, estetika, medis, dan/atau legal (Arus Pelangi, 2017).

Untuk memenuhi standar masyarakat inilah yang memengaruhi teman-teman transgender melakukan transisi. “Masyarakat kan punya standar soal tubuh cowok dan cewek yang ideal itu bagaimana. Bagi transgender tuntutan untuk memenuhi standar tersebut jadi terasa berlipat ganda. Misal, transmen akan berusaha keras agar terlihat ‘cowok banget’, agar tidak ada seorang pun yang menganggap mereka perempuan, agar orang memanggil mereka ‘mas’ dan memperlakukan seperti yang mereka mau. Mereka membangun citra tubuh berdasarkan standar masyarakat, dan rela melakukan banyak hal agar bisa mencapainya. Sebagai pembuktian bahwa mereka laki-laki,”urainya saat diwawancarai Redaksi Qbukatabu.

Tama juga menambahkan demi memenuhi citratubuh yang sesuai norma masyarakat tersebut, tidak sedikit kawan transgender yang mengambil keputusan terburu-buru untuk transisi, dengan cara yang kurang aman. “Di kalangan trans laki-laki (trans man) misalnya, menggunakan breast binder (pembebat dada) terlalu ketat karena ingin terlihat memiliki dada yang rata. Tidak mempertimbangkan dada yang terasa sesak dan sulit bernafas. Padahal di kalangan laki-laki cis pun banyak yang tidak memiliki dada rata, berkumis atau berjenggot. Sedangkan di kalangan transpuan, ada yang minum hormon dalam jumlah berlebihan atau suntik silikon dengan tidak aman dan jumlahnya juga berlebihan,”kata Tama.

Lalu apakah melakukan transisi untuk memperoleh citra tubuh yang diinginkan itu salah? Tama mengatakan tidak ada yang salah, toh pada dasarnya semua orang punya citra tubuh dan mengupayakan berbagai hal untuk mencapai citra tubuhnya masing-masing. Transisi pada dasarnya bukan kewajiban tetapi keputusan personal. Individu trans itulah yang memiliki kuasa penuh akan melakukan transisi atau tidak. Jika melakukan transisi maka ia berhak menentukan transisi seperti apa yang diinginkan. Namun, Tama juga menekankan pentingnya menengok citra diri masing-masing secara berkala. “Benarkah ini tubuh dan ekspresi yang kuinginkan? Apakah aku benar-benar nyaman dengan tubuh yang seperti itu, atau aku hanya berusaha menyenangkan orang lain? Aku bertransisi demi kebahagianku, atau demi kebahagiaan orang lain?” demikian berbagai hal yang menurut Tama perlu terus ditanyakan pada diri sendiri.

Pada dasarnya tuntutan masyarakat tidak ada habisnya. Oleh karena itu, dalam melakukan transisi teman-teman transgender perlu mengutamakan diri sendiri. “Tuntutan masyarakat, pasangan, teman, dan orang sekitar itu tidak akan ada habisnya. Jika dituruti terus, kita bisa habis. Habis tenaga, habis uang, habis perasaan. Badan juga bisa habis, karena pada akhirnya kita juga yang menanggung risiko atas setiap proses transisi, misal kolesterol jadi tinggi karena suntik hormon testosteron, atau sesak napas keracunan silikon.” ujarnya.

Hal selanjutnya yang perlu diingat dalam melakukan transisi adalah menyadari, memahami, dan menikmati setiap prosesnya. Menyadari artinya mengambil keputusan atas keinginan sendiri, bukan kemauan orang. Memahami berarti mengumpulkan informasi yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan sebelum mengambil keputusan, serta membuat perencanaan dan persiapan yang matang. Konseling dan konsultasi pada dokter atau penyedia layanan informasi adalah salah satu cara yang sebaiknya ditempuh, khususnya sebelum melakukan transisi medis. Sementara menikmati proses berarti tidak terburu-buru dan selalu ingat bahwa transisi butuh proses.

“Perubahan tidak terjadi dalam sekejap. Dan tiap orang bisa beda hasil. Jangan sampai kita makin stress gara-gara kumis tidak muncul, padahal memang baru setahun suntik hormon, atau ternyata memang tidak punya gen kumis dan jenggot.” jelas Tama.

Tama juga menjelaskan atas dasar itulah pada 2014, Transhition Collective melaksanakan Transmen Camp; kelompok dukungan (support group) untuk belajar bersama antara teman-teman transmen. “Transmen Camp pertama pada 2014 dan yang kedua pada 2015. Ini merupakan support group untuk ruang bertemu dan belajar bersama bagi teman-teman transmen. Dan salah satu sesi belajar adalah body image.”urainya.

Menurut Tama ada pembelajaran baik dari sesi body image di setiap Transmen Camp yang mereka adakan. Citra tubuh yang sangat dipengaruhi tuntutan dan standar masyarakat seringkali membuat manusia terasing dari tubuhnya sendiri. Yang bisa muncul dalam berbagai bentuk seperti kebencian atau rasa jijik pada tubuh, tidak merawat tubuh atau sebaliknya; melakukan hal berlebihan dan mengabaikan rasa sakit yang disampaikan tubuh, serta lupa bersyukur dan berterimakasih pada tubuh. Salah satu fasilitator sesi body image Transmen Camp, Tia Setiyani selalu mengajak peserta untuk berbicara pada tubuhnya masing-masing. “Sebab transisi itu tidak mudah. Dan teman paling setia saat bertransisi, adalah tubuh kita sendiri,” ujar Tama menirukan pernyataan Tia. Bicara pada tubuh atau refleksi dapat mengingatkan seseorang pada setiap capaian kecil yang telah ia raih. Orang seringkali lupa karena terlalu fokus mencapai tujuan atau mendengarkan orang lain. Harapannya, dengan mengingat serta mensyukuri setiap capaian, seseorang dapat lebih sabar dan menikmati proses selanjutnya, tanpa terasing dari tubuhnya sendiri.

Tabumania, dari pengalaman teman-teman transgender kita bisa belajar bahwa tidak ada yang salah memiliki citra tubuh, termasuk citra yang sesuai gambaran masyarakat. Selain itu tidak ada yang salah melakukan berbagai hal agar citra tubuh itu dapat tercapai. Namun, dalam setiap proses yang dilakukan, hal paling penting yaitu rajin berefleksi dan tentu saja: utamakan diri sendiri.

1 comment on “Transisi bagi Transgender: Sebuah Proses Diri

  1. Pingback: Tiga Cerita Pengalaman Terapi Hormon – qbukatabu.org

Leave a comment