Tabumania, pada 23 Januari 2019, Ketua DPRD Provinsi Aceh, Azhari Cage, di hadapan perwakilan Kedutaan Besar Inggris mengatakan bahwa, “Hukuman cambuk tidak melanggar HAM. Hukuman cambuk untuk efek jera agar pelanggar tidak mengulangi perbuatannya”. Satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukuman cambuk adalah Aceh melalui Qanun Jinayat No. 6 Tahun 2014. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melihat praktek hukuman cambuk di Aceh akan terus meningkat sejak Qanun Jinayat digunakan pada tahun 2015. Menurut pemantauan data ICJR sepanjang 2016, Mahkamah Syariah Aceh paling tidak telah memutuskan 301 putusan perkara jinayat sejak Januari sampai dengan November 2016 dengan sedikitnya 339 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh. Adapun jenis pelanggaran yang dikenakan hukuman cambuk adalah maisir (judi), khamar (minuman beralkohol), ikhtilat (bercumbu), khalwat (berdua-duaan di tempat sunyi), zina (aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan diluar pernikahan), liwath (aktivitas seksual antara laki-laki dengan laki-laki lainnya) dan mushahaqah (aktivitas seksual antara sesama perempuan)
Hukuman ini menimbulkan rasa sakit, baik fisik, psikis, serta memberikan penderitaan yang berkepanjangan. Dalam beberapa eksekusi, bahkan terpidana tidak sanggup menahan rasa sakit hingga pingsan. Belum lagi proses penghukumannya sangat merendahkan harkat martabat terpidana sebagai manusia. Tabumania bayangkan, satu orang dihukum didepan ratusan hingga ribuan orang. Ia harus menahan sakit, disoraki, ditertawakan, dicaci maki dan dihina. Orang-orang yang berada di lokasi pencambukan juga dengan bebas boleh mengambil foto dan merekam proses eksekusi. Bukan hanya itu, sebelum proses eksekusi, biodata terpidana diumumkan selengkap-lengkapnya pada khalayak yang melihat, termasuk nama, alamat rumah dan nama orang tua. Tentunya ini menjadi efek domino yang tidak hanya berdampak pada terpidana, tapi juga pada keluarga dalam bentuk pengucilan di lingkungan masyarakat hingga dikeluarkan dari pendidikan atau pekerjaannya.
Oleh karena itu, sebagaimana yang dinyatakan dalam Laporan Situasi Hukum Pidana yang dikeluarkan ICJR tahun 2016, sistem pemidanaan di Indonesia melarang penggunaan hukum cambuk karena termasuk dalam kategori penyiksaan, penghukuman yang kejam dan merendahkan martabat manusia. Lalu, jika hukuman cambuk tidak sejalan dengan sistem pemidanaan di Indonesia, kenapa masih dijalankan? Hingga saat ini, argumentasi yang digunakan untuk mempertahankan keberadaan hukuman cambuk ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Berbagai dampak bergulir dari hukuman cambuk akan menjadi masalah baru bagi kesejahteraan hidup terpidana secara fisik, psikis dan ekonomi. Misalnya, terpidana yang keluarganya terusir dari tempat tinggalnya harus mencari rumah lain untuk ditinggali. Nasib baik jika keluarga tersebut merupakan keluarga yang mampu secara ekonomi mencari rumah lain. Jika tidak, mereka harus bagaimana? Belum lagi jika terpidana merupakan tulang punggung keluarga dan harus kehilangan pekerjaannya. Darimana mereka mendapatkan penghidupan paska eksekusi? Atau misalnya terpidana merupakan mahasiswa yang kemudian harus dikeluarkan dari kampusnya, sementara kita semua tahu biaya pindah kampus itu tidaklah murah.
Sayangnya, efek domino paska pelaksanaan eksekusi cambuk ini tidak dipikirkan para pembuat Qanun Jinayat. Dalam Qanun tersebut, tidak ada pasal yang membahas pemulihan paska eksekusi. Salah satu aktivis perempuan yang pernah mendampingi korban eksekusi cambuk menyatakan bahwa ada orang-orang yang diberikan biaya pemulihan paska hukuman cambuk dan nominalnya itu sekitar Rp. 350.000. Namun, tidak semua orang mendapatkan biaya tersebut. Ada juga yang tidak mendapatkan apa-apa. Pemberian biaya pemulihan ini tidak memiliki ketentuan yang baku sehingga bisa berbeda-beda pada setiap orang dan disetiap wilayah sesuai dengan kebijakan pemerintah setempat. Begitu juga dengan dana yang dikeluarkan untuk membiayai proses eksekusi yang beragam, mulai dari Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah) hingga Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Pada Tahun 2018 pemerintah Provinsi Aceh telah mengeluarkan kebijakan baru tentang pelaksanaan eksekusi hukuman cambuk secara tertutup di dalam lapas yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2018. Sebelumnya, hukuman cambuk dilakukan di ruang terbuka. Hal ini dilakukan untuk menghindari hadirnya anak-anak untuk menonton proses eksekusi cambuk jika tetap di gelar di muka umum. Namun hal ini tidak dijalankan, terbukti dari masih digelarnya hukuman cambuk di muka umum paska di keluarkannya peraturan gubernur tersebut.
Pembahasan tentang ganti rugi dan rehabilitasi tertulis di Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat. Dalam Bab XII Pasal 97 hingga Pasal 100 dibahas secara menyeluruh terkait dengan ganti rugi dan rehabilitasi, termasuk prosedur pengajuan ganti rugi yang bisa dilakukan oleh yang bersangkutan maupun ahli warisnya, petugas yang berwenang dalam pengurusannya, hingga dana yang digunakan dalam proses ganti rugi atau rehabilitasi yang diajukan. Namun, pemberian ganti rugi atau rehabilitasi hanya bagi seseorang yang dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Qanun dan Peraturan Perundang-undangan lainnya atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Dalam prakteknya, ada surat yang harus ditandatangani ketika seseorang dinyatakan tidak bersalah namun telah ditangkap dan ditahan. Ketika meninggalkan kantor polisi syariah, ia diminta untuk menandatangani surat pernyataan tidak akan menuntut apapun terhadap apa yang terjadi selama proses penangkapan dan penahanan. Tidak ada kejelasan tentang tanggung jawab pemerintah terhadap orang-orang yang dinyatakan salah tangkap. Salah seorang mahasiswi yang merupakan korban salah tangkap harus berhenti berkuliah disalah satu universitas setelah fotonya dimuat di media. Media tersebut memberitakan bahwa polisi syariat menangkap pelaku prostitusi online. Hingga hari ini tidak ada upaya apapun yang dilakukan pemerintah sebagai wujud tanggung jawab atas pemulihan psikis korban salah tangkap.
Seharusnya hal-hal terkait pemulihan psikis dan tanggung jawab atas kehidupan yang sama sebelum dan setelah penangkapan menjadi perhatian pemerintah. Upaya masyarakat sipil mengajukan uji materi terhadap Qanun Jinayat sudah dilakukan dengan keputusan Mahkamah Agung menolak permintaan tersebut pada Maret 2016. Negara masih saja menutup mata dan telinga atas penderitaan rakyat. Presiden yang sebentar lagi akan segera terpilih, mampukah mencabut dan menghentikan produksi kebijakan yang diskriminatif agar rakyat tak lagi terluka?
0 comments on “Luka Korban Jinayat, Tanggung Jawab Siapa?”