Tabumania, tanggal 3 April lalu, Pemerintah Brunei telah menerapkan hukum syariah yang menghukum mati hubungan diluar pernikahan dan anal seks, potong tangan bagi pencuri dan hukuman cambuk bagi hubungan seks sesama perempuan. Ketika berita tersebut sampai di Indonesia, media daring ramai-ramai memberitakan hal tersebut dan memancing ragam komentar dari seluruh lini massa. Masyarakat bertanya-tanya: mungkinkah Indonesia menerapkan hukum yang serupa?
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak ada pasal yang mengatur secara khusus mengenai LGBT. Pasal 292 KUHP menyebutkan: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Dari bunyi pasal tersebut, bisa dipahami bahwa hubungan sesama jenis yang dilakukan sesama orang dewasa tidak bisa dipidana.
Tuntutan masyarakat agar dibuat peraturan-peraturan yang melarang LGBT, terjadi karena situasi di Indonesia semakin patriarkal dan konservatif. Pelarangan, pembubaran, bahkan persekusi bisa dilakukan masyarakat atas nama pembenahan moralitas sesuai tatanan sosial dan ajaran agama.
Tidak hanya menyasar pada kelompok LGBT, masyarakat sudah “main hakin sendiri” kepada individu/kelompok lainnya. Misalnya, tahun 2013, terjadi aksi penolakan masyarakat di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, yang tidak mau memiliki lurah perempuan beragama Kristen. Aksi penolakan tersebut tidak mempunyai landasan hukum kuat karena Konstitusi menjamin warga negaranya untuk bebas beragama dan berkeyakinan. Jabatan seseorang dinilai berdasarkan kapasitas, kinerja dan syarat-syarat administratif yang diperlukan. Tapi, toh nyatanya masih ada sekelompok orang yang buta hukum dan mengorbankan ajaran agama untuk membatasi ruang gerak seseorang.
Dengan demikian, perempuan dan kelompok minoritas ditempatkan pada situasi-situasi yang tidak menguntungkan. Pertama, mereka mendapatkan “hukuman dari masyarakat” yang mempolitisasi ajaran agama. Kedua, secara Undang-undang yang masih ditemukan pasal-pasal yang bersifat diskriminatif bagi kelompok perempuan dan minoritas.
Dalam penerapan hukum yang tidak berpihak kepada perempuan dan kelompok minoritas, aparat penegak hukum kerap menggunakan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Keduanya mengatur kesusilaan dan norma yang harus dipatuhi masyarakat, dimana perempuan dan kelompok minoritas merupakan objek yang dikontrol tubuh dan seksualitasnya.
Dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang Perbuatan yang Dilarang menyebutkan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Sementara itu, pasal 36 UU Pornografi menyebutkan: “Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Dalam implementasinya, walau kedua UU tersebut dapat menimpa seluruh warga negara, namun berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, keduanya kerap digunakan untuk menyasar perempuan dan kelompok minoritas.
Ibu Baiq Nuril, mantan guru honorer dari Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu korban dari penerapan UU ITE. Kasus bermula ketika Baiq Nuril menyimpan sebuah rekaman percakapan dengan nada melecehkan secara seksual yang dilakukan kepala sekolah tempatnya bekerja dulu. Rekaman percakapan tersebut ia simpan dan akan ia gunakan sebagai bukti bahwa kedekatan antara ia dan kepala sekolahnya adalah hal yang tidak benar. Rekaman percakapan tersebar dan mendapat perhatian massa. Kepala sekolah tersebut kemudian mendapatkan sanksi dengan diberhentikan dari sekolahnya. Tak hanya sampai di situ, kepala sekolah justru melaporkan kembali Baiq Nuril dengan dugaan pelanggaran UU ITE. Kasus pun bergulir hingga ke Mahkamah Agung, dan sempat dijatuhi hukuman 6 bulan penjara. Baiq Nuril terjerat UU ITE pasal 27 ayat (1) junto Pasal 45 UU ITE No. 19 Tahun 2016.
Ibu Baiq Nuril yang seharusnya diberikan perlindungan dan pemulihan karena menjadi korban, justru dijadikan pelaku dan dipidana dengan penggunakan UU tersebut. Kejadian tersebut semakin membuat orang yang menjadi korban enggan melapor karena tidak ada keberpihakan kepada korban.
Berita mengenai penangkapan 2 admin pengelola Grup Facebook Gay Bandung Indonesia contohnya, dianggap wajar karena diduga melanggar UU ITE. Keduanya dituduh melanggar pidana, mentransmisikan, dan membagikan gambar-gambar tidak senonoh. Gambar yang dimaksud ialah muatan yang cenderung bernuansa ketelanjangan. Aparat penegak hukum juga memberikan dugaan bahwa melalui Grup Facebook tersebut akan menjadi media yang dapat digunakan sebagai transaksi alat kontrasepsi dan penghubung antar sesama gay.
Aparat penegak hukum masih menilai manusia secara heteronormatif dengan menganggap orientasi seksual sesama jenis adalah sesuatu yang bisa menyebar dan harus dicegah. Oleh karenanya, aparat penegak hukum kerap luput dalam menerapkan hukum itu sendiri dan justru fokus pada dugaan yang didasarkan atas nama nilai budaya dan ajaran agama.
Ada juga contoh kasus yang sempat viral di media sosial mengenai penangkapan/pembubaran pesta gay di Kelapa Gading. Aparat penegak hukum, telah menggunakan UU Pornografi pasal 32, 33, 34 dan 36, serta UU ITE pasal 45. Kejadian bermula ketika polisi melakukan penggerebekan pesta yang dilakukan oleh sekelompok orang yang ‘diberitakan gay’. Pesta tersebut diketahui oleh polisi karena informasi yang tersebar melalui pesan elektronik. Pada saat penggerebekan berlangsung, polisi menemukan sejumlah orang dalam kondisi bertelanjang dada. Tidak lama setelah itu, foto-foto orang yang ‘diberitakan gay’ telah tersebar luas di media tanpa sensor pada bagian wajah.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan warga negara telah dilanggar haknya untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman serta hak atas privasi.
Seiring dengan masifnya aparat penegak hukum menggunakan UU tersebut, berbagai situs yang memberikan informasi mengenai keragaman gender mulai dilaporkan, aplikasi kencan bagi LGBT diblokir pemerintah. Situasi ini membuat individu dan kelompok LGBT mulai berhati-hati dalam gerak yang semakin dibatasi karena implementasi UU ITE dan UU Pornografi.
Kebijakan yang menciderai penerapan hak asasi manusia, sayangnya tidak hanya tertuang dalam Undang-Undang, tapi juga dalam peraturan lain yang tertulis di instansi negara. Salah satunya Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Penerimaan Calon Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 36 menyebutkan calon anggota perwira perempuan harus menjalani pemeriksaan “obstetrics dan gynaecology” (rahim dan genitalia), sebuah pemeriksaan untuk melihat kesehatan reproduksi perempuan dengan salah satu fokusnya ialah kondisi selaput dara, apakah ditemukan sejarah aborsi atau penetrasi seksual sebelumnya. Calon anggota perwira perempuan harus menjalani tes keperawanan walaupun dalam peraturan tersebut tidak secara jelas ditulis “melakukan tes keperawanan”. Aturan mengenai pemeriksaan tersebut tentu diskriminatif terhadap perempuan karena tidak ada aturan serupa yang harus dijalani oleh laki-laki.
Oleh karena itu, tes keperawanan adalah salah satu pelanggaran HAM karena merupakan tindakan tidak manusiawi dan merendahkan martabat seseorang. Hal itu tercantum pada Pasal 7 dari Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Pasal 16 Konvensi Menentang Penyiksaan, yang keduanya sudah diratifikasi Indonesia.
Tabumania, jika Indonesia masih juga membiarkan kebijakan diskriminatif terus hadir dan digunakan, tentu negeri ini semakin jauh melindungi warga negaranya sendiri.
0 comments on “Terancam di Negeri Sendiri”