Tabumania, belum lama ini kita merayakan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret sebagai bentuk aksi solidaritas agar perempuan terbebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Ini merupakan salah satu bentuk dari perjuangan panjang yang terus disuarakan organisasi perempuan,khususnya dalam upaya pencegahan kasus kekerasan seksual.
Meningkatnya kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak di Indonesia, yakni sebesar 14% di tahun 2018 (Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2019) semakin menegaskan bahwaupaya yang dilakukan organisasi perempuan membutuhkan banyak dukungan, seperti advokasi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kampanye penyadaran kepada publik mengenai dampak kekerasan seksual pada korban, hingga mengenalkan jenis-jenis kekerasan seksual. Berbagai upaya tersebut tak hanya melibatkan organisasi di konteks nasional,melainkan turut melibatkan organisasi-organisasi lokal agar serentak melakukan aksi dan kampanye bersama.
Salah satu organisasi lokal yang gencar melakukan kampanye dan advokasi ialah Embrio Perempuan Merdeka (EMPEKA) di Samarinda, Kalimantan Timur. Terbentuk pada 21 April 2017 sebagai organisasi sosial politik yang setara dan independen, EMPEKA memusatkan pengorganisirannya pada mahasiswa kampus di Samarinda serta berkomitmen terhadap perjuangan pembebasan perempuan dan kelompok minoritas dari diskriminasi, intoleransi, kekerasan seksual dan pelecehan seksual. EMPEKA merupakan organisasi yang perjuangannya mengarah pada feminis sosialis yang menegaskan bahwa penindasan perempuan terjadi karena kapitalisme dan budaya patriarki yang sudah mengakar sejak dulu.Sejarahberdirinya EMPEKA dilatarbelakangi kesadaran anak muda terhadap maraknya kekerasan atau pelecehan seksual. Oleh karena itu, EMPEKA cukup vokal menyuarakan stop pelecehan seksual di kampus.
Keberhasilan yang didokumentasikan EMPEKA ialah pemasangan plang kawasan bebas dari kekerasan seksual di Universitas Mulawarman. Dari bincang-bincang denganPutri Kalua, perempuan usia 23 tahun yang merupakan Ketua EMPEKA,ia menuturkan bahwa proses pemasangan plang tersebut, melibatkan banyak pihak, terutama dari kampus.
Pemasangan Plang Kawasan Bebas Kekerasan Seksual, 2018
“Pemasangan plang ini merupakan ide dari kita (EMPEKA). Di kampus itu ada 2 lembaga yang sudah memasangnya. Pertama HIMAPSOS (Himpunan Mahasiswa Pembangunan Sosial), kedua BEM FISIP (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Foto ini yang dipasang di HIMAPSOS. Perjuangan memasang plang ini di kampus ini bekerjasama dengan kawan-kawan yang masih berada diinternal kampus. Kemarin aku jadi ketua di HIMAPSOS. Setelah aku lengser, rekomendasi di kepengurusan selanjutnya ialah agar plang dipasang melalui Departemen Gender HIMAPSOS.Ketika aku jadi Menteri Gender dan Keperempuanan di kampus, program pemasangan plang bebas dari kekerasan seksual itu juga aku dorong. Hari Perempuan Internasional tahun lalu (2018), EMPEKA juga pernah bekerjasama dengan organisasi internal kampus untuk pemasangan plang kawasan bebas dari kekerasan seksual di 14 fakultas yang ada di Universitas Mulawarman, dimana pada malam harinya kita membuat panggung ekspresi perempuan yang didalamnya ada galeri mini untuk perjuangan perempuan seperti Kartini, Marsinah, Ibu-ibu Kendeng, dan pejuang perempuan lainnya.”
Hingga saat ini pemasangan plang tersebut masih berlangsung walau plang yang dimaksud masih berbentuk spanduk.Sejak pemasangannya, spanduk tersebut tetap berada ditempatnya dan tidak pernah dibongkar. “Perjuangannya itu mau dibuat permanen dan didukung dengan peraturan tertulis dari kampus yang langsung ditandatangani oleh rektor/dekan.” tambah Putri.
Pergulatan yang dirasakan Putri dan teman-temannya dalam upaya menjadikan kampus sebagai area yang nyaman dan aman dari kekerasan seksual, datang dari teman-teman lainnya di kampus. “Pasti ada yang kontra dengan pemasangan spanduk itu dengan menganggap spanduk tersebut tidak penting. Ada kelompok intoleran yang masih menganggap kampus merupakan tempat yang aman sehingga pemasangan plang ini dapat menimbulkan ketakutan. Menyikapi hal tersebut, kita tangkis dengan cepat memberikan penyadaran bahwa kasus kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.”
Ketika ditanya lebih lanjut mengenai upaya-upaya apa yang dilakukan dalam memberikan penyadaran, Putri bercerita bahwa EMPEKA merespon dengan melakukan kegiatan diskusi di kampus, melibatkan orang yang kontra dalam diskusi santai dengan melakukan pendekatan informal, yaitu pendekatan yang tidak berbasis kegiatan namun pertemanan. Baginya, membangun kesadaran untuk berorganisasi dan membuat kelompok belajar perempuan itu penting. Perempuan tidak bisa bekerja sendiri sehingga perlu melibatkan seluruh lapisan ragam gender untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Di usia yang masih muda, Putri dan teman-temannya sudah melakukan advokasi untuk lingkungan kampusnya. Mereka tetap melangkah meski tak sedikit cibiran dan stigma dilekatkan pada mereka. “Aku dicap liberal juga, apalagi ketika aku bicara soal orientasi seksual. Ada pula yang menganggap aku kafir. Tapi, ya itu tetap membuat aku semangat karena namanya perjuangan.Pasti ada tantangannya.” Putri memang dikenal sebagai perempuan yang mau berteman dengan siapun tanpa melihat identitas seksual dan gendernya.Keberanian inilah yang menurutnya harus dimiliki oleh setiap perempuan
EMPEKA masih terus mendukung untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) karena bagi EMPEKA ini berartiperjuangan bersama agar orang-orang yang terkungkung dalam lingkaran konservatisme di lingkungannya bisa cepat keluar dan sadar bahwa RUU PKS ini bisa menjadi payung hukum yang bisa melindungi korban. “Ini juga penting karena ini bisa sejalan dengan perjuangan kita agar kampus segera menjamin kurikulum pendidikan tentang penghapusan kekerasan seksual.”
Tabumania, cerita di atas merupakan bukti bahwa perjuangan dalam upaya pencegahan kasus kekerasan seksual membutuhkan keterlibatan dari seluruh gerakan, baik dari organisasi nasional maupun lokal. Bahwa, sebuah perjuangan membutuhkan konsistensi, kerja keras dan pengorganisiran di seluruh lapisan. Dan EMPEKA terus mengorganisir mahasiswa-mahasiswa kampus sebagai salah satu cermin gerakan anak muda yang turut mempunyai tanggungjawab untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik, khususnya lingkungan yang melindungi perempuan agar terbebas dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.
“Pesan yang ingin aku sampaikan sebagai anak muda ialah bangunlah kolektif. Arena perjuangan masih sangat panjang, benturan demi benturan dari masyarakat yang konservatif dan anti demokrasi akan terus ada bahkan dilegitimasi lewat kebijakan diskriminatif. Penting untuk kita menyatukan kekuatan untuk melawan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi.Mari saling bangun kekuatan untuk menguatkan!”
Nah, Putri Kalua, aktivis muda berusia 23 tahun telah memulai langkahnya bersama dengan teman-temannya, setahap demi setahap.Kalau kamu,Tabumania, kapan memulai langkahmu?
0 comments on “Perempuan Muda Pasang Plang Bebas Kekerasan Seksual di Kampus”