Tabumania, begitu terlahir di dunia, setiap manusia telah mendapatkan berbagai harapan yang melekat padanya. Jika terlahir sebagai laki-laki maka diharapkan menjadi laki-laki yang gagah, pintar berolahraga, kebanggaan keluarga. Pun demikian jika terlahir perempuan maka diharapkan menjadi anak perempuan yang nurut, pandai memasak, menikah, punya anak dan seterusnya. Bagaimana jika ternyata tidak sesuai yang diharapkan? Atau dianggap berbeda atau melenceng? Ketika anak laki-laki yang sudah lama dinanti kemudian tumbuh menjadi transpuan, bagaimana sikap keluarga menyikapinya? Apa yang dilakukan untuk bersosialisasi dalam masyarakat?
Adalah Mami Henny HS, seorang transpuan yang dalam buku hariannya menyebut dirinya sebagai wanita-pria atau lebih dikenal waria. Sebelum meninggal, Mami Henny menyerahkan catatan hariannya kepada Transhition Collective, komunitas yang bergerak dalam isu identitas gender, ekpresi gender, dan keragaman tubuh. Menurut Mario Prajna Pratama dari Transition, Mami Henny menyerahkan buku hariannya pada Mei 2016. Saat itu Mami Henny berharap agar gerakan waria lebih proaktif lagi dan menjalin kerja sama dengan banyak pihak termasuk negara (pemerintah). Agar pemerintah bisa memberikan akses maupun hak para waria.
Mami Henny merupakan pendiri Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), lahir pada 16 Agustus 1955 dan meninggal pada 12 Agustus 2016. Mami Henny sejak berusia 22 tahun dikenal masyarakat sebagai guru STM. Sebagai guru STM, meskipun tidak berpenampilan feminin namun ia tak segan menyatakan dirinya sebagai waria. Statusnya sebagai PNS tak menghentikannya untuk berkumpul dan berkarya bersama kawan-kawan transpuan. Pengetahuan yang dimiliki justru dimanfaatkan untuk memajukan komunitas waria (plush.or.id, 2016).
Melalui buku hariannya, Mami Henny mengisahkan kegelisahannya menjalani kehidupan sebagai waria. Tim Qbukatabu memperoleh kesempatan membaca dan menceritakan sekilas untuk Tabumania.
Ada dua buku yang diserahkan, dua buku tersebut merupakan salinan (foto kopi) dari aslinya. Buku pertama diberi judul ‘Waria : Wanita Pria di Yogyakarta’ tertanggal 01 – 12 – 2015 dan buku kedua berjudul ‘Bila Terlahir sebagai Waria’ tertanggal 01 – 01 – 2016. Mami Henny menulis buku hariannya dalam bentuk narasi, menceritakan suka duka sebagian besar waria. Misalnya, saat merasakan rindu dengan keluarga namun saat bertemu harus berpenampilan seperti laki-laki pada umumnya. Karena ketika berpenampilan waria, keluarga tidak mau menerima.
Lalu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, diperoleh dengan menjadi pekerja seks. Menurut Mami Henny, pekerjaan lain memang ada, namun mereka tidak memiliki sarana dan prasarana yang mendukung.
“Dapat dari mana, mau buka usaha apa saja butuh dana, butuh modal dan skill. Tidak ada yang memberi, meminjami bantuan dana. Ini entah dari mana. Terus mau bilang apa lagi, mereka butuh biaya hidup. Lalu harus dengan cara apa untuk memenuhi semuanya itu. Tidak semua orang mau menerima tenaga waria, banci, atau bencong.”tulisnya.
Dalam buku hariannya, Mami Henny juga mengungkapkan wawancara yang dilakukannya dengan lima sesepuh waria. Para waria yang diwawancarainya mengaku tetap sayang dengan keluarga meskipun mereka tidak mau tahu dan masa bodoh. Selain itu, mereka juga menyebutkan ingin memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan, mengikuti kursus, memperoleh prestasi, memiliki rumah, memiliki pasangan setia, membuka usaha, bisa beroganisasi, ingin hidup tentram dan bahagia.
“Memang pertanyaan-pertanyaan ini dibuat untuk mengambil kenang-kenangan kepada para pakar waria yang telah mendirikan perkumpulan, organisasi waria di Daerah Istimewa Yogyakarta.” tulisnya.
Pada 1982, Mami Henny mendirikan IWAYO, organisasi yang berfungsi sebagai media komunikasi antara waria dan masyarakat Yogyakarta. Olahraga dan seni menjadi media interaksi. Secara rutin IWAYO melakukan pertandingan persahabatan voli dan sepak bola di berbagai kampung. Tim seni dan olah raga IWAYO saat itu cukup terkenal di Yogyakarta. IWAYO juga cukup sering diundang bertanding di wilayah Jawa Tengah dan nasional. Tim seninya pun rutin tampil di Purawisata. Kegiatan bersama tersebut perlahan kemudian menumbuhkan interaksi, menghapus stigma, dan mendorong penerimaan masyarakat terhadap waria di Yogyakarta (plush.or.id, 2016).
Mami Henny menuliskan harapannya sebagai waria untuk mendapatkan kesamaan hak dalam kehidupan di masyarakat. “Ingin pula diikutsertakan dalam pergaulan dengan semua pihak agar lebih luas lagi baik pengetahuan, pengalaman, pandangan hidup selama ini.” tulisnya.
Ia memaparkan untuk bisa berbaur dalam masyarakat, itu kembali bagaimana waria tersebut bersikap. Misalnya, tidak sombong, mudah bergaul, sopan dan santun. Mami Henny juga mengingatkan meskipun sebagai waria, namun jangan pernah kalah atau mengalah dalam hal pendidikan, teknologi, budaya, seni, maupun sastra dengan orang-orang yang dianggap “normal”.
Tabumania, apa yang dituliskan Mami Henny merupakan sebuah kisah dan harapan untuk memperoleh kesempatan yang sama seperti halnya manusia lainnya. Memperoleh kesempatan bekerja, pendidikan, dan hidup dengan nyaman di lingkungan masyarakat.
Seperti yang ditulis di akhir buku harian Mami Henny, “Waria, mereka memang ada. Mereka juga diciptakan Tuhan. Mereka ada di antara insan di dunia. Juga ada kasih sayang. Berikan dia tempat kehidupan sama dengan yang lainnya. Seiring jalan kehidupan manusia sampai Tuhan memanggilnya nanti.”
0 comments on “Memoar Mami Henny”