Indonesia terletak di kawasan cincin api Pasifik atau ring of fire. Nah, tahukah Tabumania, karena berada di gugusan gunung api dan titik pertemuan sejumlah lempengan bumi, kondisi ini membuat Indonesia menjadi rawan bencana alam, mulai dari banjir, longsor, gempa hingga tsunami. Hal ini berpotensi menimbulkan dampak yang merugikan, seperti luka-luka, timbulnya korban jiwa, hilangnya rumah dan harta benda serta timbulnya dampak yang tidak terlihat yaitu trauma.
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut sering digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang atau sekelompok orang. Para psikolog dan konselor menyatakan, trauma dalam psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang yang meninggalkan bekas psikologis sehingga peristiwa tersebut sangat sulit untuk dihilangkan dan mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari (Irman & Hardiani, 2012). Kejadian traumatis, seperti kekerasan fisik, psikis dan seksual; kecelakaan atau bencana alam dapat mengakibatkan stres serius dan konsekuensi yang merugikan bagi para penyintas dan keluarga mereka.
Reaksi umum yang dilakukan oleh orang-orang terhadap pengalaman atau peristiwa traumatis adalah berusaha menghilangkannya dari kesadaran atau melupakannya. Meskipun terkadang berhasil bagi sebagian orang, namun bagi orang-orang yang tidak mampu menanggulangi trauma tersebut, bayangan tentang kejadian traumatis tetap berada dalam memori. Gejala tersebut merupakan tanda bahwa amigdala sangat terguncang sehingga memaksa ingatan yang hidup tentang peristiwa traumatis menerobos kesadaran. Ingatan yang terus menerus ditekan ini meningkatkan terjadinya gangguan stres pasca trauma atau sering disebut Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
PTSD adalah gangguan mental serius yang memengaruhi kehidupan individu dengan berbagai cara. PTSD dapat terjadi setelah seseorang mengalami, melihat, atau belajar tentang peristiwa traumatis. Pembahasan tentang PTSD awalnya tidak menjadi prioritas praktisi psikologi di negara-negara Asia. Pichet Udomratn dalam tulisannya tentang Konsekuensi Bencana Alam terhadap Kesehatan Mental dan Psikososial di Indonesia pada 2012 mengungkapkan bahwa sebelum terjadinya tsunami Aceh tahun 2004, banyak praktisi kesehatan mental meyakini bahwa PTSD adalah penyakit yang hanya dialami oleh orang Amerika dan mungkin belum pernah ada di dunia bagian lain, termasuk Asia. Keyakinan ini berubah sejak terjadinya kejadian tsunami pada tahun 2004 dengan kenaikan kasus PTSD di berbagai negara di Asia yang terdampak seperti India, Thailand, Srilangka dan Indonesia tercatat antara 8,6% hingga 57,3%.
Merujuk pada American Psychological Assosiation, seseorang dikategorikan mengalami trauma jika mengalami hal-hal seperti perubahan mood tanpa sebab, kebingungan dan sulit mengambil keputusan, mengalami gangguan tidur, gangguan pola makan, perubahan pola kebiasaan dalam berperilaku seperti menjadi lebih pendiam atau justru lebih hiperaktif. Sedangkan pada korban bencana alam, biasanya mengalami kilas balik ingatan tentang kejadian bencana. Hal ini membuat korban bencana menghindari hal-hal yang berhubungan dengan bencana. Misalnya, korban tsunami yang tidak mau berdekatan dengan laut.
Penanggulangan trauma pada korban bencana alam tidak bisa disamaratakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dalam penanganan dampak psikologis bencana, lansia, anak-anak, perempuan, dan penyandang disabilitas penting mendapatkan perhatian. Hal ini karena anak-anak sering kesulitan menyampaikan apa yang dirasakannya, sementara perempuan tak hanya rentan terhadap kekerasan dalam rumah tanga dan pelecehan seksual, tapi juga perempuan yang sudah menikah memikul beban ganda ketika suami mereka meninggal karena bencana, yakni sebagai pencari nafkah utama sekaligus melakukan pekerjaan domestik. Selain itu perempuan juga dikatakan rentan mengalami pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. (Tirto, 2018)
Perlu Tabumania ketahui, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dikenal sebuah sistem yang dinamakan Sistem Penanggulangan Kegawat Daruratan Terpadu (SPGDT). SPGDT adalah tatanan pelaksanaan pelayanan kedaruratan medik, baik trauma dan atau non-trauma, untuk menurunkan kerugian fisik, mental dan sosial serta resiko kematian. SPGDT terbagi ke dalam beberapa fase, yaitu : Fase Prevensi dan Mitigasi, Fase Persiapan, Fase Respon, dan Fase Rehabilitasi. Rehabilitasi ini tidak hanya dilakukan untuk perbaikan pada lingkungan bencana tetapi juga pemulihan psikososal korban bencana.
PP ini memasukkan psikososial sebagai salah satu kebutuhan dasar yang harus difasilitasi semasa tanggap darurat. Selain itu, peraturan ini juga menekankan kebijakan afirmasi dalam penanggulangan bencana pada kelompok rentan. Meskipun begitu, penggolongan kelompok rentan masih berfokus pada keterbatasan ruang gerak fisik, seperti pada anak-anak dan ibu hamil.
Tabumania, meskipun pelaksanaan dalam penanggulangan dampak psikis pada korban bencana alam tidak semudah yang dibayangkan. Ada dua hal yang memengaruhinya. Pertama, kemauan masyarakat untuk memeriksakan kesehatan jiwa pasca kejadian masih minim karena kurangnya pengetahuan tentang kesehatan jiwa. Kedua, adanya stigma masyarakat bahwa ketika seseorang datang ke konselor, psikolog atau psikiater berarti orang tersebut mengalami gangguan jiwa atau gila.
Selain itu, sedikitnya jumlah praktisi kesehatan jiwa juga menjadikan upaya penanggulangan masalah terkait kejiwaan masih belum optimal. Mengutip dari Tirto.id, jika sesuai standar yang ditetapkan WHO maka jumlah tenaga psikolog dan psikiater yang dibutuhkan sesuai jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 orang. Sementara saat ini dengan penduduk sekitar 250 juta, Indonesia baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis, 773 psikiater, dan 6.500 perawat jiwa 6.500 orang.
Penangangan kasus PTSD pada korban bencana alam memang semestinya dilakukan oleh praktisi psikologi klinis, namun kita sebagai individu non praktisi medis juga bisa melakukan pertolongan terkait kesehatan jiwa. Salah satunya ketika terjadi bencana alam dengan melakukan pertolongan pertama psikologi atau psychological first aid (PFA). Apakah PFA itu?
Menurut Sphere Project (2011) dan Inter-Agency Standing Committee (2007), PFA menggambarkan respons manusiawi, suportif terhadap sesama manusia yang menderita dan yang mungkin butuh bantuan. Namun sebelum memberikan bantuan terhadap orang-orang terdampak bencana, sebaiknya perlu mempersiapkan diri, yakni antara lain :
- Memastikan terlebih dahulu kondisi fisik maupun psikis dalam keadaan sehat. Kedua hal tersebut akan berpengaruh terutama saat berkomunikasi dengan korban bencana alam.
- Membekali diri dengan pengetahuan PFA secara mendalam, yakni pengetahuan tentang prinsip PFA, seperti melihat, mendengarkan dan menghubungkan. Mempelajari wilayah terdampak untuk kemudian beradaptasi, cara membangun komunikasi yang baik termasuk jika ada perbedaan bahasa, agar tidak membuat korban merasa kebingungan bahkan bisa berpotensi memperburuk keadaan.
- Pertimbangkan terlebih dahulu apakah akan melakukan upaya PFA bersama teman atau sendirian. Bersama teman akan menguntungkan karena bisa mencegah terjadinya kelelahan ketika banyak korban yang memerlukan bantuan.
Selanjutnya, saat membangun komunikasi dengan korban, ada beberapa hal yang perlu diketahui, diantaranya (WHO, 2011) :
- Memperkenalkan diri; mulai dari nama, asal tempat dan bagaimana cara bisa menghubungi ketika memerlukan bantuan.
- Tanyakan apakah ia mau berbicara dengamu, jangan memaksa jika ia menolak
- Panggillah dengan nama dan salutasi sesuai dengan yang ia inginkan
- Mendengarkan aktif disertai dengan kontak mata, jangan menyela atau memotong ketika korban sedang bercerita
- Identifikasi kebutuhan dan kekhawatirannya.
- Pahami bahwa kekhawatirannya adalah hal yang wajar, jika ia merasa sedih katakan bahwa kesedihannya adalah hal yang normal terjadi saat mengalami bencana.
- Jika ia menangis dan meratap, biarkan ia meluapkan emosinya
- Jika kamu merasa ia membutuhkan bantuan lebih lanjut misalnya intervensi medis, rujuklah dia ke tenaga ahli yang dibutuhkan.
Tabumania, penanggulangan trauma adalah upaya yang dilakukan terus menerus segera setelah bencana terjadi. Bisa dimulai dari hal-hal sederhana untuk mengalihkan perhatian dari reaksi stres akibat trauma dengan melakukan hal-hal menyenangkan, misalnya melakukan permainan atau memastikan penyintas tidak sendirian, saling mendengarkan. Jangan sampai penanganan atau pendampingan psikologis terhadap penyintas bencana diabaikan.
0 comments on “Tanggulangi Trauma Paska Bencana”