Tabumania, disadari atau tidak, media telah memengaruhi pemikiran, persepsi, opini, termasuk perilaku publik ketika merespon sebuah peristiwa. Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan akses media menjadi begitu mudah dan cepat. Masyarakat bisa langsung merespon setiap berita dengan berkomentar dalam setiap unggahan informasi di media sosial atau menyebarluaskan informasi tersebut dengan menggunggah ulang (repost).
Pun demikian pada 2018 lalu. Bagaimana pemberitaan media massa memengaruhi publik, yakni saat kasus Agni diberitakan balairungpress.com, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) UGM pada 5 November 2018. Sebelumnya tidak banyak yang mengetahui kasus tersebut. Setelah diberitakan balairungpress.com, ia berlanjut menimbulkan perdebatan publik, menjadi pemberitaan bagi media-media arus utama, muncul dukungan di media sosial maupun gerakan #kitaAgni yang menuntut keadilan dari UGM.
Contoh kasus tersebut memperlihatkan peran media sebagai pembangun agenda. Teori agenda setting mengatakan bahwa media massa memiliki kemampuan untuk mentransfer apa yang menjadi agenda dalam pemberitaan menjadi agenda publik (McCombs dan Shaw dalam Griffin, 2000:360). Kasus Agni diberitakan LPM UGM, ramai diberitakan media arus utama hingga muncul gerakan dukungan. Kemudian pada pemberitaan pelecehan di kampus, awalnya tidak banyak penyintas pelecehan yang berani bercerita, namunsetelah membaca liputan tersebut kemudian satu per satu berani bercerita.
Sebelum kasus Agni merebak, Tirto.id pada Juli 2018 telah membuat serangkaian laporan tentang pelecehan seksual di kampus. Bahkan saking tingginya respon terhadap kasus tersebut, Redaksi Tirto memutuskan untuk menyediakan kontak pengaduan dan ternyata respon makin tinggi. Banyak laporan masuk ke surel Redaksi Tirto.
“Setelah kami membuat serangkaian laporan tentang pelecehan di kampus, kami menilai respon dari pembaca bagus. Lalu kami memutuskan untuk membikin kontak pengaduan. Ternyata ada banyak laporan masuk dari berbagai kampus mulai dari UI, beberapa kampus lain kemudian Sumatera juga ada. Karena respon bagus, kami kemudian berdiskusi dengan media-media lain untuk membuat kolaborasi pemberitaan tentang kasus pelecehan seksual di kampus sehingga berdampak lebih besar.”kata Editor Tirto.id, Fahri Salam saat diwawancarai Tim Qbukatabu beberapa waktu lalu.
Selain pemberitaan kasus pelecehan seksual, berita-berita LGBT turut mewarnai media-media di Indonesia pada 2018. Sayangnya pemberitaan masih didominasi tentangdiskriminasi terhadap LGBT. Secara intensif, Tirto.id merekam serangkaian peristiwa tersebut sepanjang 2018. Misalnya, pada Januari di Kabupaten Aceh Utara terjadi penangkapan 12 waria dari sejumlah salon. Lalu pada Maret terjadi penggerebekan pasangan gay di Palmerah, Jakarta Barat. Pada Juli, berita tentang hukuman cambuk bagi pasangan gay. Pada Oktober terjadi pembubaran Grand Final Mister dan Miss Gaya Dewata 2018 karena dianggap bernuansa LGBT dan pembubaran sesi lomba pockychallenge di Magelang karena desakan ormas yang mencurigai terdapat unsur LGBT, pada November terjadi penganiayaan tanpa sebab terhadap dua transpuan di Bekasi, dan Deklarasi Anti LGBT di Padang yang melembagakan kebencian.
Hanya saja ketika memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan, LGBT maupun minoritas lainnya belum semua media menuliskannya secara seimbang. Mengapa demikian? Padahal media bisa memengaruhi pemikiran maupun opini publik.
Bisa jadi hal ini karena terdapat ketidakpekaan jurnalis maupun redaksi terhadap permasalahan gender (Susilo, 2014), termasuk diantaranya isu-isu perempuan dan LGBT. Bisa juga disebabkan karena dalam penulisan berita membutuhkan proses yang panjang. Apa yang dihadirkan media tidak bisa dilihat sebagai wujud lepas. Pembingkaian yang dilakukan terhadap peristiwa bisa berasal dari berbagai faktor, yaitu individu pekerja media, rutinitas media, organisasi media, eksternal media dan ideologi media. Apa yang dihadirkan media pada khalayak adalah pembingkaian atas isu pemberitaan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses produksi berita (Junaedi, 2013:80).
Sebagai salah satu media yang memberikan porsi pada isu-isu kekerasan seksual dan LGBT, Tirto.id juga menetapkan standar untuk berita yang ditulis. Fahri Salam mengungkapkan ketika menuliskan isu-isu tersebut harus proporsional, yaitu mengetahui apa permasalahannya, reporter jangan memberikan stigma, penghakiman dan sebaiknya menghindari sensasi. Pada saat menuliskan berita pun tidak hanya mempertimbangkan ramai atau tidak dan menarik atau tidak tetapi juga mempertimbangkan penting atau tidaknya berita tersebut ditulis.
Respon yang diterima Tirto.id ketika memberitakan kekerasan seksual dan LGBT pun cukup ramai, terutama di media sosial instagram. Menurut pengakuan Fahri, saat memberitakan LGBT di Aceh, followers Instagram tiba-tiba berkurang tetapi hal tersebut tidak berpengaruh di Redaksi Tirto. “Ramai ya responnya. Terutama di media sosial, banyak komentar di Instagram. Apalagi ketika memberitakan LGBT. Ada yang berkomentar ‘Wah ngajak tubir ni Tirto’ atau ‘ayo boikot Instagram Tirto’ sampai akhirnya tiba-tiba berkurang 300 follower. Waktu itu kalau gak salah saat memberitakan LGBT di Aceh. Mendapat respon-respon seperti itu ya gak pha-pha” katanya.
Fahri pun menjelaskan ketika ada penulis atau reporter yang memang melek dengan isu-isu tersebut pasti akan langsung mengetahui apa yang harus dilakukan, kemudian mendiskusikannya di redaksi. “Di Tirto kebetulan sangat terbuka untuk membicarakan hal tersebut. Sebenarnya kami tidak merencanakan untuk khusus menulis isu perempuan, tetapi ada penulis yang memang concern isu-isu perempuan. Jadi, ketika terdapat isu atau kasus terkait hal tersebut pasti akan ada yang meng-cover isu tersebut. Ya bisa dilihat pada berita-berita yang kami tulis terkait kekerasan seksual, LGBT, perawatan kulit, dll. Ke depan saya membayangkan bisa berkolaborasi dengan media-media yang memiliki isu yang sama. Jadi, kalau masing-masing media menulis sendiri paling dampaknya tidak seberapa. Tetapi ketika nulis bareng-bareng lalu di-release bareng-bareng tentu dampaknya lebih luas.”ungkapnya.
Tabumania, tingginya intensitas manusia dalam mengonsumsi media menurut Shirley Biagi menjadikan media sebagai “faktor utama” dalam menciptakan wacana-wacana. Biagi menyebutkan 41 persen waktu digunakan manusia untuk mengonsumsi media, 33 persen untuk beristirahat dan sisanya adalah waktu yang benar-benar terbebas dari media (Biagi dalam Susilo, 2014). Hal ini bisa dikatakan ketika media massa menyajikan berita-berita diskriminasi terhadap LGBT, marginalisasi perempuan maupun minoritas lainnya secara konsisten, meminjam perkataan Hariyanto, orang menjadi menyangka bahwa pilihan yang paling logis adalah mengikuti apa yang tampak sebagai kecenderungan umum itu, sebagaimana yang disajikan media (Hariyanto dalam Susilo, 2014).
Tabumania, ke depan tentu saja tetap berharap lebih banyak media yang ramah terhadap perempuan, peka terhadap isu LGBT, tidak memberikan stigma dan tetap akurat dalam memberitakannya. Dengan begitu, masyarakat akan semakin peduli dan paham bahwa perempuan, LGBT maupun minoritas lainnya adalah sama-sama manusia yang layak hidup berdampingan dengan damai. Tentu saja kita harus mengawalnya.
0 comments on “Media Massa dalam Refleksi Pemberitaan Kekerasan Seksual dan LGBT”