Buka Layar

Kebijakan Menghapus Kekerasan Seksual : Upaya Berlanjut di 2019

Siapa yang mempunyai kesan istimewa di tahun 2018? Jika Tabumania mengikuti dinamika yang terjadi, ada beberapa kejadian yang cukup viral dan menjadi perhatian masyarakat Indonesia di 2018. Salah satunya semarak ASIAN GAMES yang menyisakan cerita bagaimana seksualitas dibahas di ruang-ruang publik lewat penyelenggaraan kegiatannya.

Tabumania, masih ingat saat netizen ramai-ramai mengomentari aksi buka baju atlet laki-laki dari cabang bulutangkis? Nah, saat itu komentar kebanyakan netizen perempuan merujuk pada imajinasi kepuasan hasrat seksual dengan pemakaian istilah “rahimku hangat”. Komentar tersebut menuai kritik. Ketika perempuan mengekspresikan hasratnya, ia mendapatkan label “perempuan yang beringas”. Hal tersebut terjadi karena konstruksi yang berkembang di masyarakat kerap menghadirkan laki-laki sebagai aktor utama dan dianggap wajar dalam mengekspresikan seksualitasnya, sedangkan ketika perempuan melakukannya, justru memperoleh label negatif. Belum lagi perempuan dan seksualitas perempuan seringkali diposisikan sebagai standar moralitas. Jadi, jika ia menyampaikan sesuatu yang dianggap tidak mencerminkan identitas sebagai ‘perempuanbaik-baik’, maka masyarakat berlomba-lomba untuk ‘memperbaiki’ situasi ini.

Lalu, Tabumania, bagaimana kebijakan di Indonesia bicara soal upaya pemenuhan hak seksual, terutama terhadap perempuan?

Salah satu kabar yang menggembirakan terjadi pada Desember 2018. Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan batas usia dalam UU Perkawinan! Naiknya batas usia anak dalam UU Perkawinan tentu bukan perkara mudah, Tabumania. Hal tersebut merupakan perjuangan panjang dari seluruh elemen, baik organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa, organisasi perempuan, organisasi keragaman gender seksualitas, bahkan dari jaringan kesehatan dan anak muda itu sendiri. Perjuangan mengampanyekan batas usia perkawinan yang masif dilakukan, di antaranya kampanye melalui media sosial, saat aksi women march, dan diskusi-diskusi mengenai perkawinan anak di berbagai kegiatan sosial.

MK sebelumnya melakukan uji materi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang membedakan batas minimal usia perkawinan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Nah, yang diperjuangkan adalah menaikkan batas usia perkawinan anak perempuan menjadi 19 tahun agar perempuan juga mendapatkan akses yang sama untuk menempuh pendidikan dan meminimalisir dampak negatif kesehatan reproduksi perempuan. Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual. Lagipula, bila UU Perkawinan bila tidak diuji lagi, maka bertentangan dengan UU Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah usia 18 tahun.

Meskipun di tahun 2018 ada perkembangan baik, namun tidak demikian pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Bahkan, di tahun 2018 instansi dan organisasi masyarakat  masih terus mengampanyekan pentingnya RUU PKS agar bisa memperkuat dukungan dan advokasi dari seluruh lapisan masyarakat.

RUU PKS mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal perkosaan dan pencabulan. Bahkan, RUU PKS memperkenalkan rehabilitasi khusus bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu. Selain itu juga merumuskan sejumlah sanksi pidana tambahan sesuai perbuatan yang dilakukan, seperti ancaman pidana tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan jabatan atau profesi dan pengumuman putusan hakim.

Menurut Ira Imelda, salah satu Dewan Pengarah Nasional (DPN) Forum Pengada Layanan (FPL) yang memiliki visi untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, RUU PKS sangat diperlukan sebagai payung hukum di Indonesia.

“Beberapa kasus kekerasan dalam pacaran, itu sulit diproses karena tidak ada hukum untuk itu karena KUHP hanyamengatur perkosaan, pencabulan atau pelecehan seksual.Itupun masih sulit. Aparat Penegak Hukum (APH) kadang menggiringnya ke kasus suka sama suka. Perkosaan juga definisinya penetrasi penis ke vagina, jika penetrasi menggunakan alat atau dilakukan di tempat lain seperti di mulut, maka tidak dianggap perkosaan. Di RUU PKS itu lengkap apa yang diperlukan korban, dan salah satu hak korban yang tidak ada di KUHP ialah pemulihan.” jelasnya saat diwawancarai Tim Qbukatabu.

FPL merupakan perkumpulan lembaga penyedia layanan bagi perempuan korban yang tersebar di 32 provinsi dan mempunyai 98 anggota di berbagai wilayah di Indonesia. Dengan kapasitasnya tersebut, FPL berkontribusi membantu penanganan korban kekerasan dengan memberikan dampingan hukum, konseling psikologis, pemulihan, hingga rumah aman. Meskipun tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, namun FPL tak lepas dari hambatan. Veni Siregar, Koordinator Sekretaris Nasional FPL, menyampaikan “Kendala implementasi di antara lembaga layanan adalah salah satunya. Beberapa wilayah belum memiliki mekanisme rujukan, persamaan pemahaman dalam hal penanganan perempuan korban kekerasan juga masih beragam, diperparah dengan koordinasi yang belum rutin antar lembaga layanan.” katanya.

Berefleksi terhadap capaian pemerintah untuk menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan sepanjang tahun 2018, Veni Siregar menuturkan terdapat beberapa catatan:

Pada Februari 2018 lahir Permenkumham (Peraturan Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) No.1 Tahun 2018 tentang Peran Paralegal dalam pemberian bantuan hukum. Namun, pada September,  Mahkamah Agung (MA) menghapuskan 2 pasal yang menjadi roh peran paralegal.Kedua 11 dan 12dianggap MA bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Padahal, kedua pasal tersebut mempunyai peran penting terhadap wewenang paralegal dalam mendampingi dan memberikan bantuan hukum, baik di dalam atau di luar pengadilan. Jadi, penghapusan kedua pasal tersebut dianggap langkah mundur upaya perluasan layanan dan bantuan hukum.

Selanjutnya, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi pasal 284, pasal 285, dan pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).  Hal ini karena MK tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru. Selain itu, penolakan MK ini merupakan upaya untuk mencegah potensi kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan, termasuk perempuan dengan orientasi seksual yang beragam.

Dan terakhir dari Pemerintah Pusat salah satunya adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) Sistem Peradilan PidanaTerpadu dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) dengan  Kementrian terkait, Aparat Penegak Hukum yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan. Penandatangan tersebut merupakan langkah maju dalam upaya membangun akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Penandatanganan tersebut menjadi kertas kebijakan yg selanjutnya menjadi pegangan dalam melaksanakan program advokasi untuk mencapai kegiatan 3 prioritas nasional,yaitu penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas keadilan.

Ira Imelda juga menjelaskan mengenai terjadinya tindak kekerasan karena ada relasi kuasa yang timpang. Misalnya, antara majikan dan karyawan, atau suami pada istri. Selain karena relasi kuasa, kekerasan juga terjadi pada kelompok-kelompok rentan yang identitasnya dipolitisasi, seperti kelompok orientasi seksual yang beragam, perempuan positif, dan perempuan pekerja seks. Bahkan, tak jarang kelompok rentan ini kerap kesulitan untuk mengakses dampingan hukum, pemulihan atau layanan kesehatannya.

“Penyedia layanan dalam hal ini dari pemerintah seperti ragu-ragu untuk menangani kasus teman-teman transpuan, bahkan mereka sering menolak. Anak dari pekerja seks dan pekerja seks sendiri juga menghadapi hal serupa. Kalau mendapatkan kekerasan seksual, mereka tidak dianggap korban karena itu bagian dari pekerjaannya.”ungkapnya.

Veni Siregar menambahkan bahwa di masyarakat juga diberlakukan hukum atau aturan adat dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Misalnya,di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Papua.Untuk itu, FPL di daerah juga melakukan pendekatan dengan kelompok adat, seperti mendorong pemuka adat di salah satu desa hingga mengeluarkan aturan adat yang berperspektif korban.

Ketimpangan dalam pemberian akses tersebut, lanjutnya dikarenakan tidak adanya pengetahuan yang komprehensif pada tokoh masyarakat, tokoh adat, hingga petugas-petugas layanan pemerintah. Jika merujuk pada SOP, seharusnya tidak ada masalah pada petugas layanan, tetapi implementasinya itu yang masih menghadapi kendala.

Tabumania, demikian sekilas refleksi dinamika kebijakan yang berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-hak seksual di 2018, tentu itu hanya sebagian isu kecil yang terdokumentasi mengingat tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 348.446 dan tingginya angka perkawinan anak sebanyak 61% pada tahun 2017(Catahu Komnas Perempuan, 2018). Maka, sudah saatnya kita bergerak bersama untuk kembali mengawal kebijakan yang ada di Indonesia. Salah satunya dengan mencari tahu tentang pentingnya RUU PKS untuk segera disahkan. Tak hanya RUU PKS ini memuat perlindungan hak saksi dan korban serta pemulihan korban, namun juga merupakan paket komplit untuk menjembatani ketimpangan kebijakan yang saat ini ada.

Jadi Tabumania, kuy #gerakbersama untuk #sahkanruupks! Semoga 2019 lebih ramah terhadap kelompok rentan dan marginal!

About Ino Shean

Ino Shean, bukan nama yang sebenarnya. Menurut weton terlahir sebagai orang yang ambisius, urakan tapi mempesona dan penuh kasih sayang. Aktif dalam gerakan, komunitas dan organisasi di isu seksualitas sejak usia 18 tahun. Suka membaca novel, olahraga dan masih bercita-cita menjadi vegetarian. Pecinta film Marvel and DC! Dapat dihubungi lewat IG @ino_shean

0 comments on “Kebijakan Menghapus Kekerasan Seksual : Upaya Berlanjut di 2019

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: