Tahun 2019 adalah tahun baru sekaligus tahun kepemimpinan politik Indonesia yang baru. Orang-orang membuat serangkaian rencana dan resolusi, mulai dari upaya untuk merubah kebiasaan agar bisa lebih bersemangat menghadapi keseharian, menyusun daftar keinginan dan harapan diri, berkumpul di komunitas dan organisasi untuk membangun strategi dan kegiatan di tengah kondisi sosial dan politik saat ini, hingga mempersiapkan diri untuk melek terhadap potensi bencana alam dan para pemimpin politik yang akan berkuasa lima tahun ke depan.
Tak terkecuali juga terhadap kerja-kerja pemenuhan hak seksual. Diawal tahun, publik dihadapkan pada dua kejadian, yakni pengaduan korban pelecehan seksual dan perkosaan yang dilakukan atasannya yang adalah pejabat BPJS serta pengungkapan kasus prostitusi online yang diduga melibatkan artis. Korban pelecehan seksual dan perkosaan kemudian dituduh mencemarkan nama baik. Sementara itu, artis yang diduga terlibat dalam prostitusi online dijadikan komoditi oleh media untuk mendapatkan oplah yang tinggi. Disatu sisi, pengaduan korban masih saja dianggap mengada-ada dan sekedar mencari sensasi, namun disisi lain, media dan masyarakat secara sensasional menjadikan perempuan sebagai objek pemberitaan untuk merendahkan identitasnya sebagai perempuan, tanpa peduli dengan struktur dan jaringan dari prostitusi online ini.
Lalu, bagaimana kita bisa membangun harapan di tahun 2019? Bagaimana tahun 2018 bercerita tentang kerja-kerja pemenuhan hak seksual yang penuh dengan jalan yang terjal dan curam, dengan publik yang masih saja merendahkan seksualitas perempuan? Bagaimana orang-orang transgender juga bisa turut menyalakan harapannya, disaat negara malah melakukan kekerasan dan persekusi? Bagaimana media dan masyarakat menghadapi potensi dan ancaman objektifikasi perempuan dan transgender, terutama dalam masa kampanye para presiden dan anggota legislatif?
Di permulaan tahun 2019, Qbukatabu mengajak Tabumania untuk berefleksi dari berbagai peristiwa yang terjadi di tahun 2018 dan selanjutnya memandang pada situasi saat ini. Ya, saat ini – ketika seksualitas masih juga dipandang sebagai sebuah sensasi ketimbang bagian dari identitas yang melekat pada diri. Saat ini – ketika kita semua akan melihat para pemimpin politik berkampanye dan merayakan kemenangannya. Akankah juga menjadi kemenangan kita, atau setidaknya jadi jembatan bagi perempuan, transgender dan identitas non-biner lainnya untuk menikmati haknya?
Seperti yang dikatakan Kartini : ‘Aku mau!’ membuat kita mudah mendaki puncak gunung. Kerja-kerja pemenuhan hak seksual memang tak mudah, Tabumania, namun selalu ada jalan menuju kesana.
Selamat Tahun Baru 2019!
0 comments on “Hak Seksual : Menengok 2018, Menempuh Harapan 2019”