Buka Perspektif

Interseksionalitas dalam Sinema Indonesia.

Tabumania, menurut KBBI solidaritas ialah sifat (perasaan) solider; sifat satu rasa (senasib dan sebagainya); perasaan setia kawan. Solidaritas terbangun karena adanya rasa kebersamaan, kesatuan kepentingan dan simpati. Berbicara solidaritas lintas isu mengandung makna upaya yang dilakukan untuk saling bantu memperjuangkan isu kelompok yang memiliki penindasan yang berlapis-lapis. Karena satu isu dengan yang lainnya saling terhubung, maka sikap dan tindakan yang muncul adalah keluar dari berbagai sekat isu.

Upaya ini dikenal dengan interseksionalitas, sebuah pemahaman yang pada mulanya sangat dekat dengan realitas perempuan kulit hitam dan sistem perbudakan. Identitas berlapis yang ditempatkan pada sistem penindasan yang juga berlapis, termasuk dominasi yang memunculkan ketidakadilan.

Lalu, apakah Indonesia juga memiliki realitas yang sama dialami para perempuan kulit hitam?

Kita dapat memahaminya lewat film, Tabumania. Ia menjadi media untuk memperkaya pengetahuan dan wacana masyarakat melalui ide jalan cerita, baik fiksi dan non fiksi. Film dapat menjelaskan tentang kondisi kekinian yang tengah terjadi pada kurun waktu film tersebut diproduksi dan didistribusi. Lalu, film juga memengaruhi stereotip atau konstruksi sosial yang selama ini terbangun.

Industri perfilman Indonesia atau sinema Indonesia mengangkat latar peristiwa sejarah Indonesia, mulai masa kolonialisme hingga masa kemerdekaan, seperti Orde Baru, dan paska Reformasi. Alur sejarah ini memperlihatkan situasi politik, budaya, dan masyarakat yang hidup pada masa itu.

Lewat latar sejarah, interseksionalitas dapat tergambar di film karena Tabumania bisa melihat struktur penindasan hirarki dalam sistem budaya dan politik Indonesia yang terjadi disetiap masa. Ketika masa kolonialisme, dengan jelas tampak sistem perbudakan Eropa maupun Asia yang menempatkan masyarakat pada sekat pribumi-non pribumi atau penguasa-pengusaha-budak. Dampaknya, tentu terjadi pada identitas yang berada di hirarki terendah.

Meski sudah lepas dari masa kolonialisme, namun penjajahan masih terjadi, misal pada masa Orde Baru dan paska Reformasi. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Perjuangan melawan sekat-sekat masih terus terjadi hingga saat ini: pada kelompok perempuan, keturunan Tionghoa, LGBT, ODHA, pekerja seks, kelompok yang mendorong hak atas aborsi aman dan para buruh.

Interseksionalitas tentu tidak hanya mengenai kerentanan individu atau kelompok tertentu, namun tentang bagaimana solidaritas terbangun untuk bersama-sama membongkar sistem yang tidak adil. Melalui sinema, Tabumania bisa mempelajari bagaimana interseksionalitas menjadi perekat antar kelompok untuk sadar dan bergerak. Beberapa film Indonesia berikut ini Qbukatabu rekomendasikan untuk Tabumania tonton

1. Tjoet Nja’ Dhien (1988)

| Durasi: 150 menit | Produser: Alwin Abullah, Alwin Arifin, Sugeng Djarot | Sutradara: Eros Djarot | Penulis: Eros Djarot | Pemeran: Christine Hakim, Piet Burnama, Rudy Wowor, Slamet Rahardjo, Rosihan Anwar, Ibrahim Kadir, Huib van den Hoek, Roy Karyadi, Johan Moosdijk, Fritz G Schadt, Robert Syarif, Rita Zahara

Tjoet Nja’ Dhien merupakan film yang merepresentasikan kepemimpinan perempuan pada masa kolonial Belanda. Ia dan suaminya, Teuku Umar, merupakan pejuang Aceh yang turut berjuang melawan penjajah. Mereka dikaruniai anak bernama Cut Gambang, yang tumbuh sebagai perempuan kuat dan berani bertempur di medan perang seperti Ibunya. Penggambaran perempuan tak lagi pada ranah domestik, tetapi sebagai subyek cerita. Ia adalah tonggak penting perjuangan yang akan membawa sebuah perubahan.

Tjoet Nja’ Dhien mengadopsi sisi-sisi maskulinitas dan femininitas secara dinamis. Ia digambarkan sebagai seorang Ibu yang menyayangi keluarga, sekaligus pemimpin rakyatnya yang aktif dan dominan pada masa itu. Melalui kisahnya, Tjoet Nja’ Dhien menunjukkan perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang berwibawa, mengatur strategi perang, dan berpolitik.

Pada akhir cerita, kita dapat merefleksikan bahwa sebuah gerakan memerlukan seorang pemimpin yang mampu mengorganisir massa. Solidaritas melalui film ini dibangun lewat interaksi dari rakyat dan pemimpin yang telah meleburkan kelas sosial itu sendiri. Tjoet Nja’ Dhien hingga akhir hayatnya memperjuangkan kepentingan masyarakat Aceh untuk mendapatkan kemerdekaan.

DESEMBER_FILM_2

2. Rini Tomboy (1991)

| Durasi : 99 menit | Produser : Megawati Santoso | Sutradara : Noto Bagaskoro | Penulis : Jujur Prananto, Yohan Kalayan | Pemeran : Tio Pakusadewo, Cornelia Agatha, Adjie Massaid, Nunu Datau

Rini adalah remaja SMA 2000 yang keluar dari sekat sosial tentang identitas perempuan dan kelas menengah atas. Berlatar kota Jakarta dengan segala merk fashion luar negeri sebagai simbol pembangunan dan kemajuan, disitulah Rini tinggal. Ia pintar berkelahi dan tak takut dengan preman dan remaja berandalan. Ia berpenampilan tomboy, dengan rambut ala Demi Moore di film The Ghost, gemar menggunakan jaket kulit hitam dan kaos polos super longgar. Ia juga remaja kelas menengah atas, namun memilih untuk bersepeda atau menggunakan motor untuk beraktivitas sehari-hari.

Rini peduli dan kritis terhadap situasi yang terjadi di lingkungan kelas bawah. Rini memiliki adik asuh pedagang asongan. Adegan perbincangan Rini dengan ayahnya adalah cuplikan kritik halus terhadap Orde Baru saat itu. Ayahnya bilang bahwa generasi sekarang adalah generasi dengan sendok emas di mulutnya: generasi sehat, penuh gizi, penuh fasilitas. Rini pun membalas bahwa persoalan sosial terjadi karena kesalahan generasi yang bukan sendok emas.

Rini bersama tiga teman sekolahnya harus berhadapan dengan Samil dan teman-temannya dari SMA 2001. Samil dan teman-temannya menunjukkan sifat kelompok remaja laki-laki yang menunjukkan sisi maskulinitas dengan gaya yang sok berkuasa dan gampang meremehkan. Rini tidak gentar dengan itu sehingga membuat Rini mengalami berbagai intimidasi dari Samil dan teman-temannya dan ia dicap sebagai perempuan lesbi.

Samil dan teman-temannya melakukan pembalasan terhadap Rini dengan menyewa preman dan senjata tajam. Rini sempat dibantu adik-adik pedagang asongan saat kewalahan menghadapi mereka. Rini sempat tak sadarkan diri karena pukulan keras dan mengalami percobaan perkosaan oleh preman. Di akhir film, kita dapat memahami persoalan remaja yang tak luput dari persoalan keluarga. Samil yang selama ini suka berkelahi dan kasar tak pernah bisa berbicara langsung pada ayahnya yang tak pernah mau mendengarkan Samil dan kerap memukul ibunya. Samil hampir saja melakukan bunuh diri. Dan Rini membantu Samil untuk menghentikan upaya tersebut.

DESEMBER_FILM_3

3. Marsinah (2000)

| Durasi : 112 menit | Produser : Damsyik Syamsul Bachri, Gusti Randa, Emirsyah | Sutradara : Slamet Rahardjo | Penulis : Eros Djarot, Karsono Hadi, Agung Bawantara, Tri Rahardjo, Slamet Rahardjo | Pemeran : Megarita, Dyah Arum, Tosan Wiryawan, Intarti, Liem Ardianto Lesmana, Djoko Ali | Tanggal edar : Kamis, 18 April 2002

“Marsinah siapa yang punya… Marsinah siapa yang punya… Yang punya kita semua!” Kalimat ini menjadi pembuka film. Sebuah sorak sorai solildaritas para buruh yang memenuhi jalan menuntut keadilan terhadap Marsinah, buruh PT Catur Putera Surya (CPS) Porong Sidoarjo, yang ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 dengan tulang selangkangan dan vagina yang hancur. Marsinah aktif menuntut kenaikan upah buruh, termasuk juga cuti haid, cuti hamil dan upah lembur. Marsinah merencanakan dan ikut aksi pada 3 dan 4 Mei. Lalu, pada 5 Mei, belasan buruh, tanpa Marsinah, dibawa ke markas Kodim dan diminta mengundurkan diri dari PT CPS karena telah mengadakan rapat gelap dan bertindak seperti PKI.

Mutiari, kepala personalia PT CPS didesas-desuskan sebagai pembunuh Marsinah. Para preman membawanya serta pihak manajemen PT CPS dan Yudi Susanto, Direktur PT CPS ke markas Kodim. Mutiari satu-satunya perempuan. Selama 19 hari Mutiari mendengar dan menyaksikan penyiksaan yang terjadi pada rekannya. Ia dipaksa mengakui sebagai salah satu yang merencanakan pembunuhan Marsinah. Ia diancam ditelanjangi dan diperkosa. Mutiari pun keguguran bayi yang saat itu dikandungnya. Rekan-rekan Mutiari yang sudah disiksa dengan tidak manusiawi akhirnya mengakui bahwa mereka yang merencanakan pembunuhan Marsinah. Sementara itu, suami Mutiari terus mencari istrinya yang hilang lewat siaran tivi.

Mutiari yang dijanjikan akan dipulangkan ke rumah, malah ditahan di kantor polisi. Suami Mutiari akhirnya bertemu dengan Mutiari dan menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk ajukan pra-peradilan. Tiba-tiba Mutiari malah dinaikkan statusnya dari saksi menjadi tersangka. Ia pun divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Surabaya karena seluruh saksi, yang sudah mengalami penyiksaan berat, menyatakan Mutiari tahu tentang rencana pembunuhan Marsinah.

Meski Orde Baru berkuasa, pers tidak tinggal diam. Pers mewawancarai para saksi dengan sembunyi-sembunyi. Lalu memberitakan bahwa pembunuhan Marsinah bukanlah peristiwa kriminalitas. Pers mengungkap bahwa saksi yang mengaku tahu rencana pembunuhan Marsinah sudah ada dibawah tekanan dan penyiksaan.

Namun, pengadilan tetap memvonis Yudi Susanto dengan 17 tahun penjara, Mutiari 7 bulan penjara dan staf PT CPS lainnya antara 4 hingga 12 tahun. Mereka pun naik banding. Yudi Susanto dibebaskan di Pengadian Tinggi Surabaya dan sembilan terdakwa lain dibebaskan lewat putusan Mahkamah Agung. Di ujung film, Marsini, adik Marsinah, bergumam sendirian sambil memegang poster kakaknya. “Jika para terdakwa itu dibebaskan, lalu siapa sebenarnya pembunuh Marsinah?”

DESEMBER_FILM_4

4. Ca Bau Kan (2001)

| Durasi : 120 Menit | Produser: Nia Dinata | Sutradara: Nia Dinata | Penulis: (Novel) Remy Sylado, (Skenario) Nia Dinata, Puguh P.S Admaja | Pemeran: Ferry Salim, Lola Amaria, Niniek L. Karim, Irgi A. Fahrezi, Alex Komang, Robby Tumewu, Tutie Kirana, Henki Solaiman, Alvin Adam, Maria Oentoe.

Ca-bau-kan adalah film drama romantis Indonesia yang diangkat dari novel Ca-Bau-Kan : Hanya Sebuah Dosa karya Remy Sylado. Film ini mengangkat budaya Tionghoa Peranakan di Hindia Belanda dan Indonesia, dengan latar cerita yang mencakup zaman kolonial Belanda pada 1930-an, pendudukan Jepang pada 1940-an, hingga pasca-kemerdekaan tahun 1960. Ca-bau-kan merupakan Bahasa Hokkian yang berarti “perempuan”, yang diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa pada zaman kolonial.

Pada zaman kolonial Hindia Belanda, banyak Ca-bau-kan yang sebelumnya bekerja sebagai wanita penghibur sebelum diambil sebagai selir oleh orang Tionghoa. Film Ca-bau-kan dianggap cukup kontroversial saat pertama kali dirilis. Selain karena dibuat sutradara perempuan yang masih jarang di perfilman Indonesia pada masa itu, ia juga hadir sebagai film Indonesia pertama yang menggunakan judul bahasa asing (Hokkian) yang tidak akan diperbolehkan pada era Orde Baru.

Film ini menggambarkan kerentanan perempuan bernama Tinung. Statusnya sebagai janda menjadikannya diasingkan keluarganya sendiri. Tidak hanya mengalami kekerasan dari keluarganya sendiri, setelah masuk ke dunia prostitusi dan menjadi simpanan salah satu lelaki Tionghoa pun ia kembali mengalami kekerasan hingga ia melarikan diri. Posisinya sebagai simpanan pun membuat statusnya rentan mengalami kekerasan dan tidak memiliki posisi tawar. Keseluruhan status yang dimiliki Tinung sebagai perempuan membuatnya mengalami banyak kesulitan bahkan untuk sekadar mencari nafkah.

DESEMBER_FILM_5

5. Perempuan Punya Cerita (2007)

| Durasi : 105 Menit | Produser: Nia Dinata | Sutradara: Upi Avianto, Nia Dinata, Fatimah Rony, Lasja Fauzia Susatyo | Penulis: Melissa Karim, Vivian Idris| Pemeran: Fauzi Baadila, Susan Bachtiar, Kirana Larasati, Arswendi Nasution, Ade Firza Paloh, Rieke Diah Pitaloka, Rachel Maryam, Sarah Sechan, Shanty, Tarzan, Winky Wiryawan.

Film Antologi ini mengisahkan cerita hidup empat perempuan yang berjuang dengan permasalahan masing-masing.

Cerita pertama, Cerita Pulau, tentang Bidan Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka) yang menderita kanker dan dituduh melakukan aborsi ilegal oleh masyarakat pulau tempatnya mengabdi saat ia membantu seorang anak perempuan dengan disabilitas intelektual yang hamil akibat perkosaan.

Cerita kedua, Cerita Yogyakarta, tentang perilaku seks pelajar. Seorang wartawan bernama Jay Anwar (Fauzi Baadilla), digambarkan “berpartisipasi” ke dalam pergaulan mereka, termasuk “melayani” Safina (Kirana Larasati), salah satu nara sumber yang mencintainya. Video hasil “liputan” wartawan tersebut akhirnya tersebar ke media massa dan membuat Kirana mendapat stigma karena kemunculannya dalam video tersebut.

Cerita ketiga, Cerita Cibinong, tentang Esi (Shanty), petugas kebersihan sebuah klab dangdut yang nyaris putus asa ketika memergoki suaminya melecehkan anaknya. Ia pergi dan ditampung primadona klab dangdut itu, Cicih (Sarah Sechan) dan membawa Maesaroh ikut serta. Esi akhirnya berhasil menemukan Cicih di Jakarta setelah membawa Maesaroh pergi, tapi tak bisa menyelamatkan Maesaroh yang ternyata dinikahkan paksa dengan seorang pria Taiwan.

Cerita keempat, Cerita Jakarta, tentang Laksmi (Susan Bachtiar) yang tertular HIV-AIDS dari almarhum suaminya yang pecandu narkoba. Ia harus lari dari rumah bersama putrinya, karena keluarga suaminya yang “terhormat” menyalahkan dirinya, hingga akhirnya ia “merelakan” putrinya itu diambil keluarga besar suaminya.

Keseluruhan kisah itu menggambarkan kerentanan perempuan atas keputusan yang diambil perempuan untuk tubuhnya sendiri. Bagaimana masyarakat bisa memberikan stigma dan diskriminasi atas pilihan ataupun konteks seksualitas dan reproduksi seorang perempuan. Film ini menggambarkan betapa masyarakat mudah menghakimi perempuan karena kehidupan seksualitasnya, tanpa berusaha membantu atau bahkan sekadar memahami situasinya yang seringkali begitu kompleks.

DESEMBER_FILM_6

6. May (2008)

| Durasi : 110 Menit | Produser: Heru Winanto, Lukas E. Kariko | Sutradara: Viva Westi | Penulis: Dirmawan Hatta | Pemeran: Jenny Chang, Yama Carlos, Tutie Kirana, Lukman Sardi, Jajang C Noer, Niniek L. Karim, Ria Irawan, Tio Pakusadewo, Verdi Solaiman.

Dibuat 10 tahun setelah masa reformasi, film May menceritakan tentang gadis keturunan Tionghoa yang diperkosa sekelompok orang tak dikenal pada masa kerusuhan Mei 98. Kondisi pada saat itu tidak kondusif karena krisis moneter dan ricuh pergantian pemimpin menyebabkan terjadinya pembakaran, pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan yang khususnya dialami oleh keturunan Tionghoa, membuat May terpisah dari Ibunya yang harus mengungsi ke Malaysia.

May digambarkan sebagai sosok yang kuat, mempunyai otoritas pada tubuhnya sendiri, dan mampu membuat keputusannya sendiri. Ia berhasil keluar dari penderitaan yang disebabkan sistem pemerintahan yang saat itu tidak mampu mengakomodir perlindungan pada seluruh warga negara.

Film ini juga menguak sisi kelam bangsa bahwa dalam tentang tragedi yang berdampak serius pada korban. Kekerasan dan diskriminasi berlapis yang dialami May tidak hanya fiksi dan rekayasa belaka, namun kenyataannya ada di tengah-tengah masyarakat. Kondisi May melalui film ini dengan perlahan diceritakan bagaimana lakon/peran manusia dengan segala identitasnya mempunyai kepentingannya masing-masing seperti membutuhkan keamanan, kenyamanan, kehidupan yang layak, kondisi ekonomi dan sosial yang baik.

Melalui film ini kita diajak untuk merasakan sebagai suatu individu dengan berbagai identitas dari masyarakat yang dilekatkan pada dirinya. Dan bagaimana identitas tersebut berkontribusi pada kehidupan seseorang.

DESEMBER_FILM_7

7. Minggu Pagi di Victoria Park (2010)

| Durasi : 101 Menit | Produser: Sabrang Mowo Damar Panuluh, Dewi Umaya Rachman | Sutradara: Lola Amaria, Titien Wattimena | Penulis: Titien Wattimena | Pemeran: Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Alamsyah, Donny Damara, Imelda Soraya, Ella Hamid, Fitri Bagus, Bob Singh, Aline Jusria, Permatasari Harapan.

Sebagai sutradara sekaligus pemain, Lola Amaria menyuguhkan cerita mengenai realitas kehidupan “pahlawan devisa” yang bekerja di Hongkong. Lola Amaria memerankan tokoh Mayang yang diminta oleh keluarganya pergi ke Hongkong menjadi TKI dan mencari adiknya, Sekar, yang tidak ada kabar selama 2 tahun.

Film ini menggambarkan kehidupan keluarga kelas bawah yang bertahan hidup dengan mencari pekerjaan di luar negeri. Jaminan pekerjaan yang layak menjadi pergulatan ketika kemampuan dan pengetahuan juga masih sangat minim. Sekar, adik dari Mayang dikisahkan menjadi pekerja seks di luar negeri akibat konflik yang dialaminya. Hal tersebut membuatnya hilang tanpa kabar karena malu kepada keluarganya.

Minggu Pagi di Victoria Park dipilih menjadi judul karena dengan jelas menggambarkan kondisi kehidupan Tenaga Kerja Indonesia yang banyak meluangkan waktu untuk berkumpul dan berkomunitas dengan sesama.

Gambaran para TKI melalui film ini menunjukkan keseharian mereka : bekerja dan pada hari libur berkumpul dan mengorganisir diri. Mereka bahkan mempunyai komunitas untuk membangun ruang berbagi, belajar, dan berorganisasi. Solidaritas antar satu dan lain sangat terasa. Ketika Mayang mencari Sekar, ia tak mengalami kesulitan. Kita juga bisa melihat kekayaan film ini melalui ragam bahasa yang digunakan; bahasa Inggris, Cina, Jawa-Indonesia.

DESEMBER_FILM_8

8. Kisah Tiga Titik (2013)

| Durasi : 104 Menit | Produser: Lola Amaria | Sutradara: Bobby Prabowo | Penulis: Charmantha Adjie | Pemeran: Lola Amaria, Ririn Ekawati, Maryam Supraba, Donny Alamsyah, Gary Iskak, Rangga Widjanarko, Lukman Sardi, Otig Pakis.

Kisah Tiga Titik menceritakan tiga orang perempuan yang memiliki kesamaan nama yaitu Titik. Dengan latar belakang berbeda baik dari status sosial, kelas, dan identitas. Ada yang menggambarkan Titik sebagai perawan tua yang kaya raya, Titik sebagai janda yang miskin, dan Titik sebagai perempuan tomboy yang berani dan lantang. Pada alur cerita, perempuan dalam cerita ini kemudian dipertemukan dalam lingkup isu yang saling beririsan, yaitu mengenai kondisi buruh yang selama ini luput dari perhatian pemerintah.

Bila kita menyaksikan film tersebut, bukan tak mungkin ide cerita sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari para buruh perempuan. Mengangkat aktivitas sehari-hari dari bangun tidur hingga bekerja, serta konflik-konflik yang dialami merupakan kondisi riil. Kerentanan perempuan dalam industri pekerjaan membuat mereka membangun kolektif untuk mengubah keadaan dari lingkungan pekerjaan hingga tataran perusahaan. Film ini menceritakan kritik pada pemerintah yang belum memenuhi hak pekerja perempuan dan bagaimana sistem perusahaan yang menutup mata pada kondisi buruh perempuan yang membutuhkan jaminan keamanan dari pelecehan seksual, cuti melahirkan dan menstruasi serta upah kerja yang layak.\

Tabumania, kedelapan film diatas memotret realitas individu dan kelompok yang berada pada struktur penindasan yang berlapis-lapis di berbagai sistem sosial-politik sebelum dan setelah Indonesia merdeka. Kesadaran akan penindasan tersebut mendorong yang lain bergerak dan saling membantu untuk mempertanyakan dan mendobrak struktur tersebut. Jalan menuju keadilan memang masih panjang, namun kita harus terus bersuara untuk memperjuangkannya. Dan Tabumania, interseksionalitas menjadi sudut pandang kita menuju kesadaran bergerak itu.

DESEMBER_FILM_9

About Ino Shean

Ino Shean, bukan nama yang sebenarnya. Menurut weton terlahir sebagai orang yang ambisius, urakan tapi mempesona dan penuh kasih sayang. Aktif dalam gerakan, komunitas dan organisasi di isu seksualitas sejak usia 18 tahun. Suka membaca novel, olahraga dan masih bercita-cita menjadi vegetarian. Pecinta film Marvel and DC! Dapat dihubungi lewat IG @ino_shean

0 comments on “Interseksionalitas dalam Sinema Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: