Tabumania, pernah nggak sih dengar istilah gerakan sosial? Dan bertanya-tanya apa sebenarnya gerakan sosial itu?
Nah, gerakan sosial sebenarnya mempunyai arti sebuah tindakan kolektif yang terorganisir dan dilakukan bersama-sama dengan tujuan perubahan yang lebih baik. Hal tersebut merespon ketidakpuasan atau ketidakadilan masyarakat terhadap sebuah sistem sosial yang melingkupinya, baik dalam skala kecil maupun global.
Seperti apa contohnya?
Hematnya, kita bisa lihat dari gerakan buruh. Kelompok buruh bergerak, mengorganisir massa, dan melakukan aksi di ruas-ruas jalan kota besar. Misalnya, tuntutan hak maternitas, seperti cuti haid, cuti melahirkan selama 14 minggu, lingkungan kerja aman dari kekerasan seksual, dan hak berserikat untuk buruh perempuan. Selain itu, kelompok buruh juga memperjuangkan jam dan upah kerja yang layak. Kenapa sih mereka harus melakukan itu? Oh, ternyata, selama ini ada sistem yang tidak adil pada buruh seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Menurut temuan LBH Jakarta, beberapa hal yang menyebabkan aturan ini dianggap tidak adil, seperti:
1. Serikat pekerja tidak dilibatkan dalam kenaikan upah minimum.
2. Upah minimum di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara
3. Aturan ini didalangi “pengusaha hitam” serakah dan rakus karena kenaikan upah dibatasi oleh inflansi dan pertumbuhan ekonomi, yang bisa dipastikan nilainya sangat kecil.
4. Formula kenaikan upah minimum dalam aturan ini bertentangan dengan konstitusi.
Nah, para buruh yang menyadari hak-haknya tidak terpenuhi melakukan unjuk rasa perubahan hidup yang lebih baik. Hal serupa terjadi pada aksi petani Kendeng yang turut menghadirkan massa untuk menolak dibangunnya pabrik semen di wilayah Rembang, Jawa Tengah. Para petani menolak pendirian pabrik semen karena berpotensi merusak kehidupan bercocok tanam, memproduksi pangan, dan merawat hasil bumi. Para Petani Kendeng dan aktivis penolak pendirian pabrik semen setidaknya juga melakukan aksi penolakan sebanyak dua kali di Jakarta. Para buruh dan petani sama-sama melakukan pengorganisasian lewat mobilisasi massa.
Tabumania, di era teknologi informasi yang makin berkembang, gerakan sosial bisa dilakukan juga melalui media sosial, diantaranya lewat hashtag atau tagar dan petisi online. Media sosial punya keunggulan menjangkau massa lebih global. Misalnya, kasus Prita Mulyasari pada 2008. Prita mengungkapkan ketidakpuasaannya terhadap layanan Rumah Sakit OMNI Internasional melalui pesan elektronik. Pesan elektronik tersebut tersebar dan buntutnya Prita justru dikenai pidana pencemaran nama baik dan denda sebesar Rp 204 juta. Publik bereaksi dengan membuat petisi dan Koin Keadilan untuk Prita yang disebarkan melalui media sosial. Petisi berhasil dan koin terkumpul sebanyak Rp 825 juta.
Dari contoh gerakan sosial di atas, setiap elemen masyarakat bisa berpartisipasi untuk wujudkan perubahan. Dalam aksi buruh dan petani Kendeng misalnya, turut bersolidaritas gerakan sosial lain, mulai dari kelompok perempuan, nelayan, anak muda, dan tak ketinggalan kelompok LGBT. Solidaritas gerakan lain ini bisa dilihat pada aksi-aksi massa dengan turut berorasi, membawa poster tuntutan, mengikuti rapat persiapan, hingga mempersiapkan peralatan dan konsumsi.
Solidaritas lahir karena adanya perasaan kesetiakawanan dan sepenanggungan akibat perlakuan tidak adil yang dialami individu maupun kolektif. Misalnya; peminggiran karena identitas gender atau identitas seksual, kasus pelecehan seksual yang marak, kerja lembur tidak dibayar, hingga tidak terpenuhinya hak atas rumah yang layak. Semangat yang menyatukan ialah bagaimana hak asasi manusia yang universal, setara, dan non diskriminatif dibangun dan ditegakkan, tanpa melihat asal dan golongan tertentu.
Sayangnya, gerakan sosial berhadapan dengan kondisi elit penguasa yang membungkam isu seksualitas. Tabumania bisa ingat bagaimana pemerintah Indonesia di tahun 2016 mengecek berbagai ‘aliran dana LGBT’, baik di institusi pemerintahan maupun organisasi non-profit. Belum lagi kata ‘seksual atau seksualitas’ yang selalu ditolak habis-habisan, mulai dari pernyataan pemerintah Indonesia di forum internasional tentang hak seksual di PBB hingga penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap materi pendidikan kesehatan reproduksi pada 2015. Belum lagi kepanikan moral tentang gugatan uji materi KUHP yang meminta agar hubungan seksual diluar perkawinan dikriminalkan, termasuk juga hubungan sejenis.
Ketika segala isu seksualitas selalu dipelintir dan disetir berujung pada ‘propaganda LGBT’, maka tak heran jika individu maupun organisasi LGBT terampas hak untuk berorganisasi dan berpendapat. Lebih dari itu, saat di berbagai sudut jalan perumahan mulai dipasang spanduk penolakan kepada warganya yang LGBT, hak-hak dasar pun dihilangkan. Mulai dari pengusiran dari tempat tinggal, ketakutan beraktifitas di sekolah, di tempat kerja, bahkan di dalam organisasi itu sendiri.
Selain itu, beberapa gerakan sosial lain juga masih didominasi oleh politik laki-laki cis. Itu kenapa kelompok perempuan turut memperjuangkan akses bagi kepemimpinan perempuan di dalam gerakan lingkungan dan masyarakat adat. Maka hadirlah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang tak hanya fokus pada kerusakan lingkungan yang dihasilkan perusahaan tambang, tapi juga tentang hilangnya sumber kehidupan yang berdampak pada perempuan. Begitu pun dengan Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang terbentuk untuk membongkar struktur tatanan adat yang tak jarang membisukan suara perempuan.
Meski tak mudah dalam merespon isu seksualitas, tentu selalu ada jalan. Saat seksualitas LGBT jadi sorotan media, tepat di bulan Juni 2016, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) justru dengan mantap mengedarkan Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT agar diskriminasi dan ketidakadilan terhadap LGBT dihentikan. Ada 14 poin positif dari surat pernyataan tersebut yang Tabumania bisa klik lewat tautan ini: http://pgi.or.id/wp-content/uploads/2016/06/Pernyataan-Sikap-PGI-tentang-LGBT.pdf. Keberhasilan lainnya ialah gugatan batas usia perkawinan anak perempuan dalam UU Perkawinan dikabulkan oleh MK pada bulan ini. Proses panjang gugatan ini tidak lepas dari keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam menolak perkawinan anak.
Ruang-ruang informal yang mempertemukan para kelompok lintas isu, misalnya isu perempuan, buruh, tani, minoritas agama, anak muda, LGBT, masyarakat adat, isu kesehatan, lingkungan, dsb, sebenarnya ajang penting yang kadang dilupakan atau tidak terdokumentasikan. Padahal ruang tersebut seharusnya diperbanyak karena dari sinilah ilmu berkembang dan solidaritas lahir. Pertemuan ini juga untuk kembali mengingatkan agar terus bergandengan tangan dan tidak tenggelam di zona nyamannya masing-masing.
Perubahan sosial tidak bisa dicapai oleh satu kelompok saja. Jadikan dirimu bagian yang turut terjun dalam gerakan sosial demi kehidupan yang lebih baik ya, Tabumania!
0 comments on “Seksualitas dan Gerakan Sosial, Apa Kabar?”