Buka Layar

Narasi Orang Muda Tentang Perdamaian

Judul Buku: Antologi Kisah Orang Muda untuk Perdamaian.

Tebal Hlm: 156

Cetakan pertama: April, 2017

Penerbit:Wahid Foundation

 

Tabumania, tahukah kamu jika jumlah anak muda di Indonesia itu cukup besar? Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional pada 2016, jumlah penduduk remaja berusia 10-24 tahun berjumlah 66,3 juta jiwa. Dengan angka yang cukup mendominasi dari total jumlah kependudukan di Indonesia, wajar bila anak muda disebut-sebut sebagai penggerak bangsa. Anak muda dirasa memiliki peranan penting dalam mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang mengusung semboyan bangsa yaitu Bhineka Tunggal Ika.

Tabumania, meskipun Indonesia merupakan negara dengan demografis yang sangat beragam, indah dengan kekayaan alam, suku bangsa dan berbahasa, namun intoleransi masih menjadi senjata yang digunakan memecah belah rasa persaudaraan dan perdamaian.

Berangkat dari permasalahan tersebut, ada beberapa program kegiatan yang ditujukan untuk menggerakkan anak muda sebagai agen penjaga perdamaian, salah satunya kegiatan yang bernama respect and dialogue (READY) yang diinisiasi lima organisasi yang fokus pada plurasim dan human rights. READY dilakukan selama 30 bulan yaitu mulai akhir 2014 hingga pertengahan 2017 dengan melibatkan kalangan minoritas, kelompok moderat dari pesantren, tokoh agama, pemimpin agama serta pembuat kebijakan.

Besarnya antusias anak muda dalam kegiatan READY, maka pada 2017 lalu disepakati untuk menerbitkan buku berjudul “Antologi Kisah Orang Muda untuk Perdamaian”. Sebuah buku yang berisi kumpulan hasil testimoni 12 teman-teman muda yang mengikuti kegiatan READY.

Teman-teman muda ini berangkat dari berbagai latar belakang dan pandangan terhadap bagaimana menjaga keragaman agar tetap terjaga di bumi pertiwi. Kisah yang diangkat pun bermacam-macam ; berupa pandangan pribadi, sharing pengalaman, dan bagaimana menggambarkan interaksi yang selama ini lekat dengan kehidupan sehari-hari. Cerita yang terangkum juga menyajikan penggunaan bahasa sederhana yang mudah dimengerti dan dikemas dengan warna yang sangat “anak mudah banget”.

Dari ke 12 cerita yang ada, ada benang merah yang menjadi penghubung dari satu cerita ke cerita lainnya, yaitu bagaimana sebagai manusia yang beragama sama-sama mengajarkan cinta kasih dan tidak menggunakan agama untuk saling membenci. Ya, agama memang menjadi cerita inti dari buku ini. Selama ini kita juga mengetahui/bahkan mendengar langsung bagaimana agama kadang dipolitisasi dan digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang kurang baik oleh orang/kelompok lain, misalnya dipakai untuk melarang orang lain beda keyakinan untuk beribadah dan bahkan mengatur cara orang berpakaian.

Nah, dengan situasi itu, anak muda diharapkan punya andil dalam merawat dan menjaga perdamaian nih. Lalu, kira-kira seperti apa ya isi dari buku yang akan Qbukatabu ulas kali ini? Kuy, kita simak!

 Hak warga negara dalam mendapatkan KTP

Ada beberapa teman muda yang menceritakan bagaimana kelompok minoritas di Indonesia masih kesulitan dalam mendapatkan KTP, walau dalam UU sudah jelas KTP merupakan hak setiap warga negara. Nah, dalam cerita ini ada biasanya kelompok yang sulit mendapatkan akses adalah kelompok Ahmadiyah di Kampung Manislor dan penganut kepercayaan.

Ada kisah yang menarik dari salah satu penulis muda bernama Ahmad Hadid yang merasa pada saat itu tidak bisa berbuat banyak untuk membantu situasi tersebut. Lantas karena kegundahannya ia kemudian merancang sebuah game berbasiskan Android. Game tersebut rencana awalnya memang untuk menyebarkan nilai-nilai keberagaman dan HAM dengan permainan teka teki silang.

Beda lagi cerita dari penulis lain bernama Aulia Fauziah, tinggal di antara penduduk yang rata-rata Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Aulia sudah mulai memperjuangkan bagaimana agar semua orang tanpa terkecuali bisa mendapatkan E-KTP. Aulia bahkan mulai dengan mengumpulkan data/bukti yang bisa menjadi pendukung advokasinya kelak. Ya! Hingga saat ini JAI memang masih mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan E-KTP, oleh karenanya peran anak muda seperti Aulia masih sangat dibutuhkan perannya.

 Menghormati dan berteman pada yang berbeda

Dalam tulisan ini, para penulis juga menceritakan bagaimana pengalaman mereka ketika berproses dan mulai membuka ruang pertemanan untuk orang lain yang berbeda aliran/agama. Hal yang sebenarnya nampak sepele, tetapi sebenarnya tidak. Di beberapa kisah dalam buku ini, ada sebuah pengalaman bagaimana seseorang yang sejak kecil tumbuh sebagai agama mayoritas namun dengan aliran yang berbeda, ia menceritakan pergulatannya bahkan ketika akhirnya ia memilih sekolah di tempat yang mayoritas beragama kristen/katolik.

Misalnya kisah dari salah satu penulis buku ini yang bernama Sida Siddikah. Ia adalah seorang pemeluk muslim Ahmadi, tentu tidak mudah proses yang dijalaninya sejak kecil hingga dewasa, apalagi ia sempat menyaksikan bagaimana tempat beribadahnya dulu dirusak orang lain. Dengan pengalaman yang kelam, Sida dewasa justru mendaftar di sekolah BPK Penabur di Sukabumi. Walau sempat cemas dan takut, dari proses tersebut Sida justru mendapatkan pengalaman lain yang tak terlupakan, katanya “Ternyata mereka beda. Ternyata mereka mau support.”

Kisah lainnya datang dari penulis bernama Ola. Ola bercerita, awalnya ia orang yang aktif di pengajian majelis. Selama setahun aktif, Ola pun mulai mengubah penampilannya, jadi lebih tertutup, dan menjauhi teman-temannya. Sampai akhirnya, karena rasa keingintahuan yang tinggi, Ola sampai pada langkah yang kini menuntunnya pada pemikiran yang lebih kritis. Ola mulai belajar, membuka diri, dan mempertanyakan setiap nilai yang kini ia pelajari. Bahkan, ia mulai memiliki banyak teman non muslim dan bahkan tak sungkan untuk masuk tempat ibadah lain. Karena baginya hal tersebut tidak menyalahi akidah dan yang penting kewajiban sebagai umat muslim tetap dijalankannya.

Tabumania, tidak semua anak muda punya keberanian untuk keluar dari zona nyamannya, apalagi sampai berani untuk bercerita dan mengungkapkan pendapatnya. Oleh karena itu, buku-buku semacam ini, perlu diperbanyak lagi agar dapat menginspirasi anak-anak muda lainnya untuk terus menyuarakan perdamaian dengan berbagai cara. Salah satunya, dengan tulisan.

Sebagai anak muda, baik generasi milenial atau generasi Z, kita juga harus aktif dan berpartisipasi dalam berbagai program kegiatan yang ada, baik yang disediakan oleh NGO, pemerintah, komunitas kampus, dan lainnya. Karena melalui forum tersebut, ruang diskusi tercipta, dan kita bisa menyampaikan aspirasi sebagai anak muda yang punya peran penting dalam merawat dan menjaga perdamaian.

 

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Narasi Orang Muda Tentang Perdamaian

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: