Tabumania, salah satu bentuk kemerdekaan yang sering didengungkan adalah kebebasan mengeluarkan pendapat. Media massa atau pers sering dikatakan sebagai The Four Estate atau Pilar Kekuasaan Keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Media berfungsi menyediakan ruang publik dan semua pihak berkesempatan menyuarakan aspirasinya serta menjadikan media sebagai sumber informasi. Media bisa menjadi jembatan penghubung dan mampu memberikan ruang atau tempat untuk bicara bagi semua masyarakat dengan berbagai latar belakang.
Namun sayangnya, demi alasan click-bait, peningkatan oplah dan rating, fungsi media diabaikan. Judul berita ditampilkan menggunakan bahasa provokatif dengan mengeksploitasi seksualitas untuk menarik pembaca sehingga bisa meningkatkan jumlah klik atau pageview. Padahal, sebuah berita mengantarkan pada persepsi pembacanya. Persepsi menurut Robert A. Baron dan Paul B. Paulus (Mulyana, 2011 : 179) merupakan proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. Saat kita memilih pesan maupun mengabaikan pesan lainnya, persepsilah yang menentukannya. Latar belakang pengalaman, budaya bahkan suasana psikologis juga bisa membuat persepsi setiap orang berbeda.
Persepsi yang tidak cermat bisa menimbulkan kekeliruan yang berdampak pada kesalahan atribusi, penstereotipan, hingga diskriminasi. Atribusi, menurut Deddy Mulyana, merupakan proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab perilaku orang lain dengan menggunakan beberapa sumber informasi. Misalnya, media yang memberikan informasi tidak lengkap bisa menimbulkan kesalahan persepsi pembacanya. Salah satunya saat munculnya pemberitaan penggerebekan dan penangkapan 141 pengunjung Atlantis Gym pada 21 Mei 2017. Pemberitaan media yang ada cenderung menggunakan narasumber yang mendiskriditkan kelompok gay, termasuk menyebutkan nama lengkap pengunjung yang tertangkap. Padahal, media seharusnya bisa bertindak netral dan tidak memperkeruh suasana.
Bentuk kesalahan persepsi lainnya, yaitu munculnya penstereotipan atau pelabelan. Meminjam pendapat Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, stereotip merupakan persepsi atau kepercayaan mengenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dahulu terbentuk. Kesalahan persepsi lainnya yang sangat dekat dengan stereotip adalah prasangka atau sikap tidak adil terhadap seseorang atau suatu hal. Misalnya, tingginya pemberitaan terkait LGBT di awal tahun 2016 mendorong munculnya demonstrasi penolakan LGBT serta razia atas waria.
Dan bentuk prasangka yang paling ekstrim adalah diskriminasi. Samovar dan Porter menjelaskannya sebagai bentuk pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut seperti ras, suku, gender pekerjaan dan sebagainya. Hal ini ditunjukkan dengan masifnya pemberitaan tentang LGBT berdampak pada penutupan pondok pesantren waria di Yogyakarta, padahal sebelumnya masyarakat di sekitar pondok tidak pernah mempermasalahkannya.
Tidak sedikit media menuliskan berita yang tidak cover both side. Misalnya, Empat Modus Gerakan LGBT ‘Serang’ Indonesia(23/01/2016) dan Begini Skenario Masif LGBT Buat Indonesia Seperti Amerika (15/02/2016). Kedua berita tersebut sama-sama mengarahkan pembaca adanya “gerakan LBGT yang muncul dari asing” dan kekhawatiran terhadap dampak yang ditimbulkan. Pada berita pertama, Republika tidak menyebutkan dari mana informasi tersebut ditulis, tanpa narasumber dan hanya mengambil kutipan dari cuitan warganet di twitter dan youtube. Selanjutnya pada berita kedua, bisa dikatakan merupakan opini dari narasumber bukan berdasarkan data maupun sumber lain yang mewakili judul tersebut. Lalu, bagaimana pembaca bisa memperoleh informasi yang seimbang jika media hanya “memilihkan” informasi yang diambil dari satu sisi saja?
Tabumania, tentu saja tidak semua media massa mengambil berita dari angle (sisi) yang sama. Misalnya, pada saat ramainya pemberitaan bahwa SGRC adalah komunitas LGBT, cnnindonesia.com melakukan wawancara dengan pihak SGRC yang menginformasikan lingkup kegiatan organisasi tersebut dengan tajuk SGRC UI Tegaskan Diri Grup Konseling, Bukan Komunitas LGBT(25/01/2016). Media, melalui jurnalis mereka, memiliki kesempatan untuk memilih memberitakan suatu peristiwa dari sisi yang mana.
Apabila tidak hadir dalam bentuk berita, sebenarnya media bisa menyediakan kolom khusus yang ditulis tokoh atau narasumber yang bisa mewakili topik yang diangkat. Tantangan media saat ini dalam penulisan berita seringkali hanya mempertimbangkan kecepatan namun seringkali mengabaikan keakuratan. Tidak jarang pengambilan narasumber terkesan asal comot misalnya dari cuitan media sosial dan tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Idealnya, media memberikan porsi yang seimbang dan memberikan ruang bicara yang semestinya untuk seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Ini bertujuan untuk memberikan informasi yang lengkap dan utuh agar kesalahan persepsi di masyarakat dapat dikurangi.
Keberadaan Media Baru: Antara Penyeimbang dan Penyubur Hoax
Beruntung saat ini berkembang new media atau media baru,termasuk adanya media alternatif. Media-media ini diantaranya blog, media sosial (facebook, twitter, instagram, dll), dan qbukatabu.org ini pun termasuk bagian dari media baru yang bisa dijadikan sebagai sumber informasi mengenai seksualitas. Media baru ini hadir ketika media konvensional yang ada justu tidak melakukan fungsinya dengan baik. Ia muncul untuk memberikan narasi berbeda yang tak disuarakan oleh media konvensional – angin segar bagi keseimbangan informasi.
Meskipun demikian, hadirnya media baru ini juga bukan berarti tanpa hambatan. Ia kerap dimanfaatkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyebarkan hoax atau berita palsu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kelemahan media arus utama yang seringkali hanya condong di salah satu sisi saja membuat pembaca mencari alternatif informasi melalui media baru. Karena masih belum banyak dikenal, media-media baru ini kemudian banyak disebarluaskan melalui media sosial, chatgroup seperti WhatsApp. Inilah celah yang kemudian dimanfaatkan pihak yang kurang bertanggung jawab untuk menyebarkan berita hoax.
Hoax belakangan sering digunakan untuk menyebarkan kampanye hitam bisa berkaitan dengan politik maupun menyebarkan ideologi tertentu. Hoax memanfaatkan celah ketidaktahuan masyarakat terkait suatu isu dan memperkuat persepsi awal yang sudah terbentuk. Misalnya, sejak awal persepsi yang ada tentang LGBT adalah hal yang salah dan berdosa. Nah, persepsi yang berkembang di masyarakat inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk menyebarkan hoax. Saat tokoh tertentu menyebutkan adanya “gerakan LGBT”, maka tanpa mencari tahu kebenaran informasi tersebut, dengan mudah infomasi tersebut tersebar luas melalui media sosial. Inilah mengapa ketika hoax tersebar di media sosial akan sulit menghentikan lajunya dan bisa memicu konflik.
Di sinilah pentingnya keberadaan media-media baru yang memberikan ruang terhadap suara-suara yang kerap dipersepsikan keliru dan dijadikan bahan hoax. Salah satunya keberadaan magdalene.co yang menyuarakan isu-isu perempuan dan LGBT. Media ini menjadikan sumber artikel tidak hanya berasal dari reportase atau wawancara saja. Ada pula artikel dari kontributor lepas dan pembaca dengan berbagai latar belakang. Semakin banyak media-media seperti magdalene.co,termasuk qbukatabu.org, akan semakin mengimbangi berbagai hoax maupun berita negatif terhadap individu maupun kelompok yang selama ini diasingkan karena dianggap berbeda.
Semakin banyak tulisan yang diunggah di blog atau media sosial maupun media baru lainnya, maka semakin memperbesar kemungkinan pada saat mengetikkan kata tertentu di situs pencarian (google, bing, dll), blog atau media sosial Tabumania berada di halaman pertama. Mengapa ini penting? Ini bisa menjadi salah satu cara untuk meminimalisir berita negatif maupun hoax tentang seksualitas. Kesempatan publik untuk membuka berita atau artikel positif atau berkualitas pun terbuka lebar. Butuh proses namun bukan berarti mustahil dilakukan.
Sudah seharusnya, media bisa menjadi jembatan penghubung dan mampu memberikan ruang atau tempat untuk bicara bagi semua masyarakat dengan berbagai latar belakang. Jadi, maukah Tabumania menyebarluaskan kebaikan dengan memanfaatkan kebebasan bersuara melalui media? Menyebarluaskan kebaikan dengan menyampaikan informasi yang seimbang dan mencerdaskan, ketimbang menyulut konflik dan kebencian? (DKP)
0 comments on “Suara di Media : Sudahkah Merdeka dari Hoax dan Salah Persepsi?”