
asal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Kemudian, dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 juga menyebutkan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hanya saja, pendidikan yang dimaksud masih berkaitan dengan pendidikan formal. Sementara itu, pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi masih belum juga dimasukkan sebagai bagian dari materi pendidikan.
Pendidikan seksualitas, termasuk yang berkaitan kesehatan reproduksi, selama ini masih dianggap tabu. Tidak banyak lembaga pendidikan formal baik sekolah umum maupun sekolah berbasis agama yang memasukkannya dalam proses pendidikan yang diberikan di sekolah. Namun pengalaman berbeda ditemui tim Qbukatabu dan Talitakum saat mengunjungi Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari.
Pada 7 Agustus 2018 lalu, Qbukatabu bersama Talitakum berkesempatan bertemu dengan para santri dan para pengasuh Pondok Pesantren yang berada di Jalan Bangsri, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah ini. Kunjungan tersebut merupakan bagian dari kegiatan Qbukatabu untuk mengetahui informasi bagaimana seksualitas dan kesehatan reproduksi dibicarakan di Ponpes.
Raiz, salah satu fasilitator dari Qbukatabu menjelaskan bahwa kunjungan tersebut dibagi dalam dua pertemuan; pertemuan kelompok besar dan kelompok kecil. “Dalam kelompok besar, kami (Qbukatabu dan Talitakum) bertemu dengan para santri, para pengasuh maupun pimpinan pondok. Kami saling berkenalan dan menjelaskan kegiatan kami. Dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan para santri dan mengobrol tentang keberadaan pusat informasi dan konseling remaja (PIK-R) serta persoalan bullying.” jelasnya. Ternyata peran dari konselor sebaya di Ponpes sangatlah penting. Di setiap kelas, dengan rata-rata 30 orang santri, setidaknya ada satu orang konselor sebaya yang memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi maupun mendengarkan berbagai curhatan dari teman santrinya.
Kemudian pada pertemuan kelompok kecil dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari kelompok guru, kelompok santri putra dan kelompok santri putri. Masing-masing kelompok tersebut didamping dua hingga tiga orang fasilitator dari Qbukatabu dan Talitakum. “Setiap kelompok berdiskusi dengan fokus yang ada di kelompok masing-masing. Misalnya, saat berada di kelompok santri laki-laki, salah satunya menceritakan adanya bullying yang terjadi pada santri laki-laki yang dianggap bertingkah laku kemayu atau lembut. Kami juga mendengarkan pengalaman santri yang menjadi peer konselor (konselor sebaya-red) yang menjembatani antara santri lain dengan guru BK.” tambahnya.
Raiz juga memaparkan bahwa semangat awal Qbukatabu dan Talitakum berkunjung ke Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari untuk mengetahui informasi bagaimana seksualitas dan kesehatan reproduksi dibicarakan di pesantren. “Akhirnya dalam kunjungan tersebut kami jadi mengetahui meskipun pembicaraan tentang seksualitas belum banyak dilakukan, namun ternyata di pondok pesantren tersebut penyampaian informasi tentang kesehatan reproduksi terjadi, baik di kalangan konselor sebaya maupun beberapa guru yang menyadari pentingnya informasi ini. Padahal mereka adalah sekolah berbasis keagamaan, tetapi saat membahas kesehatan reproduksi, sudah memiliki alat peraga untuk membicarakannya.” ungkapnya.
Raiz menambahkan hal yang dilakukan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari untuk membicarakan kesehatan reproduksi tersebut dengan memberikan sesi khusus kepada para santri. “Mereka memiliki sesi khusus di luar jam sekolah untuk sharing tentang kesehatan reproduksi. Meskipun para santri ada yang masih malu-malu, biasa kan ya abege (anak baru gede-red), namun membicarakan kesehatan reproduksi bukan menjadi hal tabu lagi.” urainya.
Raiz berharap pertemuan singkat mereka dengan para santri bisa memberikan perspektif baru khususnya bagi para santri. “Setidaknya itu yang saya rasakan. Saat-saat awal mereka bertemu dengan kami, masih malu-malu dan bingung. Mungkin karena belum ngeh (tahu dan kenal-red) terutama saat bertemu dengan teman-teman trans*, tetapi lama-lama mereka jadi tahu, menerima dan tidak ragu-ragu lagi berbicara dengan kami.” katanya.
Raiz juga berharap adanya kunjungan ini bisa membuka wacana baru bagi para santri sehingga isu seksualitas bukan hal tabu. “Harapan lainnya ya semoga banyak dilakukan pondok pesantren maupun pendidikan formal lain sehingga isu seksualitas tidak tabu lagi.” ujarnya. (DKP)
0 comments on “Bicara Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Pondok Pesantren”