Buka Cerita Buka Perspektif

Merdeka itu… Lebih dari Seremoni

Hari ini, 17 Agustus 2018, Indonesia bersukacita merayakan kemerdekaannya yang ke-73. Biasanya, untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, seluruh lapisan masyarakat di penjuru negeri mengadakan berbagai lomba untuk meramaikan momen tersebut. Tabumania tentu sudah tidak asing dengan berbagai jenis lomba tujuhbelasan yang sangat akrab bagi anak-anak, remaja maupun orang dewasa, misalnya panjat pinang, makan kerupuk, menggambar, lari dan masih banyak lainnya. Hayo, siapa di antara Tabumania yang langganan juara?! Tak hanya lomba tujuhbelasan, kita tentu tahu walau tanggal 17 Agustus ditetapkan sebagai hari libur nasional, tetapi anak sekolah, pegawai negeri dan pegawai pemerintah harus tetap hadir ke sekolah atau kantor mengikuti upacara kemerdekaan. Upacara ini dimaksudkan untuk kembali mengenang jasa para pahlawan dan meneruskan semangat mereka dalam mencapai kemerdekaan.

Namun, Tabumania sadar nggak sih kalau peringatan kemerdekaan selalu identik dengan dua hal di atas? Masyarakat masih disibukkan dengan hal-hal seremonial. Belum lagi dalam penghayatan tentang makna kemerdekaan, kita masih digiring pada pemikiran bahwa negara merdeka ialah negara yang bebas dari penjajah asing, tidak ada baku tembak, penguasaan dan penaklukan wilayah serta kerja paksa. Tapi, Tabumania, apa kita sudah benar-benar merdeka?

Di 73 tahun kemerdekaan Indonesia, ternyata seksualitas warga negara masih seringkali dihakimi, direndahkan dan dijadikan bulan-bulanan untuk sensasi dan pengalihan isu, ketimbang dihormati. Masih hangat dalam ingatan mengenai berbagai kasus penggerebekan dan penangkapan sekelompok orang yang dicurigai gay di sebuah pusat kebugaran Jakarta pada Mei 2017 sertapenggerebekan sekelompok perempuan yang diduga lesbian di Medan pada Juni 2017. Penggerebekan dan pengusiran perempuan yang lagi-lagi diduga lesbian di Cigombong juga terjadi pada September 2017. Selain itu, penangkapan waria pekerja salon oleh Polres Aceh sebagai bagian dari pelaksanaan operasi pekat (penyakit masyarakat), secara nyata merendahkan martabat kemanusiaan. Polisi merasa berhasil melakukan “pembinaan” dengan memotong rambut dan melepas pakaian yang mereka kenakan agar para waria “kembali menjadi laki-laki tulen”.

Berbagai peristiwa penangkapan yang disertai dengan pengusiran yang hanya berdasarkan pada dugaan atau upaya “pembinaan” identitas gender tertentu karena dianggap sebagai penyakit masyarakat membuat kita bertanya-tanya: apakah benar kita sudah merdeka untuk berekspresi, berkumpul, bertempat tinggal, dan menjadi diri sendiri?

Dalam artikel kali ini, kita akan mengulas pendapat dari beberapa teman perempuan dan trans* tentang makna kemerdekaan bagi mereka serta bagaimana cara mereka mengisi kemerdekaan. Pendapat dari teman-teman ini dapat membantu kita untuk keluar dari makna seremonial tentang kemerdekaan dan lebih dekat memahami sekelumit potret masyarakat yang hidup dan tinggal di tanah Indonesia. Yuk, kita simak bersama apa kata mereka!

Merdeka ya? Kalau dulu pas kecil taunya kan selalu ada lomba, lomba di rumah, di sekolah, pokoknya dimana-mana lomba. Sekarang juga masih ada lomba, tapi lomba digital. Setelah dewasa memaknai kemerdekaan hampir sama dengan kebebasan, bahwa nggak ada paksaan dan bebas menentukan yang terbaik untuk diri sendiri. Aku merasa sudah mendapatkan kemerdekaan buat diriku sendiri sejak lulus SMA, ketika itu sudah boleh menentukan kuliah sesuai dengan minatku. Rasanya bahagia banget ketika boleh memilih melaksanakan apa yang aku mau karena dengan demikian aku justru semakin terpacu untuk lebih baik dan bertanggungjawab. Secara individu aku memang merasa merdeka, tetapi secara sistem sebenarnya belum. Jika berbicara secara identitas, apalagi perempuan sepertiku (biseksual) masih dianggap sebagai orang yang identitasnya nggak jelas mau kemana. Orang masih berpikir bahwa aku lebih baik baik dengan laki-laki saja walau saat ini aku memustuskan ingin bersama perempuan, secara sistem sosial aku masih belum merdeka karena masih diberikan label-label agar sesuai dengan kemauan mereka. Harapannya kemerdekaan itu seharusnya tidak diperingati pada satu hari saja, tetapi harus setiap hari agar manusia itu bisa merasakan kebebasan untuk hidupnya di setiap waktu. Mr, 32, Jakarta

Kita itu belum merdeka, kalau dibilang tembak-tembakan hanya ada pada saat penjajahan, itu masih ada teman waria yang ditembak pas lagi mangkal. Saya itu sejak kecil nggak pernah tahu yang namanya kemerdekaan, sudah di-bully sejak kecil, mau ikut lomba juga nggak bisa. Kalau buat waria itu sejak kecil sampai nanti itu rasanya nggak pernah ngerasain yang namanya merdeka. Mau cari kerja susah, mau tampil ala diri kita sendiri juga susah, cari tempat tinggal aja juga susah. Cari kontrakan di sini aja aku sudah ditolak beberapa kali karena aku waria. Aku nggak pernah ikut untuk mengisi acara lucu-lucuan di 17-an, buat apa ya kita cuma diketawain aja? Kalau memang ada teman yang memang mau ikut acara ya itu haknya dia, dia pasti sudah memikirkan segala sesuatunya. Tapi kalau buat aku pribadi, kita itu bisa lebih dari sekadar tampil lucu-lucuan, dan itulah yang harus dicapai. Aku lebih baik buat karya menjahit misalnya, nah hasil jahitanku itu bisa dipakai untuk anak-anak/ibu-ibu saat momen-momen tertentu. Jn, 38, Bogor.

Merdeka itu bebas dari rasa takut. Sebagai perempuan nggak takut keluar malam, nggak takut untuk tidak menikah, nggak punya anak, pokoknya kita punya kuasa untuk kontrol hidup kita sendiri bukan orang lain. Mengisi kemerdekaan secara individu itu banyak ya, misalnya dengan me time atau meluangkan waktu bersama dengan orang yang kita cintai. Kalau mengisi kemerdekaan sebagai warga negara bisa dengan memaksimal hak dengan menggunakan hak berpendapat, berkumpul dan berserikat serta melakukan kegiatan langsung yang berdampak pada masyarakat contohnya aktif di kegiatan sosial. Tt, 31, Jakarta.

Kalau berbicara secara umum ‘kan Indonesia sudah merdeka, tapi kenyataannya merdeka hanya milik mereka yang mempunyai kekuasaan saja. Kalau masyarakat menengah ke bawah saya rasa belum karena mereka masih nggak tahu haknya dan bagaimana mendapatkan haknya. Pemerintah masih belum memperhatikan kesejahteraan seluruh warga negaranya, masih ada gap kelas ekonomi. Akses pendidikan dan kesehatan juga tidak menyasar rata, jadi ya sebenarnya kemerdekaan masih belum dinikmati seluruh warga negara. Kalau terkait dengan identitas aku (trans*), ya jelas belum merdeka ya. Masih belum bisa memaksimalkan potensi dalam kehidupan bermasyarakat, masih takut karena tidak ada kebijakan yang melindungi. Kalau mengisi kemerdekaan ya masih dengan aktif mengikuti kegiatan sosial, entah itu pendidikan sosial, bakti sosial, ya pokoknya melaksanakan kewajiban sebagai manusia yang berakal dan berbudi. Mc, 27, Jakarta.

Buatku ketika mendengar kata merdeka secara pribadi artinya kita merdeka berekspresi atas identitas kita. Walaupun pada kenyataannya kita tau tidak semua orang menerima tetapi untuk di lingkunganku di sini kita masih diakui keberadaannya. Terbukti di level kecamatan di sini, komunitas waria dipercaya untuk ikut dalam acara lomba tingkat kecamatan, kita diberikan slot yang sama seperti warga yang lainnya, tidak dibedakan. Kita senang diberikan kesempatan untuk berkontribusi karena tidak semua komunitas bisa mendapatkan, jadi kita ingin menggunakan momentum ini agar terjalin interaksi dengan masyarakat. Kami di sini tidak menampilkan waria sebagai ajang lucu-lucuan tetapi kami juga ingin membuktikan kemampuan kami yang sama dengan lainnya, kami bahkan memilih desain kaos yang bertuliskan “justice for all” untuk membangun kesadaran pada lingkungan masyarakat. Harapannya dengan kemerdekaan ini, kita benar-benar bisa merdeka tanpa diskriminasi dan dibeda-bedakan selaku warga negara. Kita di sini tidak melakukan propaganda seperti yang ditakutkan orang pada umumnya, kita hanya ingin berdampingan dan dianggap ada. SL, Yogyakarta

Tabumania, dari pengalaman teman-teman perempuan dan trans* ini kita cukup mendapat gambaran bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu melampaui dari peringatan tujuhbelasan dan upacara. Merdeka berarti bebas dari paksaan dan rasa takut untuk menentukan yang terbaik bagi diri sendiri, tidak lagi mendapat ejekan karena identitas gendernya, menjadi bagian dari masyarakat dan bisa berkontribusi aktif di dalamnya, serta mendapatkan akses yang setara yang dilindungi oleh kebijakan, tanpa dibeda-bedakan. Prasangka, penghakiman dan perendahan martabat sebagai manusia malah menghilangkan makna kemerdekaan yang sesungguhnya.

Lalu, jika para pahlawan terus berjuang merebut kemerdekaan, maka teman-teman perempuan dan trans* berjuang atas hak-haknya sebagai warga negara setiap saat. Kehidupan sehari-hari adalah medan perjuangan untuk dapat menjadi bagian dari masyarakat. Mereka merebut kemerdekaan dengan membangun interaksi dan hidup berdampingan dengan masyarakat, berkontribusi semaksimal mungkin dalam kehidupan sosial dengan kemampuan yang dimiliki, serta berkumpul, berpendapat dan berserikat agar dapat berdampak bagi masyarakat luas.

Jadi, apa benar Indonesia sudah bergerak dari makna seremonial tentang kemerdekaan menuju makna yang lebih sejati? Bisa kita lihat tanda-tandanya dari pesta demokrasi yang semakin dekat. Apakah pesta ini bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia atau segelintir saja? Apakah setiap orang bisa menunjukkan sisi kemanusiaannya terhadap orang lain atau malah merendahkan kemanusiaan dengan menjadikan manusia yang lain sebagai bahan candaan, penghakiman demi menyelamatkan suara mayoritas pemilih? Kalau itu yang terjadi, maka tepatlah seperti yang Mbak Dian Sastro bilang dalam kutipan film Ada Apa dengan Cinta: “…yang kamu lakukan itu, jahat!”. (IS)

0 comments on “Merdeka itu… Lebih dari Seremoni

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: