Seringkali ketika kita membicarakan mengenai seksualitas orang akan langsung berpikir tentang nafsu dan hubungan seksual, seperti yang dirujuk di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Padahal, seksualitas erat kaitannya dengan sisi kemanusiaan dan mencakupbanyak aspek, sepertikarakteristik seks, identitas gender, peran gender, orientasi seksual, erotisme, keintiman, kesenangan, reproduksi, kepribadian, sikap, cinta,dan fantasi.
Karena makna yang dipersempit menjadi hubungan seksual, seksualitas dianggap sebagai ranah privat; ranah pribadi sehingga tidak perlu dibicarakan dan menjadi sesuatu yang tabu. Situasi inilah yang membatasi ruang untuk berdiskusi dan menerima hal-hal baru, berbeda maupun yang beragam. Konstruksi sosial yang dilanggengkan ini berdampak pada stigma dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok yang tidak mengikuti konstruksi tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, yang terlintas dalam benak masyarakat yakni laki-laki pasti berpenis dan perempuan pasti bervagina. Lalu, keduanya kemudian dikondisikan untuk bereproduksi agar memperoleh keturunan. Tapi benarkah gender seseorang ditentukan oleh karakter seksnya? Apakah fungsi untuk bereproduksi adalah keharusan? Disinilah pemahaman tentang hak seksual menjadi tak bisa dihindarkan lagi. Hak seksual itu mencakup hak asasi manusia. Hak yang juga melekat bagi setiap individu, sama seperti hak untuk hidup.
Berdasarkan Deklarasi Perkumpulan Keluarga Berencana Internasional (2008), hak seksual berhubungan erat dengan segala hal yang berkaitan dengan seksualitas dengan hak atas kemerdekaan, kesetaraan, privasi, otonomi dan integritas diri. Hak-hak seksual tersebut adalah:
- Hak kesetaraan, perlindungan yang sama dimuka hukum dan bebas dari semua diskriminasi
- Hak berpartisipasi bagi semua orang dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik
- Hak hidup, kebebasan, keamanan serta kebertubuhan, yakni bebas dari segala perilau yang merendahkan dan tidak manusiawi
- Hak untuk kebebasan pribadi, yakni untuk memiliki keluarga, tempat tinggal, dokumen pribadi
- Hak untuk otonomi pribadi dan pengakuan dimuka hukum
- Hak untuk kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi dan berserikat
- Hak untuk sehat dan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan
- Hak untuk pendidikan dan informasi tentang pendidikan seksual dan informasi yang komprehensif
- Hak untuk memilih ya atau tidak menikah, mencari dan merencanakan keluarga; hak untuk memutuskan ya atau tidak, bagaimana dan kapan mempunyai anak
- Hak untuk akuntabilitas dan pemulihan, yakni ketika mengalami pelanggaran terhadap hak seksualnya, seseorang bisa mengakses pemulihan yang utuh
Bila dilihat gambaran diatas, seksualitas tidak hanya tentang hubungan seksual dalam rangka mendapatkan keturunan (prokreasi), namun juga tentang integritas tubuhdan diri. Kita berhak menentukan kepada siapa kita jatuh cinta (memilih pasangan), mempunyai keturunan, dan mendapatkan informasi dan pendidikan seksualitas. Namun, dalam prakteknya, karena seksualitas dianggap tabu, maka informasi yang komprehensif menjadi terputus yang berujung pada diskriminasi dan stigma pada kelompok tertentu. Seringkali dalam kehidupan sehari-hari kita temukan perempuan dewasa yang sudah berumur empat puluh tahun memutuskan tidak menikah, maka masyarakat cenderung memberikan label sebagai perempuan pemilih sehingga tidak laku. Demikian juga label yang dialami perempuan lesbian atau teman-teman trans* yang mencintai sesamanya, baik dari kesamaan seks maupun gendernya, maka masyarakat memberikan stigma sebagai orang yang tidak bermoral.
Masyarakat yang tidak paham akan hak seksual akan mudah memberikan pelabelan negatif pada seseorang yang tidak menikah, tidak mempunyai anak, atau bahkan pada mereka yang dirasa tidak sesuai dengan konstruksi masyarakat pada umumnya. Bayangkan bila masyarakat dengan pemikiran tersebut duduk dibangku pemerintahan sebagai pembuat kebijakan? Tentunya, perlakuan yang tidak adil kepada kelompok tertentu juga akan semakin diperkuat dan dilanggengkan Negara, apalagi jika para pembuat kebijakan juga turut memberikan sanksi melalui aturan-aturan yang mengontrol seksualitas warga negaranya. Hal ini sangat jelas dalam berbagai 421 kebijakan diskriminatif yang ditemukan oleh Komnas Perempuan, yang diantara kebijakan tersebut juga menyasar pada perempuan dan yang identitas non biner. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam UU tersebut, pornografi menyebutkan persengamaan yang menyimpang sebagai salah satu konten pornografi, yang terdiri dari aktivitas seksual dengan mayat, binatang, oral seks, lesbian dan homoseksual (Penjelasan Pasal 4 ayat 1). Dalam pasal ini, jelas bahwa pemaknaan tentang seksualitas benar-benar disempitkan, merendahkan serta menyangkal hak-hak seksual yang dimiliki oleh setiap orang. Situasi ini tampak dari saat polisi melakukan pengusiran kepada 12 orang yang diduga lesbian di Jawa Barat pada 2017. Pengusiran tersebut berangkat karena adanya anggapan bahwa sesama perempuan tidak bisa tinggal bersama bila ada perempuan yang berambut pendek dan berperilaku seperti laki-laki. Karena lesbian dan homoseksual masuk sebagai persenggamaan yang menyimpang, maka polisi menjadikan ini sebagai alasan untukmelakukan penggebrekan, pengusiran, hingga penangkapan. Makna pornografi ini juga digunakan sebagai acuan bagi sensor tayangan di TV yang cenderung menyasar pada tubuh dan seksualitas perempuan. Sensor tersebut juga lahir dari pelarangan dan pembatasan seksualitas yang dikeluarkan oleh Pedoman Penyiaran Perilaku dan Standar Program Siaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012.
Meski hak seksual semakin ditabukan melalui berbagai kebijakan diskriminatif, bukan berarti tak ada ruang sama sekali di Indonesia. Dalam konteks budaya, sebetulnya penggambaran tentang kemerdekaan atas tubuh dan diri cukup lekat lewat praktik sehari-hari dan seni tradisi. Misalnya, bukti-bukti sejarah memotret perempuan-perempuan Bali yang tampil dimuka umum dengan bertelanjang dada. Selain itu, kita juga menemukan pada kesenian tradisional, yakni Reog Sunda, dimana perempuan ditampilkan secara maskulin, yakni memakai ikat kepala dan sarung yang identik dengan penampilan laki-laki. Dari pendekatan budaya inilah, pemahaman tentang seksualitas dapat terus didiskusikan dan dikembangkan untuk merubah pola pikir di masyarakat.
Hal lain yang bisa dilakukan ialah dengan terus mendukung upaya yang dilakukan berbagai pihak baik dari individu, kelompok/komunitas, organisasi dan penggerak yang mendorong masuknya pendidikan seksualitas dalam kurikulum sekolah. Hal tersebut menjadi penting karena dengan tersedianya ruang untuk mendiskusikan seksualitas sejak dini maka kita semakin bisa tumbuh dengan sehat, bahagia, percaya diri dan mampu mempunyai sikap yang toleran pada identitas yang beragam sehingga kita bisa memiliki kepekaan dan menunjukkan solidaritas pada orang lain yang haknya dilanggar.
Nah, Tabumania, memang tidak mudah dalam mewujudkan setiap impian. Kita harus melewati proses yang didalamnya berisi tantangan dan hambatan. Oleh karenanya, kita tidak bisa berjuang sendiri, kita harus mencari dukungan untuk terus bersama-sama menggalang kekuatan yang lebih besar. (IS)
0 comments on “Hak Seksual : Hak Kemerdekaan dan Integritas Diri yang Ditabukan”