Tabumania, apa yang dirasakan ketika mengingat rumah atau kampung halaman? Pada beberapa kisah, hubungan antara individu dengan kampung halamannya tidak selalu berjalan baik. Secara ideal, kampung memang dimaknai sebagai tempat kembali yang sesungguhnya karena kota, tempat seseorang mencari penghidupan, dianggap hanya tempat tinggal sementara.
Tak jarang, orang-orang yang semasa mudanya banyak menghabiskan waktu di kota untuk bekerja, setelah lanjut usia kembali ke kampung masing-masing. Masa muda dicurahkan untuk penghidupan di kota. Di kampung, orang mencari kedamaian, menikmati sisa hidup dengan anak cucu dan ingin hidup tenang sebelum ajal menjemput.
Tetapi, tidak semua orang mengalami relasi yang baik dengan kampung. Salah satu kisahnya kita ketahui dari Maryam, novel karya Okky Madasari tahun 2012. Maryam juga turut memenangkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award karena kemampuannya dalam mengangkat kasus faktual di Indonesia.
Novel ini berkisah tentang pengalaman serta perjuangan Maryam dengan kelompok Ahmadiyah di Gerupuk, Lombok untuk tetap bertahan hidup dari stigma, diskriminasi hingga ancaman kekerasan. Sejak kecil, Maryam, keluarga dan anak-anak Ahmadiyah lain menyembunyikan identitas dari orang-orang di luar kelompok Ahmadiyah untuk tetap bertahan hidup dan berinteraksi dengan lingkungan.
Pada hampir semua level – sekolah, lingkungan kerja hingga kehidupan sosial; anak-anak Ahmadiyah memilih menyembunyikan identitas Ahmadiyah mereka dibanding harus berdebat. Mereka memilih untuk tidak menjawab ketika banyak di antara orang-orang bertanya lebih detil tentang agama yang mereka anut. Toh, pada kenyataannya, tanpa menunjukkan identitas agama, mereka tetap bisa berinteraksi dengan baik.
Anak-anak Ahmadiyah mengenyam pendidikan yang sama pada umumnya. Adapun Maryam dikisahkan sebagai seseorang yang pintar dan berprestasi. Pasca menamatkan sekolah menengah atas di kampungnya, Maryam memilih untuk melanjutkan studi ke Universitas Airlangga Surabaya dengan mengambil jurusan Akutansi. Bapak Maryam, Khairuddin, ialah seorang tengkulak ikan yang cukup besar di Lombok. Setiap panen, ia tak perlu susah payah mencari nelayan yang ingin menjual hasil tangkapan. Pak Khairuddin dikenal sebagai dermawan dan suka menolong di kampungnya.
Pergolakan batin dalam diri Maryam terjadi ketika ia mencintai Alam, teman yang dikenal Maryam ketika ia bekerja di sebuah bank swasta pasca lulus kuliah. Maryam kerap “disadarkan” oleh Alam dan keluarga agar kembali ke jalan yang “benar” dan meninggalkan ajarannya kini. Keluarga Maryam tidak menyetujui. Akhirnya, Maryam tetap memilih menikah dengan Alam dan meninggalkan semua keimanan yang diyakininya sejak kecil. Begitu seterusnya hingga sampai 5 tahun berjalan, Maryam merasa bodoh telah jatuh cinta dengan Alam. Ia merasa hancur karena bisa-bisanya selama itu ia mencintai orang yang terus-menerus memintanya “kembali pada jalan yang benar.”
Kembali ke Kampung
Akhirnya, Maryam memilih untuk kembali dengan segala ketakutan dan keraguan akankah diterima oleh keluarga. Betapa kagetnya ia karena rumah yang sejak kecil ditinggalinya kini telah jauh berbeda. Barang-barang banyak terbengkalai. Rumah sebagian masih kosong dan rusak. Tetangganya tak ada yang mengenali Maryam. Akhirnya, salah satu mantan pembantu Pak Khairrudin yang ditemui Maryam menuturkan kisah pilu keluarga Maryam dan komunitas Ahmadiyah.
Waktu itu tahun 2001. Entah bagaimana mulanya, berita tentang Ahmadiyah sesat telah mengemuka di warga kampung. Mulanya bukan kampung Maryam yang terkena isu itu. Tetapi lama kelamaan menyebar ke Gerupuk. Ketua RT dan RW meminta komunitas Ahmadiyah untuk pergi. Tak butuh waktu lama, ancaman dan pengrusakan oleh warga kian lama kian membludak. Bapak Maryam memutuskan untuk pergi. Bersama dengan anggota keluarga lainnya yang berjumlah 200 keluarga, mereka mengungsi di sebuah masjid milik komunitas Ahmadiyah. Hari-hari kian berlalu hingga genap satu setengah tahun, Pak Khairuddin memiliki modal dari kas komunitas untuk mengontrak rumah bersama dengan tetangga Ahmadiyah lainnya.
Lewat informasi itu, datanglah Maryam ke rumah orangtuanya. Haru biru menyelimuti mereka. Saling maaf dan sesal adalah kata yang terus terulang dari Maryam dan ibu bapaknya. Kemudian, Maryam dan keluarga menata ulang semua. Mereka memilih untuk melupakan Gerupuk, Kampung aman di wilayah Kota Lombok dan memulai kehidupan di Gegerung, perkampungan pinggiran.
Membangun Keluarga dalam Pengusiran
Maryam akhirnya memilih untuk menikah dengan sesama Ahmadiyah. Adalah Umar, laki-laki yang dianggap Maryam mampu menggantikan cintanya pada Alam (meski kenyataannya tak tergantikan). Maryam merasa cintanya pada Umar tidak menggebu-gebu sebagaimana pada Alam. Namun, itu lebih baik dibandingkan ia mengecewakan orangtuanya seperti dahulu. Maryam akhirnya berkeluarga dan mengandung. Ia merasa perlu menjalankan semua yang diperintahkan dan diinginkan kebanyakan orangtua pada umumnya.
Seperti umumnya memberkati cabang bayi, keluarga Maryam mengadakan syukuran. Orang-orang Ahmadiyah mengaji dan memanjatkan puja-puji sebagaimana biasa. Alangkah kagetnya mereka ketika masjid yang tidak jauh dari situ mengatakan sesuatu yang membuat hati panas. “Usir orang Ahmadiyah dari Gegerung. Kalau masyarakat di sini tidak mampu mengusir, saya akan mendatangkan masyarakat dari tempat lain untuk mengusir mereka. Darah Ahmadiyah itu halal!”
Perempuan yang ada dalam syukuran Maryam menangis. Tiba-tiba, dua orang berlari dari kejauhan dan berkata bahwa rumah Maryam akan dikepung oleh warga Gegerung. Tak sempat menyelamatkan diri, akhirnya Maryam dan rumah sekitar dilempari batu. Polisi kemudian datang saat beberapa orang Ahmadiyah sudah dilempari batu. Beberapa laki-laki Ahmadiyah mencoba melawan tanpa persiapan. Akhirnya, Maryam, keluarga dan orang kampung dilerai polisi.
Mereka akhirnya diminta pindah. Kejadian yang sama pada saat keluarga Maryam diusir dari Gerupuk dahulu. Maryam, Umar, keluarga besar Maryam dan keluarga Ahmadiyah lainnya mengungsi ke Gedung Transito. Maryam melahirkan dan membesarkan anak mereka di pengungsian. Novel ditutup dengan surat yang tertanda Januari 2011 atas nama Maryam Hayati.
Perjuangan yang Tak Kunjung Usai
“Kami hanya ingin pulang ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami sendiri,” begitu kalimat pertama yang ditujukan oleh surat Maryam kepada Gubernur. Lewat Maryam, Okky Madasari ingin menunjukkan bagaimana diskriminasi terjadi bagi kelompok Ahmadiyah. Sebelum label sesat dilekatkan, Okky menggambarkan suasana Kampung Lombok yang ideal. Anak-anak dan keluarga Ahmadiyah dapat bersekolah serta bekerja sebagaimana biasa. Kalimat demi kalimat yang diangkat oleh Okky Madasari terbaca dengan lugas dan terkesan pendek. Untuk ukuran publik pada umumnya, novel Okky yang mengangkat isu humanis ini mudah dipahami karena jarang menggunakan bahasa yang puitik (bahasa dengan level kesusastraan yang tinggi).
Okky Madasari juga turut membayangkan problematika hidup Maryam dengan beban ganda, yaitu sebagai perempuan dan sebagai kelompok minoritas. Ketika akan bertemu Umar, Maryam sempat mencurahkan isi hati kepada sang ibu: “Apakah ada laki-laki baik yang mau menikahi janda?”. Penggambaran ini menunjukkan bahwa Maryam sendiri mengalami rasa rendah diri karena ada kekhawatiran di masyarakat bahwa seorang lelaki lajang menikahi janda. Selain itu, menyandang status sebagai anak yang lahir dari komunitas Ahmadiyah, membuat Maryam enggan bergaul dengan teman-temannya karena khawatir dianggap sesat. Pilihan menikah dengan Alam sebetulnya merupakan bentuk perlawanan Maryam kepada konstruksi yang membentuknya sejak lahir. Hanya saja, Maryam akhirnya memilih untuk kembali menjalin ikatan dengan keluarganya.
Novel Maryam yang bergaya realis dengan unsur faktual ini menjadi refleksi yang amat mendalam bagi kita bahwa problem yang dialami Ahmadiyah adalah problem kemanusiaan. Berkali-kali Okky menyebut hal-hal administratif kewarganegaraan dalam novelnya seperti: “Kami sudah memiliki surat-surat lengkap atas tanah ini. Kami juga turut membayar pajak dan kewajiban lain.” Novel Maryam dengan terang menunjukkan bahwa kelompok Ahmadiyah telah melaksanakan kewajiban sebagai warga negara Indonesia, yang juga wajib dilindungi pemerintah. Novel Maryam juga suara yang turut digaungkan kepada pemerintah untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi bagi kelompok Ahmadiyah. Mereka hanya ingin pulang ke rumah mereka. Mereka memohon keadilan. Sampai kapan lagi harus menunggu? (Fini Rubianti)
(Fini Rubianti menyenangi studi Gender dan HAM, ia tengah berpikir bagaimana cara melestarikan lenong perempuan untuk identitas betawi pinggiran sepertinya. Pegiat diskusi emperan dan penyuka film horor. Merasa beruntung (lebih tepatnya narsis) diberi nama Fini, karena pada kata (F)em(ini)sme terkandung namanya. Bisa dikontak di finirubianti@gmail.com)
0 comments on “Maryam: Mengharap Keadilan untuk (Kampung) Ahmadiyah”