Tabumania, pernah mendengar komunitas bernama Rumah Anak Raja? Harian The Jakarta Post, pada 25 Mei lalu, sempat meliput komunitas ini. Berdiri pada awal 2010 di wilayah Cinere, Depok, oleh seorang transgender bernama Mama Yulie. Rumah Anak Raja (RAR), yang berdiri dari dana swadaya, menjadi panti sosial bagi kelompok transgender yang lanjut usia. Sebagian besar penghuni panti sosial tersebut pernah bekerja di berbagai sektor hiburan, semisal menjadi penyanyi di tempat karaoke. RAR menjadi tempat tinggal sekaligus wadah bagi pemberdayaan ekonomi kelompok transgender ini.
Keberadaan komunitas RAR sejak 2010 seperti aliran air yang mengucur dari keran yang dibuka oleh Reformasi, dimana kelompok sosial-kemasyarakatan yang bergerak di isu identitas gender dan kesejahteraan hidup bisa tumbuh dan berkembang. Hal ini tentu juga karena kebebasan berserikat dan berkumpul semakin terbuka. Namun demikian, apakah benar seksualitas pasca Reformasi betul-betul menjadi upaya menjunjung harkat-martabat kemanusiaan yang sesungguhnya?
Disatu sisi, inisiatif masyarakat berkembang, namun disisi lain negara gagap dan gugup dalam menghadapi isu seksualitas. Mengapa begitu? Di tahun yang sama ketika RAR didirikan, terjadi pula penyerangan terhadap acara ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association) oleh FPI (Front Pembela Islam). Pada 30 April 2010, saat anggota konferensi ILGA tengah berkumpul dan berdiskusi di sebuah hotel, FPI menggandeng aparat kepolisian dan meminta agar acara dihentikan. Negara, yang diwakili oleh aparat kepolisian, turut aktif dalam upaya pembatalan konferensi tersebut.
Jika Tabumania mundur ke beberapa tahun sebelumnya, situasi serupa juga terjadi di ranah hukum. Tahun 2004, Undang-Undang No. 23 mengenai Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga memasukkan perkosaan yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga sebagai tindak pidana. Tak hanya itu, kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi pun jadi bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Ini menunjukkan bahwa Negara menyadari situasi ketidakadilan yang kerap dialami perempuan serta siapapun yang tinggal dalam ranah yang paling privat, yakni rumah tangga. Namun demikian, di sisi lain, Negara juga turut mengesahkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 mengenai Pornografi yang secara aktif menggerogoti ruang-ruang privat warga negara dengan mencampuradukkan antara makna aktivitas seksual dengan identitas seksual seseorang. Tak hanya itu, penyebutan frase ‘melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat’ dalam Undang-Undang ini menjadikan seolah-olah norma budaya dan adat di Indonesia seragam.
Arti seksualitas menjadi bagian dari diskusi yang juga riuh di ranah pendidikan anak. Pada 2016, anak perusahaan dari Tiga Serangkai menerbitkan buku tentang pendidikan seks bagi anak yang berjudul “Aku Berani Tidur Sendiri & Aku Belajar Mengendalikan Diri”. Buku ini berkisah tentang bagaimana seorang anak mulai mengenal tubuhnya dengan berimajinasi atau mengenal fungsi seksual pada alat kelamin. Lagi-lagi, sejumlah pro kontra di media sosial bermunculan. Sebagian berpendapat bahwa buku tersebut adalah medium yang baik untuk menjelaskan tahap seksualitas di usia dini, tetapi anggapan bahwa buku tersebut adalah bentuk pengajaran pornografi pada anak juga masih kuat. Seksualitas masih lekat dengan pornografi dan karena bertentangan dengan nilai agama atau moral. Padahal, pendidikan seks usia dini adalah sebuah bentuk filter yang baik bagi anak-anak ketimbang ia mendapatkan informasi mengenai seksualitas dari video/permainan games yang tidak bisa dilacak pertanggungjawabannya. Sayangnya, perdebatan ini diakhiri dengan pengakuan permintaan maaf dari penerbit bahwa buku tersebut memang tidak pantas dibaca anak-anak.
Diskusi tentang seksualitas dari perspektif agama turut hadir diruang publik dengan berbagai interpretasi. Tahun 2015, salah satu feminis Muslim, Musdah Mulia menulis buku berjudul “Mengupas Seksualitas”. Buku ini memberikan gambaran bahwa seksualitas sebagai proses sosial merupakan ruang kebudayaan bagi manusia. Ini menjadi wujud dari kebesaran Tuhan yang menciptakan manusia, dengan berbagai ragam seksualitas sebagai jati dirinya.Namun demikian, kita juga dihadapkan dengan wacana poligami yang semakin massif diperbincangkan, bahkan dirayakan dalam berbagai seminar. Sebuah situs bernama Dauroh Poligami Indonesia, dengan slogan “Membangun Poligami Samara” juga mendapat antusiasme tersendiri di level masyarakat. Dalil mereka dilandasi atas interpretasi yang sangat tekstual bahwa kitab agama tertentu memberi ruang bagi laki-laki untuk memiliki hingga empat istri.
Tak bisa terhindarkan lagi Tabumania, perkembangan dan penggunaan teknologi digital, khususnya media alternatif, menjadikan distribusi informasi tentang seksualitas juga mendapatkan porsinya. Pada sebuah diskusi Qbukatabu dengan tema “Media berbasis Gender dan Seksualitas: Apa dan Untuk Siapa?”, kedua narasumber dari Rappler Indonesia (Sakinah) dan Satwika (seorang jurnalis muda) menyebutkan bahwa media alternatif bisa menjadi ruang yang mengupas apa yang tidak dibahas media arus utama. Media alternatif bisa membuka layer-layer wacana seksualitas yang lebih kaya dan fokus, misalnya seperti cerita personal, pengalaman, komunitas hingga transformasi diri yang dialami individu. Lewat media alternatif, wacana seksualitas kian intim dan membumi karena didasarkan pada hal-hal yang awalnya tabu tetapi diangkat secara mendalam. Dengan begitu, hadirnya berbagai situs yang secara khusus mendiskusikan seksualitas, seperti Qbukatabu, Magdalene.co, Lolita turut memberikan nuansa yang lebih kaya dalam mengupas seksualitas dari berbagai lapisan pengalaman – perempuan, transgender, heteroseksual, non-heteroseksual, hingga identitas non biner lainnya.
Tetapi, kehadiran media alternatif semacam ini masih terbatas pada memperkuat jaringan komunitas tertentu. Ia belum mampu menyasar publik secara luas karena media arus utama masih memegang peranan yang tetap kuat dalam membentuk cara berpikir masyarakat. Tentunya, karena modal yang dimiliki mereka jauh lebih besar.Salah satu bentuknya terlihat dari redaksidalam judul beritamedia arus utama yang mengedepankan komersialisasi dalam meliput kasus perkosaan demi meraup klik atau iklan menjadi masalah. Pada tahun 2016, situs tempo.co mengangkat judul berita “Pantaskah Guru Perkosa Muridnya karena Tidak Kerjakan PR?”. Tempo.co mendapat protes keras di media sosial karena pemilihan judul sangat merendahkan korbanperkosaan karena masih mempertanyakan perkosaan sebagai kepantasan atau bukan. Judul tersebut merupakan bentuk “kekerasan baru” yang direproduksi lewat narasi berita. Ini menunjukkan kegagapan pers kita dalam mengangkat isu seksualitas kepada publik.
Tabumania, sepanjang 20 tahun Reformasi ini, patut kita akui bahwa terdapat sejumlah pencapaian untuk membuka wacana seksualitas di Indonesia agar lebih beragam dan memanusiakan. Tak dapat dipungkiri bahwa seksualitas juga menjadi momok menakutkan, dihindari dan dijauhi karena dianggap tidak ‘bermoral’, ‘bersusila’ dan ‘beragama’. Meskipun demikian, upaya untuk memahami seksualitas dari perspektif agama tak juga berhenti dilakukan.
Setidaknya, kita bisa menyadari satu hal, Tabumania. Bahwa perjalanan mendiskusikan seksualitas dalam 20 tahun Reformasi ini bukan seperti berjalan di setapak yang lurus. Seperti bahasa “cong”,”capcus”, atau “cyin” yang dulu hanya terbatas digunakan oleh kelompok homoseksual dan transgender, kini digunakan oleh masyarakat umum dalam komunikasi sehari-hari. Namun, meski bahasanya diterima, kekerasan dan diskriminasi juga masih terus terjadi pada mereka, bahkan menguat, hingga kini. Kira-kira seperti itu situasi yang akan kita hadapi. Kita akan berhadapan dengan tanjakan, turunan, tikungan tajam, bahkan benturan dan kontradiksi disana sini. Dan ini seturut dengan perjalanan dalam memanusiakan manusia. Jadi, sudah siapkah Tabumania menyusuri perjalanan di tahun berikutnya dari Reformasi ini? (Fini Rubianti)
(Fini Rubianti menyenangi studi Gender dan HAM, ia tengah berpikir bagaimana cara melestarikan lenong perempuan untuk identitas betawi pinggiran sepertinya. Pegiat diskusi emperan dan penyuka film horor. Merasa beruntung (lebih tepatnya narsis) diberi nama Fini, karena pada kata (F)em(ini)sme terkandung namanya. Bisa dikontak di finirubianti@gmail.com)
0 comments on “Secuplik Lika-Liku Perjalanan Isu Seksualitas dalam 20 Tahun Reformasi”