“Setiap kelokan dan tikungan menyembunyikan kegelapan dan menumbuhkan keasyikan, tapi juga ketegangan yang semakin bertambah” – Avianti Armand (2014)
Judul tulisan ini diilhami dari kumpulan puisi berjudul “Perempuan yang Dihapus Namanya” karya Avianti Armand. Ungkapan kecemburuan sekaligus pengungkapan yang memberikan sebuah petanda bagi jejak-jejak yang baru.
Dalam setiap peradaban umat manusia, utamanya para liyan yang juga didalamnya termasuk, sudah bukan hal baru jika mereka adalah yang “dihapus” namanya. Kita bisa memahami ini karena superioritas laki-laki cis-heteroseksual yang sudah terlalu terlembaga, bahkan sejak zaman Adam dan Hawa dahulu kala. Penceritaan Hawa selalu seiring dan sejalan dengan penciptaan Adam. Namun, Hawa yang diceritakan bukanlah Hawa yang utuh, bukan Hawa yang menjadi subyek. Hawa menjadi ada karena Adam; Hawa tak pernah berdiri sendiri. Ia selalu menempel pada definisi yang dimiliki Adam.
Dalam potongan puisi Avianti berjudul HAWA dalam sebuah puisi:
Sementara, laki-laki, manusia pertama itu, tak
terlihat di mana-mana. Sesosok malaikat
melayang turun dan melaporkan dengan santun
(sebelum ia berubah jadi cahaya yang meresap
ke dalam layar), “Manusia itu berkeliling
menamai tiap-tiap makhluk yang hidup:
binatang-binatang dan susuannya, dan tumbuh-
tumbuhan dan cikalnya.”
Beberapa langkah sebelum pohon itu,
perempuan ini belum lagi ada. Ia baru saja ada
dan ia belum bernama.
Kata perempuan kepada ular:
“Telah kulihat satu makhluk yang indah di kulit
sungai yang beku. Di kepalanya ada surai yang
berkilau. Di dadanya sepasang buah yang
molek. Di pangkal kakinya segumpal semak
berduri. Dan ia menatapku.”
Jawab ular:
“Itu adalah kamu. Tapi kamu tidak boleh tahu.”
Tanya perempuan:
“Apa yang aku boleh tahu.”
Jawab ular:
“Kamu adalah yang diambil dari laki-laki ketika
ia tertidur. Kamu adalah bukan laki-laki.”
Kata perempuan itu lagi:
“Bahkan segala sesuatu di dalam taman ini
bernama. Kenapa aku tidak?”
Jawab ular:
“Karena laki-laki itu belum memberimu.”
Ya, kitab-kitab suci mencatat bahwa penciptaan Hawa berasal dari tulang rusuk Adam. Sesuatu yang sama sekali asing bagi Hawa.
Kemudian, kita akan temui Batsyeba. Ia ditandai Daud. Perempuan dari istri Urea, orang Het itu. Avianti menggambarkan kontradiksi perempuan, di mana ia segala-galanya, rumah bagi kehidupan, tapi (selalu) kalah dan dikalahkan oleh sejarah.
BATSYEBA
Lelaki itu mungkin segumpal api.
Sebuah mata di langit yang menggarisi
Tanah dengan mistar besi
Dan meniupkan sangkakala perang ke daratan
Yehuda hingga Galilea.
Perempuan itu mungkin sebuah hutan.
Sekumpulan cedar dan fir yang asing
dengan telaga berair madu dan susu.
Di dalamnya hidup legenda yang subur
dari kota-kota yang direbut dengan busur
dan lesetan anak-anak panah.
Bumi memang berasal dari rahim yang meraung kesakitan. Tiap jerit, melahirkan satu nafas kehidupan. Semesta menjadi langgeng karena pertarungan perempuan dengan maut. Tetapi, masih saja ketidakadilan terhadap perempuan ditemui. Lebih lagi, perempuan yang dimunculkan kerap merupakan hasil pendefinisian dari laki-laki: perempuan dengan buah dada molek. Sementara itu, perempuan memiliki beragam karakter fisik; dengan atau tanpa buah dada, dengan atau tanpa klitoris, dengan atau tanpa hymen. Perempuan juga miliki beragam keputusan: dengan atau tanpa Adam, Daud maupun Urea. Perempuan dapat hidup sendiri maupun memilih bersama seseorang dengan gender yang sama sepertinya.
Jauh setelah Hawa dan Batsyeba
Belajar dari Hawa dan Batsyeba di atas, narasi perempuan yang banyak dihilangkan oleh sejarah, tidak serta merta membuat perempuan di zaman kini harus menyerah. Ilmu pengetahuan dan kemajuan yang dicapai peradaban di dunia, membuat banyak kesempatan sekaligus peluang tercipta bagi kemajuan perempuan. Namun, bagi perempuan yang mana? Hal ini mengingat bahwa identitas perempuan tak tunggal. Ia tinggal di wilayah terpencil dan yang masih rawan dengan kontak senjata, sudut kumuh daerah urban, atau terhimpit di pojok ruangan yang seolah bernafaskan nilai moralitas dan ketuhanan. Ada persoalan kultur dan struktur yang membuat perempuan dimiskinkan oleh tatanan.
Namun begitu, perempuan tak berdiam diri. Ia terus-menerus belajar, menempa diri untuk tuturkan narasi yang diredupkan tersebut, untuk merebut ruang mencapai keadilan. Tak sekedar untuk eksistensi dirinya sendiri, melainkan membuka ruang bagi yang lainnya; bagi mereka yang pernah, masih, akan atau tidak menyebut dirinya perempuan.
Hawa dan Batsyeba mungkin pernah dikalahkan. Namun, kisah mereka menjadi bara untuk melanjutkan kerja-kerja untuk keadilan dan kesetaraan bagi mereka yang dihapus namanya dari sejarah. Kerja ini menjadi perjalanan tentang pemaknaan ulang berbagai kisah yang sudah dianggap biasa sejak kita kecil, seperti cerita Hawa dan Batsyeba yang sering diperdengarkan.
Kita tak selayaknya berhenti, karena kita (bukan) orang-orang yang dihapus namanya. Kita menjadi ada karena diri kita sendiri dan kita tak berhenti pada diri sendiri.
Selamat tahun baru 2018, tabumania!
(Fini Rubianti menyenangi studi Gender dan HAM, ia tengah berpikir bagaimana cara melestarikan lenong perempuan untuk identitas betawi pinggiran sepertinya. Pegiat diskusi emperan dan penyuka film horor. Merasa beruntung (lebih tepatnya narsis) diberi nama Fini, karena pada kata (F)em(ini)sme terkandung namanya. Bisa dikontak di finirubianti@gmail.com)
0 comments on “Refleksi Akhir Tahun: Kami (Bukan) Perempuan yang Dihapus Namanya”