Buka Cerita

Inspirasi Samsidar: Perjuangan Perempuan Penyintas Aceh yang Tak Pudar

Tabumania, jika kita mengangkat tentang Aceh, setidaknya ada dua peristiwa besar yang dapat direfleksikan. Pertama, tiap 26 Desember diperingati sebagai hari duka Aceh karena bertepatan dengan gelombang dahsyat tsunami yang pernah meluluhlantakan wilayah ini. Kedua, konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung tahun 1976 hingga 2005 karena keinginan GAM untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Kini, dua peristiwa tersebut telah berlalu. Bencana tsunami sudah 13 tahun terlewati. Tugu peringatan untuk para korban tegak berdiri. Infrastruktur telah dibenahi. Luka berangsur-angsur sembuh. Sama halnya dengan konflik bersenjata, tahun 2005, kesepakatan damai antara pemerintah RI dan pihak GAM terwujud. Aceh kemudian diberi otonomi khusus untuk melaksanakan Syariat Islam. Namun demikian, kohesi sosial antar masyarakat di Aceh tidak serta merta selesai dengan sejumlah upaya di atas. Aceh masih menyisakan banyak permasalahan, terlebih menyoroti penerapan Syariat Islam yang sedari awal bertentangan dengan hukum nasional. Selain itu, kekerasan dalam bentuk lain masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Aceh, terutama perempuan karena praktek pelaksanaannya yang sewenang-wenang dan tak manusiawi.

Situasi penghukuman yang terjadi pada perempuan Aceh saat ini tak terlepas dari peristiwa kekerasan seksual yang dialami perempuan dimasa lalu yang tak juga selesai. Qbukatabu berkesempatan mewawancarai Samsidar. Ia adalah seorang aktivis perempuan yang mendedikasikan diri selama kurang lebih duapuluhlima tahun mengupayakan pemenuhan hak perempuan korban di Aceh, baik saat maupun paska konflik bersenjata.

Kiprah dan perjuangan Samsidar di lingkup ini tidak datang serta-merta. Sejak kecil, lewat bapak dan ibunya, Samsidar mendapatkan akses buku-buku yang dahulu sempat dianggap terlarang. Buku Madilog yang ditulis Tan Malaka, hingga di Bawah Bendera Revolusi karya Soekarno tak kurang ia lahap. Dari sana, ia mulai mengenal konsep ketidakadilan hingga perjuangan yang mesti direbut dari tangan penguasa.

Ketika konflik di Aceh mulai mencuat, masih kuat dalam ingatannya pada tahun 1989 akhir hingga 1990an, saat itu, Aceh berubah menjadi status siaga dengan ditetapkannya Daerah Operasi Militer (DOM). Mereka yang dicurigai sebagai bagian dari GAM diculik, disiksa hingga dibunuh oleh militer. Samsidar merasa kaget dan trauma karena melihat mayat yang tergeletak di mana-mana pasca eksekusi oleh militer. Sipil dihabisi, baik karena ia berafiliasi maupun diduga sebagai komplotan GAM. Saat itu, hanya ada dua hal yang terpikirkan: kehidupan atau kematian. Dalam kondisi yang militeristik ini, perempuan kerap menanggung beban identik atas bawaan biologisnya. Komnas HAM mencatat, selama DOM, terdapat 102 orang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual meliputi perkosaan, penganiayaan, pelecehan hingga penyiksaan.

Ketika konflik terus-menerus berkecamuk, Samsidar mulai terpikirkan suatu yang vital bagi masa depan perempuan Aceh, utamanya para korban baik yang mengalami secara langsung maupun mereka yang menjadi bagian dari tatanan masyarakat di sana. Berbekal rekam jejak sebagai dosen dan pekerja sosial, Samsidar mulai mengurai persoalan ini ke dalam berbagai upaya pemulihan.

Mulai Bergerak

Bersama dengan kelompok aktivis perempuan, ia melakukan investigasi di wilayah Aceh Barat Daya, Aceh Timur dan Aceh Utara. Ketiga wilayah ini dipilih karena disinyalir banyak terjadi kasus kekerasan seksual. Pertama-tama, yang ia lakukan adalah memetakan konteks perempuan penyintas. Pemetaan itu meliputi pemetaan wilayah, persoalan dan kebutuhan masyarakat. Ketika menyangkut kekerasan seksual, Samsidar merasa trauma karena tidak terbayangkan peristiwa semacam itu terjadi. “Saya melihat kekerasan seksual yang terjadi seperti cerita fiksi. Tidak dapat diterima dengan akal sehat. Secara faktual, sama dengan cerita Jugun Ianfu.”

“Bentuk kekerasan seksual yang paling nyata saat itu ialah perkosaan,” tegas Samsidar. Awalnya, yang dilakukan Samsidar terbatas karena sulitnya menembus wilayah konflik yang seringkali membahayakan nyawa dan keberlangsungan kerjanya. Samsidar dan kawan-kawan aktivis lainnya sering dicurigai sebagai mata-mata sipil ataupun oknum GAM yang menyamar. Karena kondisi yang militeristik dan tetap perlu ada upaya pemulihan perempuan, ia harus memprioritaskan apa yang paling dibutuhkan kelompok perempuan penyintas kala itu. Saat memulihkan perempuan yang terkena dampak konflik, pengakuan dan kepercayaan merupakan hal yang penting agar mereka dapat keluar dari trauma berkepanjangan.

Tidak hanya perempuan penyintas, lingkup kerja Samsidar juga meliputi pendekatan pada Inong Balee, kelompok pejuang perempuan. Menurut penuturannya, perempuan tidak secara langsung menjadi bagian inti dalam modus angkat senjata. Inong Balee merupakan pihak “pelumas” konflik di mana mereka menjadi alat propaganda agar konflik semakin pecah.

Dalam melakukan kerja pemulihan, Samsidar melakukan tiga tahap berikut. Pertama, pengalaman sebagai perempuan menjadi fondasi utama. Tubuh perempuan rentan dipolitisasi saat konflik terjadi. Perkosaan kerap menjadi alat untuk membakar amarah pihak lawan. Dengan demikian, aspek ini menjadi sangat signifikan untuk kemudian diurai bersama. Pengalaman perempuan seharusnya jadi kekuatan untuk saling berkumpul, mengorganisir diri, serta keluar dari pusaran kebobrokan tatanan.

Kedua, ialah lewat pendekatan kultural. Sebelum dikenal kata pemulihan, Samsidar dengan beberapa teman perempuan menggunakan kata  jakcencen sebagai sebutan untuk memberi ruang bagi perempuan dalam mengobati trauma. Kata jakcencen berasal dari bahasa Aceh, dimana jak adalah pergi dan cencen ialah main-main. Pendekatan ini selengkapnya bernama jakcencen peulale hate yang berarti pergi main-main untuk menyenangkan hati. Jakcencen digunakan sebagai cara bagi perempuan korban dan penyintas untuk secara berangsur-angsur keluar dari trauma akibat kekerasan yang dialami selama konflik. Samsidar, yang ketika itu menjadi Pelapor Khusus untuk Aceh di Komnas Perempuan, memfasilitasi upaya jakcencen.

Lewat jakcencen, Samsidar menyadari bahwa perempuan perlu ruang untuk melupakan sejenak penderitaan mereka. Salah satu yang dilakukan Samsidar, misalnya ia memfasilitasi kelompok perempuan untuk menyanyi dan berkaraoke di rumahnya. Ditengah situasi yang tak lepas dari tekanan, hal ini mampu jadi cara untuk saling merekatkan diri dan mulai bangkit. Lebih lanjut, jakcencen juga menjadi cara untuk mengembangkan komunitas dan memetakan kebutuhan mereka. Karena ada rasa suka cita di antara sesama, mereka mulai berpikir akan kebutuhan lain, misalnya apakah mereka membutuhkan psikolog untuk menuntaskan trauma hingga bidan untuk mengecek rutin kesehatan mereka.

Istilah jakcencen mulai diperkenalkan tahun 2005, namun pada perjalanannya harus ditinggalkan. “Ada beberapa kawan yang menilai bahwa istilah ini sekedar mengajak untuk bersenang-senang, sementara di sekitar masih ada korban. Padahal, kami tidak bermaksud demikian. Kami ingin mengajak korban untuk melupakan masa terpuruknya, lalu bersemangat dan ceria seperti sedia kala,” terang Samsidar.

Ketiga adalah penguatan ekonomi. Samsidar menyadari bahwa interaksi sosial perempuan perlu dijaga keberlangsungannya. Perempuan mengalami ketimpangan sosial yang sangat tajam karena semasa konflik, laki-laki meninggalkan rumah untuk turut dalam konflik sehingga kondisi keluarga semakin terpuruk. Mengatasi hal ini, Samsidar berjejaring dengan teman-temannya di Sumatera Utara untuk membuka pinjaman kredit kepada kelompok perempuan. Sebagian modal kredit tersebut ia kumpulkan pula dari dana pribadinya. Sistem kredit ini, secara tidak langsung adalah kritik Samsidar terhadap sistem koperasi di Indonesia. Mekanisme koperasi yang seringkali sulit memberikan modal kepada para penggunanya adalah alasan utama Samsidar menerapkan sistem kredit bagi kelompok perempuan. Padahal, ekonomi menjadi aspek penting untuk membangun ketahanan komunitas perempuan dan kehidupan mereka.

Dedikasi bagi Para Perempuan Penyintas: Menuai Hasil, Menyisa Tantangan

Pasca MoU perdamaian di Aceh, tantangan dalam memulihkan perempuan semasa konflik bersenjata tak lantas selesai. Jika dahulu perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang mayoritas dilakukan oleh kelompok militer, kini terjadi pergeseran. Pejabat publik hingga masyarakat awam adalah juga pelaku kekerasan seksual. Selain itu, penerapan syariat Islam di Aceh menjadi hambatan untuk mengangkat penyelesaian kasus ini melalui hukum nasional. Penerapan syariat ini rentan menimbulkan penyelesaian yang diskriminatif karena tidak menggunakan kerangka konstitusi.

Lewat pengalamannya, kerja Samsidar dengan bantuan banyak pihak mulai menuai hasil. Ia menyatakan bahwa perempuan perlu dikuatkan lewat pengetahuan yang mumpuni soal tubuh, interaksi sosial dan peran yang nyata di masyarakat. Salah satu hasil yang sudah terlihat baik, menurut Samsidar ialah pendokumentasian kasus perempuan korban kekerasan. Inisiatif ini tidak datang darinya, tetapi dari para korban langsung. Mereka mulai mengorganisir dan meyakinkan satu sama lain untuk tidak takut bersuara sehingga persoalan kekerasan seksual yang polanya identik dan terus berulang, sedikit demi sedikit mampu menuai titik terang.

Pengalaman dan pengetahuan merupakan dua modal utama untuk tetap maju. Bagi Samsidar, relasi kuasa yang membentuk superioritas gender adalah sesuatu yang tidak dapat dibiarkan. “Bagi saya, no excuse! Tidak ada sikap permisif bagi ketidakadilan perempuan!” tandasnya.

Tabumania, dari Samsidar kita banyak belajar untuk tanggap, mulai bersuara dan bergerak pasti untuk melawan kekerasan seksual. Lewat jakcencen, perempuan korban kekerasan seksual mampu mengenali kebutuhan pemulihan bagi dirinya dan bergerak menjadi penyintas. Membangun solidaritas dan memperkuat pengetahuan adalah kunci untuk membangun dan merawat daya juang bagi persolan kekerasan seksual yang menggerogoti kemanusiaan. Siapkah Tabumania terlibat dalam sebuah proses yang amat mulia ini?

(Fini Rubianti menyenangi studi Gender dan HAM, ia tengah berpikir bagaimana cara melestarikan lenong perempuan untuk identitas betawi pinggiran sepertinya. Pegiat diskusi emperan dan penyuka film horor. Merasa beruntung (lebih tepatnya narsis) diberi nama Fini, karena pada kata (F)em(ini)sme terkandung namanya. Bisa dikontak di finirubianti@gmail.com) 

0 comments on “Inspirasi Samsidar: Perjuangan Perempuan Penyintas Aceh yang Tak Pudar

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: