Buka Perspektif

Membaca Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual di Media Daring

Tabumania, di minggu terakhir bulan Desember 2017 lalu, sebuah akun Instagram mengumumkan kampanye Celup (Cekrek, Lapor dan Upload) dalam rangka ‘menyelamatkan’ ruang publik dari tindakan asusila. Hal ini dilakukan dengan meminta orang-orang untuk memfoto diam-diam pasangan yang sedang bermesraan di ruang publik kemudian mengunggah serta melaporkannya secara viral di media sosial. Kampanye media sosial ini secara langsung merupakan bentuk pelanggaran privasi seseorang. Disamping makna bermesraan dan tindakan asusila itu multitafsir, kampanye ini malah dengan mudahnya menuduh seseorang melakukan sesuatu yang dianggap sang pengunggah amoral dan menghukumnya tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri sedikitpun dengan menyebarluaskan foto tersebut. Hasilnya, media daring malah tercemar oleh tindak kekerasan yang dilakukan warga net.

Media daring juga merupakan ruang untuk menemukan dan memperluas lingkaran sosial melalui berbagai aplikasi daring (dalam jaringan)/online yang berbasis pertemanan. Namun demikian, bentuk-bentuk pelecehan hingga eksploitasi berbasis seksual menjadi hal yang perlu diwaspadai, terutama bagi perempuan. Hal ini berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Nielsen terhadap perilaku konsumen Indonesia. Dari rata-rata 189 menit per hari dalam menggunakan ponsel pintar, 94% dilakukan untuk interaksi berbasis teks/chatting. Melalui perangkat ini, rentan bagi seseorang untuk menjadi menjadi korban kekerasan seksual melalui aplikasi teks, misalnya melalui medium gambar atau video yang berbau seksual tanpa diketahui oleh orang lain. Perempuan lebih rentan mengalami kekerasan seksual di media daring dibanding laki-laki, yakni 70% berbanding 54% (Pew Research Centre).

Media daring tak terlepas norma hetero-patriarki yang mensubordinasi kelompok perempuan, transgender dan identitas non-biner lain. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui kapan sebuah aktivitas di media daring merupakan bentuk kekerasan seksual. Pertama, aktivitas di media daring yang terdiri dari proses memproduksi dan menyebarluaskan konten elektronik (gambar maupun suara) dilakukan demi keuntungan pribadi dan/atau orang lain tanpa persetujuan pemilik konten. Ini berkonsekuensi pada terenggutnya ruang privat seseorang di media daring. Kedua, konten elektronik memuat perkataan, tindakan bernuansa seksual dengan tujuan merendahkan martabat kemanusiaan, termasuk seksualitas seseorang. Hal ini membuat korban menjadi depresi, terekslusi dari lingkungan sosial karena dianggap “kotor”, distigma sebagai asusila atau amoral serta terus menerus berada dalam pusaran rasa bersalah.

Ada beberapa bentuk kekerasan seksual di media daring yang diamati. Beberapa diantaranya, yakni:

Penyebaran konten seksual seseorang. Hal ini dapat dilakukan dengan motif balas dendam yang sering ditemukan dalam hubungan berpacaran. Saat hubungan masih terjalin, keduanya bersepakat untuk sama-sama merahasiakan konten privat. Saat terjadi perselisihan yang berujung pisah, seringkali pelaku mengumbar foto atau video mantan kekasih untuk mempermalukannya pada publik. Kasus semacam ini pernah terjadi di Karanganyar pada Oktober 2017 lalu. Seorang laki-laki berinisial DEP (22 tahun) mengunggah foto AS (22), sang mantan pacar akibat putus cinta. DEP mengumbar foto privat AS di media twitter. Peristiwa bermula saat hubungan mereka kandas di tengah jalan. Usaha DEP untuk membujuk AS kembali padanya sia-sia karena AS sudah tidak ingin. Pelaku mengancam bahwa foto privatnya, yang menunjukkan lekuk tubuh dan tanpa busana, akan disebar, tetapi ancaman tersebut tak digubris oleh korban. Menyadari fotonya viral, korban melapor kepolisian. Setelah dilakukan penyelidikan, DEP akhirnya dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Pelaku dijerat UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) pasal 27 ayat 1 (SindoNews.com).

Tak hanya motif balas dendam, penyebaran konten seksual ini dapat dilakukan untuk mempermalukan dan memberikan penghukuman terhadap tindakan yang dianggap oleh pelaku sebagai asusila. Dalam konteks ini, pelaku dan korban tidak saling mengenal. Contoh yang paling nyata adalah yang kampanye Celup yang dipaparkan diatas.

Pelecehan seksual melalui pesan elektronik, seperti teks, suara, gambar, video, tautan status media sosial atau artikel blog/halaman situs. Pelecehan ini bisa berupa memanggil nama dan upaya untuk mempermalukan yang bernuansa seksual. Selain itu, bisa juga melibatkan pengalaman yang lebih parah seperti menjadi target ancaman, diuntit, terus menerus dilecehkan dalam jangka waktu tertentu (Pew Research Center, 2014)

‘Outing’ tentang orientasi seksual atau identitas gender seseorang. Dua aspek ini mutlak merupakan hak seseorang atas otonomi tubuhnya. ‘Outing’ artinya membuka status orientasi seksual atau identitas seseorang dengan tujuan menstigma, mengolok-olok, dan membangun kebencian atas seksualitas non-biner dengan alasan ‘menyelamatkan’ publik dari tindak asusila. Tidak semua orang nyaman dengan orientasi seksual atau identitas gendernya diketahui publik karena anggapan di masyarakat yang masih biner dan kerap melakukan tindakan diskriminatif bahkan persekusi.

Eksploitasi seksual lewat ancaman penyebarluasan konten seksual. Tindakan ini dilakukan dengan tipudaya agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain. Contoh yang ditemui adalah sebagai berikut. Seorang mahasiswa di Yogyakarta mengelabui sekelompok remaja perempuan dengan iming-iming akan menjadi model. Sejumlah remaja mengiyakan permintaan mahasiswa tersebut, lalu mengirimkan foto dengan pose menarik. Mereka kemudian dikelabui, jika ingin lolos, harus menampilkan bagian lekuk tubuh secara vulgar. Berhasil menjerat beberapa orang, sang pelaku kemudian mengancam akan menyebarluaskan foto tersebut jika tidak memenuhi permintaannya untuk melakukan hubungan seksual.

Kekerasan seksual diatas hanya beberapa dari bentuk-bentuk lain yang dapat terbaca sangat nyata hingga sangat halus sehingga kita sulit menyadarinya. Oleh karena itu, kita perlu memutus rantai kekerasan ini. Proteksi diri menjadi hal yang utama. Membangun interaksi dan komunikasi terhadap setiap orang di media daring adalah hal baik. Namun, melindungi privasi kita lebih penting karena dalam proses interaksi tak jarang kita berhadapan dengan akun anonim, akun palsu. Selain itu, kita perlu mendeteksi diri dan sekitar. Bentuk kekerasan media daring di atas merupakan alarm bagi kita untuk memupuk kesadaran akan hak-hak kita.

Jadi, tunggu apa lagi Tabumania? Baca terus bentuk-bentuk kekerasan seksual di media daring yang belum sempat terdeteksi! (Fini Rubianti)

(Fini Rubianti menyenangi studi Gender dan HAM, ia tengah berpikir bagaimana cara melestarikan lenong perempuan untuk identitas betawi pinggiran sepertinya. Pegiat diskusi emperan dan penyuka film horor. Merasa beruntung (lebih tepatnya narsis) diberi nama Fini, karena pada kata (F)em(ini)sme terkandung namanya. Bisa dikontak di finirubianti@gmail.com)

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Membaca Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual di Media Daring

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: