Tabumania, masih ingatkah dengan kasus persekusi bernuansa seksual yang dialami oleh pasangan muda di Cikupa, Kabupaten Tangerang? Tindakan penghakiman massa yang memaksa pasangan tersebut mengaku berbuat cabul dengan diarak, ditelanjangi dan disebarkan videonya, menunjukkan bahwa kekerasan seksual terjadi bukan karena atribut atau identitas yang melekat pada diri korban, namun karena pikiran pelaku untuk merendahkan martabat dan hasrat menguasai. Hal serupa terjadi pada situasi konflik dimana perkosaan menjadi senjata untuk menaklukkan dan memberikan penderitaan yang berkepanjangan.
Kekerasan seksual dapat berupa tindakan kontak fisik maupun non-fisik yang menyerang dan merendahkan otonomi tubuh dan seksualitas seseorang. Ia bisa ditunjukkan lewat ujaran, gerak-gerik (seperti senyuman atau lirikan mata) dan tindakan untuk menguasai integritas tubuh. Kekerasan seksual jadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Di masa penjajahan Jepang, perempuan Indonesia dieksploitasi seksual sebagai jugun ianfu. Lalu saat transisi pemerintahan, kekerasan seksual terjadi saat Tragedi 1965 dan Tragedi Mei 1998, tak terkecuali juga di daerah-daerah konflik bersenjata, seperti Aceh, Poso, Maluku, Papua dan Timor Timur. Dari 15 bentuk kekerasan seksual yang dikenali Komnas Perempuan, ada 9 bentuk kekerasan seksual yang masuk ke dalam Rancangan UU Penghapusan Kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, penyiksaan seksual.
Tak hanya itu, kekerasan seksual terus bertransformasi bentuk mengikuti perkembangan era. Di tengah masifnya informasi digital, kekerasan seksual daring (online) tak dapat dihindari, seperti mempublikasikan data personal seseorang (doxing), penguntitan lewat media sosial hingga ke kehidupan offlinenya (cyber stalking), penyebaran foto/video dengan tujuan balas dendam yang disertai dengan intimidasi atau pemerasan (revenge porn). Beragam bentuk kekerasan seksual ini semakin meneguhkan bahwa persoalan mendasar, yakni sistem patriarki dan heteronormatif, masih kuat di masyarakat. Ia hanya berpindah medium saja, dari offline ke online.
Di edisi bulan ini, Qbukatabu ingin mengajak Tabumania untuk mengenali, memahami berbagai bentuk kekerasan seksual. Ia terjadi di saat ini dan di masa lalu, secara offline dan online, pelakunya orang terdekat hingga orang yang tak dikenal, dan dilakukan sendiri hingga berkelompok. Kekerasan seksual menjadi menjadi bagian dari sejarah yang dilupakan oleh bangsa kita sendiri sekaligus bertransformasi bentuk di era yang serba digital tanpa batas. Namun, tak cukup memahami bentuknya saja. Kita harus merayakan perlawanan terhadapnya. Perlawanan bisa mewujud lewat sikap, ujaran, tindakan bahkan simbol. Maka, melawan kekerasan seksual artinya mengumpulkan daya dan pengetahuan untuk memahami tentang kekerasan itu sendiri, terus menerus membicarakannya, mencari keadilan dan pemulihan bagi korban, termasuk bangkit bersama-sama sebagai penyintas. (ED)
0 comments on “Melawan Kekerasan Seksual”