Tabumania, masih ingatkah slogan “jangan kriminalisasi ulama” yang dimunculkan saat demonstrasi besar-besaran menuntut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja? Belum lagi ujaran seksis yang muncul dari posting seorang pengguna media sosial yang menggunakan simbol-simbol agama menyatakan bahwa perempuan ‘halal’ diperkosa. Bagaimana mungkin, seseorang yang mengaku dirinya beragama melakukan ujaran tersebut? Di tengah kesedihan itu, terbesit pertanyaan spontan: “Adakah satu saja, ulama laki-laki yang memperjuangkan status perempuan? Adakah ulama yang mendedikasikan dirinya untuk menghapus sekat diskriminasi?”
April 2017 lalu, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama kali digelar sekaligus menjawab kegundahan saya. Ada satu nama yang mengejutkan sekaligus melegakan saya tentang masa depan gender di Indonesia. Ia adalah Kyai Husein Muhammad. Mengejutkan karena di bulan-bulan tersebut, pengertian ulama dimaknai lebih intens dan ‘gaduh’ dari sebelumnya. Kongres ini memiliki landasan pikir mengenai terminologi ulama. ‘Ulama Perempuan’ adalah pengertian yang berbeda dengan ‘Perempuan Ulama’. Jika perempuan ulama adalah ulama yang bergender perempuan, maka ulama perempuan adalah ulama (baik perempuan maupun laki-laki) yang memiliki perspektif gender. Makna perempuan bergeser tak hanya sekedar biologis, namun juga ideologis. Pada acara dan terminologi yang dikembangkan oleh KUPI, saya temukan sosok Husein Muhammad yang lugas dan inklusif mengenai gender sebagai seorang ulama perempuan.
Sebelum menyelami lebih jauh pemikirannya, mari berkenalan secara singkat dengan Kyai Husein Muhammad. Lahir pada tahun 1953 di Cirebon dan menyelesaikan pendidikan di pesantren Lirboyo, Kediri, tahun 1973. Pasca lulus dari Lirboyo, ia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta hingga 1990. Dua rekam jejak pendidikan agama ini mengantarkannya bergulat di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Mulai tahun 2001, Kyai Husein mendirikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk perjuangan hak perempuan, seperti Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat.
Dua hal menarik yang dapat kita ambil dari latar belakang personalnya. Pertama, Kyai Husein tidak berhenti pada dirinya, tetapi ia merealisasikan gagasannya. Jika Cak Nur sempat menyinggung mengenai verbalisme (di mana orang cenderung merasa sudah melakukan sesuatu, padahal hanya mengatakannya) ini tidak terjadi pada Kyai Husein. Ia melihat urgensi yang kuat, bahwa isu perempuan tidak hanya cukup diulas di media, atau dijelaskan di atas mimbar-mimbar. Sang Kyai perlu ‘turun gunung’ dan kehadiran lembaga di atas merupakan bukti konkret bahwa ia juga melakukan kerja-kerja ala aktivis.
Kedua, peran Kyai Husein dalam isu perempuan menepis anggapan bahwa gender identik dan hanya datang dari ‘Barat’. Seolah-olah gender tidak selaras dengan agama, dengan Islam dan pembebasan bagi perempuan tidak ada dalam Islam. Dihadapkan dengan situasi ini, peran Kyai Husein amat signifikan. Ia yang berlatar belakang agama secara kultural maupun pendidikan, seorang alim dan mengedepankan teks-teks Quran yang pro perempuan, menjadi bukti nyata bahwa gender hadir di bumi Indonesia, di mana nilai-nilai Islam dan budaya menemukan benang merahnya tersendiri.
Islam dan Pembebasan bagi Perempuan
Dalam bukunya ‘Perempuan, Islam dan Negara’, Kyai Husein melakukan otokritik dengan mengkaji ulang teks-teks fikih klasik yang berkaitan dengan relasi perempuan dan laki-laki. Ia menegaskan, bahwa sebagian pemikiran tersebut masih terjadi kekaburan antara ketetapan sebagai given (terberi) dengan hal yang menjadi bangunan sosial, di mana manusia diberi akal untuk menalar segala interaksi. Baginya, gender merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan dan harus diupayakan.
Salah satu upaya yang dilakukan ia dan kawan-kawan alumni pesantren, di antaranya adalah merintis kajian kitab kuning tahun 1998. Bersama dengan Ibu Shinta Nuriah Abdurrahman Wahid, Lies Marcoes dan sejumlah kawan lain, mereka membentuk Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). Tujuan dari kajian ini adalah untuk melihat kembali apakah ajaran-ajaran dalam kitab memang memiliki dasar legitimasi yang kuat dari segi keilmuan Islam atau hanya perspektif penulisnya.
Hasil kajian tersebut kemudian dibukukan dengan judul Ta’liq wa Takhrij Syarh ‘Uqud al Lujain fi Bayan Huquq al Zaujain (Catatan dan Penilaian atas Uqud al Lujain). Pada salah satu pembahasan gender, dijelaskan bahwa sulit untuk diterima akal sehat jika agama (khususnya Islam) menilai konsepsi gender secara tidak adil. Terlebih, jika perempuan ditempatkan dalam posisi yang subordinat dan marjinal serta melahirkan kekerasan. Baginya, agama-agama yang lahir merupakan wujud untuk pembebasan manusia atas diskriminasi baik itu oleh ras, gender, maupun etnis.
Dalam beberapa sejarah, baik melalui tutur maupun teks, kita tahu bahwa agama turun sebagai ‘solusi’ atas kompeksitas masyarakat di muka bumi. Jarang sekali kita temukan, meski dalam cerita-cerita yang didapat dari sekedar dongeng bapak/ibu, bahwa agama hadir di masa aman dan damai. Karena ada ketidakadilan di muka bumi, agama muncul dan menawarkan solusi atas segala permasalahan hidup.
Kaitannya dengan gender, para pemikir forum di atas turut mengarisbawahi, bahwa tidak ada unsur destruktif agama terhadap perempuan. Secara eksplisit dalam Al-Quran, Tuhan banyak berseru kepada umatnya dengan sebuat “Hai Manusia!” dimana netralitas gender hadir di sini. Tidak ada pengistimewaan antara satu dan yang lain, perempuan dan laki-laki adalah sama, kecuali dalam hal ketakwaan pada Tuhan.
Dengan demikian, legitimasi kekerasan yang terjadi pada perempuan yang marak akhir-akhir ini menjadi sangat bias. Sementara teks-teks agama tidak memperlakukan manusia secara diskriminatif, perilaku kekerasan terhadap perempuan masih menjadi momok di masyarakat. Kyai Husein kembali menegaskan dalam buku ini: jangankan melakukan kekerasan fisik, menggunjing di antara sesama pun merupakan hal yang dilarang dalam agama (QS. Al Hujarat: 12).
Ulama yang “Terlahir Kembali”
Tabumania, figur singkat mengenai Husein Muhammad menjadi basis penting bagi tema qbukatabu mengenai konsep ‘terlahir kembali’. Paling mendasar, kita tahu dan bisa berlega hati, bahwa semangat keagamaan yang benar adalah tidak mendiskreditkan, apalagi menjustifikasi kekerasan bagi perempuan. Tidak ada satu agama pun yang melegitimasi kekerasan, karena agama justru hadir sebagai solusi atas kekerasan yang menimpa manusia kala itu, hingga hari ini. Semangat ini, juga tidak cukup hanya dipendarkan oleh perempuan, tetapi juga oleh laki-laki.
Identitas keagamaan sebagai ulama dan status laki-laki justru menjadikan modal utama bagi Kyai Husein untuk melanglang buana ke alam berpikir kesetaraan gender. Dua hal ini tidak menjadikan dasar legitimasi yang patriarkis, tetapi justru merupakan langkah baginya untuk terus merangkul semua kalangan, terutama perempuan.
Sebagai generasi muda, tentu kita perlu melanjutkan kiprah Kyai Husein. Lewat dakwah dan pengggalian ilmu yang telaten, Kyai Husein menjadi figur signifikan bagi kita untuk terus berusaha mencari kebenaran, karena seringkali ia tertutupi oleh tangan-tangan yang hendak menggapai kekuasaan. Bias gender dan diskriminasi bagi perempuan harus kita lawan bersama, dan dari segala arah. Tidak hanya lewat gerakan berbasis aktivisme, tetapi juga teks-teks otoritatif yang perlu ‘dikembalikan’ pada fungsinya, yaitu sebagai pembebasan dan cara mencapai kesetaraan. Maka dari itu Tabumania, siapkah kita mengikuti jejak Kyai Husein?
(Fini Rubianti menyenangi studi Gender dan HAM, ia tengah berpikir bagaimana cara melestarikan lenong perempuan untuk identitas betawi pinggiran sepertinya. Pegiat diskusi emperan dan penyuka film horor. Merasa beruntung (lebih tepatnya narsis) diberi nama Fini, karena pada kata (F)em(ini)sme terkandung namanya. Bisa dikontak di finirubianti@gmail.com)
0 comments on “Husein Muhammad, Seorang Ulama Perempuan”