Dimana biasanya tabumania mencari hiburan ketika sedang jenuh atau lelah dengan segala rutinitas keseharian? Ada yang pergi ke bioskop untuk nonton film terbaru yang tengah diulas berbagai majalah dan para kritikus film ternama. Atau ada juga yang menekan aplikasi musik di handphone-nya untuk mendengarkan 100 lagu terpopuler yang masuk dalam deretan billboard. Tapi, apakah tabumania ingat kapan terakhir kali menonton kesenian rakyat nusantara?
Disaat seni dan hiburan semakin mengalami komersialisasi, masih ada kelompok yang terus menghidupkan seni tradisi yang hampir tak dilirik lagi. Meski penonton sepi, tapi kelompok ini bertahan untuk pentas setiap seminggu sekali dengan bayaran 5-15ribu rupiah. Kali ini, tim Qbukatabu berkesempatan untuk mendengar langsung cerita dari Arimbi, seorang tandhak ludruk yang hampir sepuluh tahun berkesenian di kelompok ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara di Surabaya.
Awalnya, kelompok ludruk ini bernama Waria Jaya. Didirikan oleh Mak Sakiyah Sunaryo, waria yang juga kerap berkesenian ludruk, pada 10 November 1987. Di era 1960an sampai 1970an menjadi masa kejayaan bagi ludruk. Sayangnya, saat televisi mulai hadir, penikmat ludruk semakin sepi. Walhasil, kelompok ludruk tobong yang biasanya pentas setiap hari ini, berubah jadi hanya seminggu sekali. Ludruk tobongartinya ludruk yang rutin pentas, berbeda dengan ludruk tanggapanyang pentas berdasarkan permintaan saja.
Sebagai drama tradisional yang mengangkat tema-tema kerakyatan, perjuangan dan nasionalisme serta kehidupan sehari-hari, ludruk memiliki kekhasan tersendiri. Meskipun para pemainnya kebanyakan adalah laki-laki, namun mereka melakoni peran perempuan saat pentas. Karena memang pada awalnya, ludruk hanya boleh dimainkan oleh laki-laki saja. Namun, karena gerak, suara, penampilan dan tingkah laku feminin untuk mementaskan karakter perempuan juga dimiliki oleh waria, maka pemain ludruk pun semakin beragam. Akhirnya, sudah jadi hal yang lumrah jika masyarakat setempat mengasosiasikan tandhak ludruk (tandhak artinya seniwati) dengan waria maupun laki-laki yang berpenampilan feminim. Kemudian, ketika perempuan boleh bermain ludruk, tandhak ludruk pun juga digunakan untuk menyebut mereka, dengan istilah tersendiri yakni tandhak wedok. Di kelompok ludruk yang Arimbi geluti, 20 dari total 40 orang anggotanya adalah waria atau transgender perempuan.
Sejak 2011, Kelompok ludruk ini pentas setiap sabtu malam di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya dari pukul 21.00-00.00. Dibandingkan dengan lokasi pentas sebelumnya, yakni di area dekat pasar dan terminal di Wonokromo, posisi THR yang berada di belakang mal, membuat tempat ini tidak banyak diketahui orang. Ditambah lagi masyarakat yang tak begitu tertarik lagi dengan ludruk.“Salah satu yang berkesan itu, ya ketika kami semua sudah siap pentas, sudah dandan, sanggulan, tapi nggak ada yang nonton. Dan ini sering sih,” ingat Arimbi sambil tertawa.
Ludruk sebagai tradisi setempat, aktualisasi seni rakyat, dan wujud dari budaya lokal yang merayakan representasi gender yang tak biner mungkin tergerus oleh modernisasi dan kapitalisme, tapi kelompok ini terus bertahan dan tak menyerah begitu saja. Buktinya, Irama Budaya memiliki tandhak ludruk muda yang ingin tetap meneruskan jiwa seni dan budaya ludruk ke masyarakat luas. Arimbi sangat terinspirasi dengan semangat para pemain senior yang masih terus berkarya di kelompok Irama Budaya Sinar Nusantara meski ludruk sudah tak lagi jaya, belum lagi dengan tuntutan hidup sehari-hari. “Meski ludruk sudah redup, mereka ingin menyalakan terus ludruk selama masih hidup”, tutur Arimbi. Ini yang membuatnya terus mencari cara agar ludruk dapat bertahan dan dikenal lagi oleh anak-anak muda di Surabaya. Salah satunya dengan membentuk Irama Budaya Junior; wadah bagi siapapun yang tertarik dan ingin mempelajari ludruk.
Seperti nama kelompok ini, semoga seni ludruk tetap menyinari nusantara.
Mau tahu banyak tentang mereka, silahkah intip ke Ludruk Irama Budaya
(ED)
—————————————————————-
Penasaran sama komunitas penggerak lainnya yang bakalan dibahas selama bulan Oktober? Makanya intip dan pantau terus social media Qbukatabu di Instagram & Twitter
#Ludruk #LudrukIramaBudaya #budaya #seksualitas #seni #belajar#kerjakolektif #ruangbelajarseksualitas #qbukatabu
0 comments on “Irama Budaya Sinar Nusantara: Ludruk Tobong yang Bertahan”