Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) didirikan pada tahun 1954 yang sebelumnya bernama Gerwis (Gerakan Istri Sadar) pada 1950. Anggota Gerwis aktif berjuang menentang kolonialisme untuk memperjuangkan kemerdekaan, termasuk didalamnya sistem feodalisme. Gerwani juga sangat aktif memperjuangkan kesetaraan perempuan dimana, termasuk menentang poligami yang termuat di UU Perkawinan.
Meskipun disatu sisi konsep kodrat wanita, yang berasal dari Jawa, sebagai ibu dan istri turut menjadi bagian dari pemaknaan perempuan bagi Gerwani, disisi lain ibu yang dimaknai adalah ibu militan. Ini berarti perempuan tidak hanya fokus pada rumah tangga, namun juga aktivitas politik yakni gerakan revolusioner anti-imperialisme dan kapitalisme, termasuk dalam upaya pembebasan Irian Barat dan kampanye ‘Ganyang Malaysia’.
Lebih lanjut, keluarga revolusioner dengan pernikahan monogami menjadi norma bagi Gerwani. Perempuan memiliki peran dalam keluarga berdasarkan kesadaran revolusioner, yakni sebagai: saudara perempuan, rekan seperjuangan dan istri yang setia, tak terkecuali sebagai pendidik bagi generasi penerus untuk memperjuangkan anti-imperialisme.
Api Kartini menjadi majalah yang diterbitkan Gerwani di tahun 1960an sebagai media perjuangan organisasi. Sebelum Soekarno menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional, pada 1963 Api Kartini menyebutkan: “Sesungguhnya gadis ideal yang dikehendaki Kartini sesuai dengan panggilan revolusi, seorang gadis yang tidak hanya dengan ciri perilaku nrimo ing pandum (menerima nasib), tetapi tangkas, berdiri tegak sejajar dengan para rekan laki-laki dalam segala bidang…semangat Kartini…selalu memberontak terhadap segala ketidakadilan, belenggu adat kolot serta derita kaum perempuan dan Rakyat.” Selain itu, dalam majalah tersebut juga digambarkan perempuan yang sedang mengangkat senjata sebagai perwujudan dari Srikandi, seorang istri dan juga pejuang.
Tuduhan yang ditujukan kepada perempuan Gerwani sebagai ‘penyilet penis jenderal’ atau ‘pembunuh jenderal’ dengan menari telanjang sambil menyanyikan “genjer-genjer” pada 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya, merupakan opini negatif yang digiring oleh media massa dibawah kendali penuh penguasa militer. Melalui media Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, Gerwani dituduh menjadi bagian dari Gerakan 30 September, PKI ataupun komunis dengan berbagai tindakan seksual yang keji dan tak bermoral. Hal ini bertentangan dengan kesaksian dari para mantan pimpinan Gerwani, seperti Umi Sardjono dan Kartinah Kurdi. Mereka menyampaikan bahwa keputusan apakah Gerwani akan bergabung dengan PKI atau tidak baru akan diputuskan dalam kongres yang direncanakan pada Desember 1965.
Beberapa pemberitaan tersebut disampaikan sebagai berikut :
Angkatan Bersendjata, 13 Desember 1965 : “Saina ikut ambil bagian dalam “Tarian Harum Bunga” yang setiap hari dipertunjukkan dengan telanjang bulat. Laki-laki 400 orang yang ada menonton 200 orang perempuan, kemudian dilanjutkan dengan hubungan kelamin secara bebas, yang kadang-kadang seorang perempuan harus melayani 3 atau 4 orang laki-laki.”
Angkatan Bersendjata, 15 Desember 1965: “Seorang perempuan mengaku bernama Sakinah membeberkan kepada wartawan, “Selain dari melayani seks anggota-anggota Pemuda Rakyat, mereka diajar juga tentang cara memotong kemaluan kucing. Kemudian mereka mendapat tugas memotong dua orang tentara dari Divisi Diponegoro dan dua orang pedagang dari Tegal, yang mula-mula mereka pikat dengan berpura-pura sebagai pelacur.”
Namun, tidak satupun perempuan yang memberi kesaksian tersebut yang kemudian ditahan, dibawa ke pengadilan untuk membuktikan keterlibatan Gerwani dalam pembunuhan para Jenderal di Lubang Buaya. Baik pImpinan Gerwani maupun perempuan yang tak terlibat Gerwani ditahan dan tak mendapatkan peradilan hingga saat ini. Gerwani pun akhirnya dibubarkan dengan kampanye hitam yang terus bertahan hingga saat ini terhadap mereka. (ED)
0 comments on “Gerwani: Ibu Militan, Api Kartini & Ingatan ttg Kampanye Hitam terhadap Gerakan Perempuan”