Buka Layar

KUPI 2, Ruang Perjumpaan dan Fatwa Kolektif

Di penghujung musyarawah, seorang nyai yang merupakan salah satu tim perumus menyampaikan bahwa berdasarkan dari berbagai cerita, pandangan dan dalil yang disampaikan dalam musyawarah, hukum melakukan perlindungan terhadap korban pemaksaan perkawinan adalah wajib, tanpa perlu ada perincian subjek hukum.

Satu bulan sebelum Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 (KUPI 2), saya melihat nama saya akhirnya terdaftar sebagai salah satu peserta KUPI 2. Saya menjadi bagian lebih dari seribu tiga ratus orang peserta. Saya gembira bukan main, sekaligus berdebar! Betapa tidak?! KUPI 2 sudah saya tunggu-tunggu kehadirannya.

Saat mendengar kata kongres, mungkin Tabumania akan segera membayangkan banyak orang ramai-ramai datang, berkumpul dan siap-siap memilih seorang pimpinan atau pengurus secara struktural. KUPI bukanlah kongres seperti itu. KUPI bukan ormas ataupun organisasi struktural. KUPI adalah gerakan bagi siapa pun yang bersepakat dengan visi KUPI, yakni mewujudkan masyarakat adil, sejahtera dan terbebas dari segala bentuk kezaliman sosial terutama yang berbasis gender.

Seperti yang ditegaskan Nyai Badriyah Fayumi, Ketua Majelis Musyawarah KUPI 2 dalam orasi pembukaannya, “KUPI adalah gerakan, ruang perjumpaan bagi sesama ulama perempuan, aktivis perempuan, para korban, pengambil kebijakan, dan elemen lain dalam masyarakat sipil. KUPI mempertemukan pemikiran dan praktik di lapangan; sudut pandang keislaman dengan kebangsaan dan kesemestaan. Dan ulama perempuan adalah setiap ulama yang memiliki perspektif pemihakan terhadap perempuan”.

Sebagai seorang perempuan queer dan muslim yang hadir di KUPI 2 yang bertempat di Pondok Pesantren Hasyim Asyari Bangsri ini, saya sungguh merayakan pertemuan ini. Saya tidak tahu dari ribuan peserta yang hadir berapa yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan queer, tapi saya merasa sangat familiar dengan kongres ini. Saya melihat berbagai sosok yang saya kenal dan hormati turut menjadi bagian dari penyelenggara serta perumus KUPI 2 ini. Saya pun merasakan betapa isu-isu KUPI sangat dekat dengan kerja-kerja pengorganisasian dan produksi pengetahuan yang tengah saya lakukan. Belum lagi, Nyai Hindun Anisah, pengasuh Pondok Pesantren Hasyim Asyari adalah salah seorang ulama perempuan yang memandang individu queer sebagai bagian dari sifat jaiz Allah (Andriyanti, 2019:42). Artinya, Allah menciptakan apa pun sesuai kehendak-Nya.

KUPI 2 kali ini mengangkat tema Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan yang menjadi talkshow pembuka KUPI 2. Saya mendengar dengan seksama seorang ulama perempuan, Kiai Husein Muhammad, membacakan puisi Ahmad Syauqi, seorang penyair Arab modern:

Lihatlah, utusan Tuhan ini!
Ia tak pernah mengurangi hak-hak perempuan beriman
Ilmu pengetahuan menjadi jalan hidup keluarganya
Mereka menjadi ekonom, ahli hukum, aktivis politik, kebudayaan dan pejuang
Berkat putri-putri Nabi, gelombang pengetahuan menjulang ke puncak langit

Lihatlah Sukainah
Namanya menebar harum di seluruh pelosok bumi
Ia mengajarkan kita kata-kata Nabi dan menafsirkan kitab suci

Lihatlah buku-buku dan kaligrafi yang indah!
Bercerita tentang ruang perempuan-perempuan Muslim yang gagah berani

Saya sumringah. Betapa cerita-cerita tentang perempuan yang punya kemampuan mumpuni dalam tafsir dan sastra sungguh kaya dalam Islam! “Bahkan,” lanjut Kiai Husein, “Cendekia dan ulama perempuan adalah juga maha guru bagi ulama laki-laki. Mereka bekerjasama dengan ulama laki-laki membangun peradaban dunia yang berkeadilan.” Begitu Kiai Husein mengakhiri paparannya.

Dalam KUPI 2, ada lima tema yang menjadi musyawarah keagamaan, yakni perlindungan bagi jiwa perempuan dan kehamilan akibat pemerkosaan, perlindungan bagi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan genitalia, perlindungan bagi perempuan dari pemaksaan perkawinan, peran perempuan dalam merawat NKRI dan bahaya ekstrimisme dan pengelolaan sampah bagi keselamatan perempuan dan keberlanjutan lingkungan.

Musyawarah keagamaan ini adalah aktivitas berfatwa secara kolektif yang menjadi ciri khas KUPI. Musyawarah ini didahului berbagai dialog di berbagai halaqah (kelompok) pra-KUPI. Berfatwa secara kolektif ini membuat saya merasa menjadi bagian yang membebaskan sekaligus memulihkan secara batin. Mengapa? Selama ini istilah fatwa lebih sering terdengar menakutkan karena hanya dibahas oleh ulama laki-laki dengan basis penafsiran yang kerapkali konservatif – dan biasanya misoginis. Misalnya, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menolak larangan terhadap sunat perempuan karena merupakan makrumah (kemuliaan) dan sebuah upaya untuk menjaga agama. Sementara itu, dalam musyawarah keagamaan KUPI, pengalaman perempuan menjadi basis dalam pengambilan fatwa. Metode ini, seperti yang disampaikan oleh ulama perempuan, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, sebetulnya telah dipopulerkan dalam mazhab Syafi’I, yang disebut dengan istiqra atau penelitian berbasis pengalaman.

Saya merasakan sendiri proses musyawarah keagamaan tersebut. Ada pimpinan sidang di sana. Saat itu saya masuk ke musyawarah keagamaan tentang perlindungan bagi perempuan dari pemaksaan perkawinan. Saya lihat si pimpinan sidang adalah seorang nyai muda. Saya tersenyum bangga dan senang. Saya duduk di baris paling depan. Saya tidak mau ketinggalan. Di sebelah kanan nyai muda tersebut, ada satu orang yang mencatat seluruh proses musyawarah dan di sebelah kirinya ada tiga orang ulama perempuan, dua perempuan ulama dan satu ulama laki-laki, yang siap mendengarkan segala hal yang muncul dan menjadi tim perumus dalam musyarawah.

Saya melihat orang-orang bergegas mengangkat tangan ketika sang pimpinan sidang mempersilakan forum untuk menyampaikan temuan di lapangan maupun dalil dari berbagai kitab untuk menentukan hukum bagi pemaksaan perkawinan bagi perempuan. Saya mendengar seorang hakim peradilan agama dari Sulawesi yang duduk di sebelah saya bercerita tentang tradisi pemaksaan perkawinan di daerahnya. Saya membalik badan saya sedikit untuk memandang seorang penyintas yang bercerita tentang sang ibu yang memaksanya untuk menikah dan pada akhirnya ia memiliki anak dan memutuskan bercerai dari suaminya – kemudian ia pergi ke psikolog untuk memulihkan luka batinnya. “Saya belum mau bertemu ibu,” begitu tegasnya. Saya pun mendengar seorang pendidik yang bercerita tentang seorang kiai yang dengan ringannya menyuruh santriwatinya menikah segera setelah lulus pesantren. Dan saya pun bercerita tentang seorang yang berkarakteristik seks betina yang merupakan korban perkawinan paksa, tapi riwayat kekerasan seksual yang dialaminya dinihilkan oleh hakim dan jaksa. Saya sampaikan dengan lugas bahwa perkawinan paksa tak hanya dialami oleh perempuan.

Semua pendapat dan cerita didengarkan dengan khidmat. Tak ada penghakiman, melainkan sorot mata yang sarat empati, memvalidasi berbagai cerita yang dibagi.

Di penghujung musyarawah, seorang nyai yang merupakan salah satu tim perumus menyampaikan bahwa berdasarkan dari berbagai cerita, pandangan dan dalil yang disampaikan dalam musyawarah, hukum melakukan perlindungan terhadap korban pemaksaan perkawinan adalah wajib, tanpa perlu ada perincian subjek hukum. “Ketika kita mendengar fakta dari penyintas, kita sebagai individu punya kewajiban melakukan perlindungan. Maka tidak ada hukum ini wajib ain (diwajibkan pada setiap individu). Kalau kita anggap sebagai wajib/fardu kifayah (kewajiban yang jika telah dilakukan beberapa orang maka gugur kewajiban individu untuk melakukan kewajiban tersebut), maka jika satu orang sudah melakukan perlindungan, maka yang lain bisa tidur enak. Maka, ketika terjadi korban pemaksaan perkawinan, maka hukum fardu kifayah untuk melakukan perlindungan tidak cukup. Ini melawan hati nurani dan etika keagamaan karena kita semua punya tanggung jawab merealisasikan cita-cita agama yang rahmatan lil amin, bagi perempuan, laki-laki, terutama bagi korban.”

Semua bersetuju. Semua bertepuk tangan.

Ya, perlindungan terhadap korban pemaksaan perkawinan adalah wajib ain, tanpa perlu perincian subjek hukumnya, baik perempuan maupun individu yang berkarakteristik seks betina. Tak boleh ada pengecualian, ucap saya mengamini dalam hati.

Saya menyadari masih perlu banyak langkah untuk mengupayakan perlindungan bagi korban pemaksaan perkawinan. Saya menyadari masih perlu banyak langkah untuk mengajak para ulama perempuan bergerak untuk korban pemaksaan perkawinan siapa pun dia, tanpa memandang orientasi seksual dan karakteristik seks korban. Namun, saya tahu harus mulai melangkah dari mana dan berbagi kepada siapa. Saya sungguh berterima kasih untuk berkat semesta yang tercurah bagi ruang perjumpaan dengan para ulama perempuan ini. Dan untuk menjadi bagian dari gerakan KUPI.

Yulia Dwi Andriyanti, biasa dipanggil Edith. Salah satu penggagas Qbukatabu dan berperan sebagai Editor in Chief. Memiliki minat yang besar di topik feminisme, queer, gerakan sosial, keimanan, memori dan emosi kolektif, sosiologi, filsafat dan hak asasi manusia. Pecinta serial Fruitbasket, Little Prince, suka menyanyi, nonton film dan pertunjukan, bisa sedikit main gitar dan ukulele. Ingin terus menulis, termasuk di blog sendiri: queerinlife.blogspot.com

0 comments on “KUPI 2, Ruang Perjumpaan dan Fatwa Kolektif

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: