Selasa, 6 Desember 2022, merupakan pukulan mundur bagi demokrasi dan perlindungan terhadap kelompok rentan di Indonesia. Komisi III DPR RI resmi menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sebagai Undang-Undang (UU) yang akan berlaku di masyarakat. Padahal di dalam UU KUHP terdapat banyak pasal-pasal bermasalah nih, Tabumania.
Pasal-pasal bermasalah ini juga memiliki potensi serius yang bisa mengancam kehidupan individu dengan gender dan seksualitas yang beragam. Negara lagi-lagi kembali melegitimasi nilai-nilai patriarki, seksisme dan heteronormativitas melalui produk hukum mereka. Yuk simak obsesi negara dalam mengatur tubuh dan seksualitas warga pada pasal-pasal bermasalah berikut ini.
Ancaman Pidana bagi Penyebar Ideologi yang Dianggap “Berbeda”
“Setiap orang yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun” (Pasal 188 Ayat 1).
Pemahaman atas SOGIESC (orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks) manusia yang beragam sangat mungkin memiliki potensi untuk dipermainkan di dalam pasal ini. Telah jamak beredar di masyarakat, berbagai narasi kebencian bahwa “LGBT bertentangan dengan Pancasila,” “LGBT merupakan ideologi asing,” dan lain sebagainya.
Tabumania, pasal ini rawan dimanfaatkan oleh orang-orang yang bersikap queerfobik (membenci queer). Sementara itu, tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang “paham yang bertentangan dengan Pancasila,”. Begitu pula dengan siapa yang berhak menentukan suatu paham bertentangan dengan Pancasila atau tidak. Pasal ini sekaligus dapat memicu munculnya pembungkaman atas karya-karya bertema queer, pembubaran paksa atas diskusi-diskusi publik, pelarangan penggalangan dana bagi individu-individu queer yang membutuhkan, kriminalisasi aktivis queer, dan daftar represivitas lain yang tak berhingga.
Ancaman Kebebasan Berekspresi dan Bersolidaritas
“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II” (Pasal 256).
Pasal ini mengatur tentang penyelenggaraan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi. Bagi peserta demonstrasi yang membawa pernak-pernik bernuansa pelangi atau mengibarkan bendera kebanggaan (pride flag) kian rentan dipersekusi aparat. Mengapa begitu? Selama ini saja Tabumania, aksi visibilitas tersebut sudah berpotensi dikriminalisasi, apalagi kini dengan adanya perundang-undangan yang telah sah. Pernak-pernik tersebut bisa menjadi barang bukti sekaligus dalih bagi aparat bahwa unjuk rasa belum mengantongi izin dan mengganggu kepentingan umum.
Padahal bermacam aksesoris dan bendera identitas yang dikenakan saat demonstrasi, tak lain adalah simbol pengakuan dan semangat solidaritas. Aksi visibilitas ini juga merupakan salah satu bentuk ekspresi atas penghayatan diri, yang mungkin hanya bisa dilakukan secara publik di saat-saat tertentu saja, salah satunya adalah pada momen demonstrasi yang juga menjadi ruang aman bagi kelompok rentan.
Maka cukup kocak ya Tabumania, ketika melihat negara bisa ketakutan dengan bendera, tapi
memiliki keberanian luar biasa dalam merampas hak hidup warganya.
Ancaman Tuduhan Pelanggaran Kesusilaan
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang: a. melanggar kesusilaan di muka umum” (Pasal 406).
UU KUHP menyisipkan keterangan tentang apa yang dimaksud dengan frasa “melanggar kesusilaan,” yakni “perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.”
Frasa “aktivitas seksual” pada poin di atas sangat bias dan dapat ditafsirkan dengan manasuka. Terlebih frasa tersebut diikuti dengan keterangan tambahan berupa “…yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat…” Sebelum ada pasal ini, telah jamak berita mengenai pasangan queer yang didatangi aparat setempat hanya karena duduk bersama di taman, di kedai kopi, maupun ruang publik lainnya. Padahal mereka melakukan “aktivitas seksual” berupa bergandengan tangan dan atau berpelukan.
Pasal ini tentu sangat berbahaya karena mengakomodasi masyarakat heteronormatif untuk melegitimasi fobia mereka terhadap pasangan queer yang penuh kasih dan sedang melakukan afeksi, yakni bergandengan tangan dan berpelukan semata.
Ancaman Perkosaan dan Potensi Pemaksaan Perkawinan Heteroseksual
“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II” (Pasal 411 Ayat 1).
“Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. b. orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan” (Pasal 411 Ayat 2).
Pasal “perzinaan” ini tergolong pasal karet yang bernilai cis heteronormatif. Institusi pernikahan menjadi tolak ukur kesucian dan ihwal ini dilegitimasi negara. Padahal tidak semua orang ingin menikah dan atau bisa menikah. Pasal ini rawan untuk menyerang individu dengan seksualitas beragam. Konsen penuh atas bentuk relasi intimasi, baik fisik maupun romantik, ada pada kendali tiap-tiap individu, dan negara tak berhak ikut campur atas hal itu.
Lebih lanjut Tabumania, ada potensi kriminalisasi serius yang mengintai dari pasal ini. Individu queer penyintas kekerasan seksual bisa turut dituntut dengan tuduhan “zina.” Begitu pula dengan kasus perkosaan yang disengaja dengan dalih “mengoreksi” SOGIESC penyintas. Bentuk-bentuk kekerasan seperti manipulasi, penjebakan, hingga pemerkosaan berencana berpotensi kian masif dilancarkan. Begitu pula dengan potensi peningkatan pemaksaan perkawinan heteroseksual yang dilakukan oleh keluarga batih yang queerfobik.
Perampasan Ruang Aman Pada Pasal Kohabitasi
“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” (Pasal 412 Ayat 1).
“Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. Orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan” (Pasal 412 Ayat 2).
Delik aduan yang bisa dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam pasal ini, berpotensi memberikan ancaman pidana bagi mereka yang tinggal dan hidup bersama dengan orang-orang di luar dari yang tercatat di kartu keluarga maupun akta perkawinan.
Pasal kohabitasi ini juga rawan mengkriminalisasi pasangan-pasangan queer yang hidup bersama dan tidak bisa menikah atau yang pernikahannya tidak diakui di Indonesia. Pasal ini juga rawan memicu adanya tindakan “polisi moral” dari masyarakat heteronormatif, seperti pengusiran dan persekusi.
Diskriminasi pada Pasal Living Law
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana” (Pasal 597 Ayat 1).
Pasal ini tidak memiliki definisi dan batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “…hukum yang hidup dalam masyarakat…” Lantas bagaimana bila hukum yang berlaku dalam masyarakat adalah hukum yang meliyankan orang-orang minoritas? Bagaimana bila hukum yang berlaku dalam masyarakat adalah hukum heteronormatif yang mendiskriminasi komunitas queer?
Kriminalisasi kian mudah ditemui. Pasal ini berpeluang memantik lahirnya peraturan daerah (perda) diskriminatif yang sengaja menyasar kelompok rentan, seperti LGBTIQ+. Salah satu yang sudah terjadi adalah Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (Perda P4S) yang ditetapkan DPRD dan Walikota Bogor pada 21 Desember 2021 silam. Bertameng pasal living law ini, perda berbahaya yang melanggar hak asasi manusia bisa terus direproduksi ulang di daerah-daerah lain di Indonesia.
Tabumania, berikut tadi pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP yang kini telah sah. Tiga tahun bukan waktu yang lama sebelum Undang-Undang ini mulai efektif bekerja. Pengawalan atas tindak represivitas berdasarkan pasal-pasal problematik bisa terus kita upayakan. Ranjau diskriminasi di mana-mana dan perlindungan hukum bagi komunitas queer masih belum ada. Bahkan peliyanan yang dilancarkan kian digdaya. Tabumania, mari saling jaga, merawat diri dan orang-orang terkasih, sebab bersolidaritas adalah kekuatan politik yang tak terkalahkan.
Artikel ditulis oleh Himas Nur.
Himas Nur (she/her), menulis puisi, cerpen, esai, reportase, dan penelitian akademik. Karya-karyanya fokus pada wacana queer, feminisme, dan hak asasi manusia. Menamatkan studi magister Kajian Budaya dan Media di Sekolah Pascasarjana, UGM.
Terima kasih atas artikelnya, Kak Himas Nur, Qbukatabu. Semoga kita semua komunitas queer tetap aman di mana pun kita berada.
LikeLiked by 1 person