Buka Cerita

Cukup di Saya : Menggugat Kekerasan dalam Relasi Keluarga

PERINGATAN: Artikel ini mengandung deskripsi kekerasan (abusive relationship)

Siang masih terik. Christin memacu motornya, menyapu jalanan kota menuju kabupaten kampung halamannya. Suara klakson dan deru mesin mengalahkan kebisingan kepalanya. Ia sibuk menyusun ucapan ketika nanti tiba di rumah bertemu dengan ketiga adiknya.

Dua hari lalu, adik laki-laki tertua, Lius, menelponnya, mengabarkan temuan foto tubuh telanjang si bungsu perempuan, Ona, di kotak pesan terhapus di gawainya.

Suara Lius meskipun terputus-putus karena jaringan, tetap terasa penuh kemarahan. Jika sebatas nada suara yang meninggi, Christin tak ambil, tapi ia menduga ada tindakan kekerasan mengekor kemarahannya. Ia khawatir Ona babak belur karena dipukuli Lius ang lekat disebut ringan tangan yang berarti suka memukul bukan membantu. Satu waktu, saat Christin duduk di bangku sekolah SMA Lius memukulnya karena ia pulang kelewat tengah malam. Christin langsung lemas, pingsan. Kejadian ini justru membuat Lius serasa di atas angin. Ia kerap berucap mengolok, “Cuma dapat pukul langsung pingsan.. Haha.”

Tindakan Lius kerap dinormalisasi oleh komunitas masyarakat sekitar rumah karena statusnya sebagai anak laki-laki tertua yang bisa melakukan apapun sebagai upaya mengatur rumah tangga, meskipun mengandung kekerasan. Dalam budaya patriarki dan konteks wilayah di Papua posisi Christin menjadi anak pertama dinilai cacat, karena gendernya sebagai perempuan. Namun, Christin perlahan membuktikan kemampuannya, bukan mengandalkan kesulungan (anak pertama) saja. Berbekal karakteristik keperempuanannya, ia mengambil alih peran orang tua bagi adik-adiknya. Salah satu perannya adalah membantu adik-adiknya merasakan kehidupan yang aman dan optimal, terutama bungsu Ona.

Kepulangan Christin ke kampung untuk menyelesaikan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dialami Ona sebetulnya ia lakukan tanpa petunjuk dan informasi apapun. Christin hanya ingin segera bertemu Ona, melihat kondisinya. Christin mendapati Ona di dapur, menangis tersedu sembari meminta maaf kepada kakak-kakaknya. Christin mencoba bertanya kepada siapa dan untuk apa Ona mengirim foto-foto telanjangnya. Di tengah riuh rendah pertanyaan emosional Lius, Ona menjawab, “Saya hanya ingin lihat.”

Ona mengakui foto-foto tubuh telanjangnya hanya sebatas koleksi pribadi untuk ia lihat sendiri. Imbuhnya, Ona penasaran dengan bagaimana bentuk dan rupa payudara maupun vaginanya. Alasan ini tetap tidak masuk akal buat ketiga kakaknya, pasalnya lokasi penyimpanan foto-foto tersebut di kotak pesan terhapus – artinya Ona pernah mengirimnya kepada seseorang. Dua minggu berselang, Christin memancing Ona untuk menceritakan kejadian lampau, Ona tetap tak bergeming.

Bayang hitam menghantui Christin, tentang arus persebaran foto-foto telanjang milik Ona yang entah sampai mana dan kekhawatirannya terhadap hari-hari Ona berikutnya. Christin menyadari Ona sebagai korban, bahkan ia belum tahu informasi apapun mengenai kekerasan dan literasi digital. Di satu sisi, Christin kebingungan menata hal-hal prioritas yang harus dibicarakan dengan Ona.

Melalui gawainya, Christin menghubungi beberapa teman perempuan, menanyakan sikap dan tindakan seperti apa yang harus ia lakukan. Mereka serempak menjawab, “Temani Ona dulu… pelan-pelan bicarakan tentang bagian-bagian tubuh, nama-namanya, fungsinya, dan mana yang tidak boleh dipegang atau difoto oleh orang lain.”

Butuh waktu cukup lama, Christin akhirnya mengajak Ona duduk berdua, memulai obrolan tentang tubuh sejenis yang mereka miliki.

“Ona, ko punya tubuh itu ada vagina, payudara, dan pantat. Itu bagian tubuh yang tidak boleh dilihat, dipegang, atau difoto oleh orang lain, bahkan kakak Lius atau kakak Erik yang pegang pun tidak boleh. Kalau di Facebook orang minta, bilang ke saya, ko harus marah. Itu tidak boleh!”

Christin merasa lega berhasil mengupayakan penghentian kekerasan seksual, ia menangkap mata Ona tersirat takut.

Tahun 2018 lalu bapak meninggal, 6 bulan tepat setelah Christin membatalkan keberangkatan ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan tinggi jalur beasiswa prestasi. Bapak mengalami sakit cukup lama, kondisinya berulang stabil tapi sering memburuk. Sang mama, layaknya musim penghujan dan kemarau, dalam jangka waktu tertentu datang. Namun masa berikutnya menghilang tanpa pesan dan jejak.

Pertama kali mama menghilang saat Christin berusia 8 tahun, sementara Luis di usia 6 tahun. Mama kembali ke rumah dua tahun kemudian, berbaikan dengan bapak lalu mengandung anak ketiga dan keempat. Memasuki usia sekolah SMP, mama pergi kedua kalinya hingga Christin berganti seragam putih abu-abu. Selama mama pergi, Christin dan adik-adiknya dirawat secara komunal oleh tetangga terdekat.

Sosok mama terasa abu-abu buat keempat saudara tersebut. Christin mengakui kekecewaannya belum pudar terhadap mamanya, bahkan Lius menolak kehadiran sang mama di rumah. Kini, mama menetap di kampung bersama Erik sementara Christin dan Lius tinggal di kota. Pasca kasus KBGO, Christin mendaftarkan Ona untuk tinggal di panti asuhan milik susteran di kabupaten sebelah supaya Ona dapat mengakses kehidupan lebih aman dan pendidikan lanjutan tanpa biaya.

Christin mengingat bapak tidak pernah melakukan kekerasan fisik kepada mama maupun anak-anaknya. Jika ada masalah antar orang tuanya, Christin hanya mendengar adu mulut dari keduanya. Christin menyadari keputusan mama sering meninggalkan rumah tak lain karena ketidaksiapannya berkeluarga dan menjadi seorang ibu. Mama menikah di usia 17 tahun, berbanding jauh dengan bapak yang sudah 26 tahun. Christin berasumsi, kehidupan mama tanpa orang tua dan lingkungan yang mendukung, seperti ketersediaan informasi mengenai hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi membuat mama kerap limbung terhadap hasrat seksualnya sehingga mencari kepuasan ke laki-laki lain tanpa bersepakat dengan bapak. Mengingat dan menceritakan ulang situasi tersebut membuat Christin sulit menahan air matanya. Ia juga keberatan jika sanak keluarga atau tetangga menggosipkan tindakan mama, tapi segan memberitahu secara langsung.

Kesadaran Christin terkait pengalaman mamanya mulai muncul seiring lingkaran pertemanannya bertumbuh dengan perempuan lainnya. Gaung simbolik, “Perempuan bantu perempuan,” bukan rekaan. Christin dan teman perempuan lain di wilayah Jayapura kerap mengadakan diskusi terkait isu-isu perempuan dan Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) untuk kelompok anak muda, kelompok perempuan adat, dan kelompok anak perempuan atau perempuan. Di tengah kuatnya gerakan perjuangan politik, mereka menginisiasi ruang-ruang aman kecil dengan mempertemukan ragam individu yang sadar atas peliknya lingkar kekerasan berbasis gender di Papua, utamanya juga berupaya menghentikannya.

Kesadaran atas istilah kekerasan sebenarnya belum lama diucapkan. Namun rasa tidak nyaman dan kuatnya gugatan atas ruang aman muncul ketika melihat dan mengalami kekerasan. Salah satunya, Yuli, teman perempuan muda lain yang memilih tinggal di kampung supaya dapat berpartisipasi mengawasi kinerja aparatur kampung.

Yuli lahir di keluarga amat besar, imbas dari kelakuan bapaknya yang menikah lebih dari sekali. Bapak meminang mama dari Yuli atas “persetujuan” istri pertama, beralasan menginginkan anak laki-laki. Ya, anak laki-laki lahir. Akan tetapi dalih ini terbukti salah, ketika di pernikahan kedua bapak mengulang inisiatifnya menginginkan istri baru. Sang mama berucap, “Kalau mau menikah, jangan ganggu saya dengan anak-anak.” Perkawinan ketiga tak pernah terjadi, setidaknya di hadapan Yuli dan keluarganya.

Situasi ini jamak terjadi di wilayah Papua dengan kuatnya garis patrilineal. Mereka mewariskan nama marga melalui laki-laki, artinya hak-hak pengelolaan tanah yang luas pun dipercayakan kepada laki-laki, meskipun realitanya sosok perempuanlah penggarap lahan menjadi kebun bahan pangan.

Di pengalaman Yuli, anak perempuan seperti dirinya selalu dinomorduakan dalam keluarga. “Saya ingat… saya pernah minta dibelikan sepatu. Waktu sekolah itu kaki sakit karena kaki keluar dari dalam sepatu (kaki bertumbuh besar, ukuran sepatu kecil – penulis). Saya tiap jalan pulang sekolah tahan-tahan menangis. Saya bilang berulang ke bapak, “Tolong belikan sepatu,” tapi bapak jawab, “Kamu itu harus berhemat,” begitu…”

Sebaliknya, jika adik-adiknya yang bergender laki-laki justru hidup dimanja oleh bapak. Di usia yang masih belia, Yuli kebingungan dengan pertanyaan yang timbul dalam dirinya, tak pernah terjawab, “Kenapa saya harus mengalah kepada adik-adik laki-laki saya?”

Pertanyaan menggugat lainnya bermunculan, pasca ia menyaksikan bapak kerap memukul dan memaki mama.

“Saya waktu itu hanya sering berpikir, “Kenapa tidak ada keadilan untuk saya atau mama?” sambil diam-diam menangis karena saya tidak bisa bikin apa-apa.”

Agaknya, semesta menuntun niatannya untuk berbuat sesuatu. Di bangku sekolah SMP, Yuli berkenalan dengan kegiatan tambahan sekolah, olahraga pencak silat. Ia tekun berlatih tiap sore selama 5 tahun, meskipun jarak lokasi latihan ke rumah terpisah perkebunan kelapa sawit.

“Saya memang siapkan latihan untuk satu kali (di masa depan-penulis) pukul balik bapak!”

Suatu maghrib, ketika Yuli berjalan pulang ke rumah, dari kejauhan terdengar suara makian bersamaan dengan rintihan. Yuli mempercepat langkahnya menjadi lari.

Ia bergegas menuju sumber suara, menemukan sang mama meringkuk menghindari pukulan dari bapak. Tanpa pikir panjang, Yuli menggapai parang dan mengacungkan kepada bapaknya, lalu menggiring bapak keluar dari rumah. Bapak memukulnya, parang terjatuh entah dimana. Yuli tak lagi mengingat jurus pencak silat yang ia pelajari, sekenanya ia membalas bapak.

Kejadian ini membuat Yuli dan mama sepakat meninggalkan kampung, pindah ke kampung halaman sang mama. Nekad. Mereka tidak tahu akan hidup seperti apa di kampung halaman, pasalnya posisi perempuan yang kawin dengan laki-laki di luar daerah lalu tinggal bersama suaminya menjadi lebih lemah tanpa warisan tanah keluarga.

Yuli dan mama, kini, telah kembali ke kampung kelahiran Yuli. Keduanya sepakat pulang kepada bapak setelah bapak jatuh sakit dan sempat meminta maaf kepada sang mama. Bapak meninggal akibat luka dalam yang tidak pulih karena dipukul oleh seseorang. Keluarga bapak menuduh Yuli dan mamanya yang menyebabkan bapak meninggal. Mereka mempercayai keduanya meminta perbantuan dari ilmu hitam. Yuli bahkan bersumpah, jika benar ia yang membuat bapaknya menderita maka tak butuh waktu lama ia akan meninggal. Sumpahnya tidak terbukti hingga sekarang. Bersama keluarga besarnya dan kedua mamanya, ia bertahan hidup.

Keputusan Yuli untuk tinggal di kampung halamannya semarak dengan sikap-sikapnya menggugat ketidakadilan. Ia dikenal jago mempertanyakan laporan-laporan dana kampung yang raib bersama uangnya, meskipun kepala kampung adalah adik kandung dari bapak. Perempuan-perempuan di sekitarnya berdatangan melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami. Alih-alih membawa pelaporan ke pihak yang berwajib, Yuli datang ke rumah penyintas dan menghukum pelaku dengan peringatan keras, seperti caci maki dan ancaman pemenjaraan. “Cukup di saya! Saya tidak mau anak-anak saya, teman saya, tetangga saya, saudara saya alami juga,” jawabnya ketika menjawab pertanyaan mengapa ia bersedia membantu sementara aparatur negara bertebaran di wilayahnya. Menurutnya, hukum yang berlaku di Indonesia tak pernah berpihak pada korban dan penyintas sehingga banyak kasus terabaikan, bahkan menyebabkan kematian. Yuli menolak pembiaran ini, maka ia lincah menantang dan menghukum pelaku habis-habisan.

Artikel ini ditulis oleh Narris

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Cukup di Saya : Menggugat Kekerasan dalam Relasi Keluarga

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: